Prolog

1.2K 147 15
                                    

Hinata Hyuuga tertawa, ia meneguk beberapa gelas wine bersama teman-teman satu kantornya. Ia mentertawakan tingkah konyol sahabat lelakinya yang ia ingat pendiam dan jarang bicara. Teman lelaki pendiamnya itu menari-nari seperti gurita yang Hinata ingat sangat mirip dengan tokoh Squidward ketika menari senam, film kartun Amerika yang tak lewat ia tonton dan dapat membuat Hinata yang anggun selalu terbahak.

"Oh, hentikan." Hinata merasa perut dan pipinya sakit karena tawanya yang tak kunjung berhenti. Bahkan cairan wine dalam gelas yang digenggam Hinata mulai bergoyang dan hampir tumpah dari tempatnya. "Kau bertingkah konyol." Hinata lagi-lagi tertawa dan terkikik karena teman lelakinya itu tak kunjung menghentikan tarian Squidward. Wajah temannya sudah sangat merah, menandakan bahwa dia sudah sangat mabuk. Sedangkan temannya yang lain juga ikut tertawa bersama Hinata saling bersahutan. Sepertinya tak ada yang berniat untuk menghentikan teman lelakinya yang mabuk itu.

Hingga akhirnya tarian itu terhenti karena dia memuntahkan isi perut yang bercampur dengan minuman yang ia teguk. Membuat Hinata dan yang lainnya memekik jijik, sedangkan teman lelaki lainnya menolong pria malang yang mulai terkulai lemas itu menjauh. Sedangkan seorang Office Boy segera datang dan membersihkan kekacauan. Hinata akhirnya memutuskan mengikuti temannya itu untuk sekedar menolong mungkin. Karena pria mabuk yang baru saja menari dan akhirnya muntah itu adalah tamunya di acara perayaan promosi jabatan Hinata; mau tak mau Hinata juga harus sedikit memperlihatkan etikat baiknya.

Hinata menunggu di samping pintu toilet pria Cafe, menyandarkan tubuhnya ke tembok sembari mendengar suara temannya itu tengah memuntahkan isi perutnya dibarengi ucapan teman lelakinya yang lain yang tengah membantu.

Tak lama teman lelakinya itu keluar sambil di rangkul oleh dua orang temannya yang lain.

"Dia baik-baik saja?" Hinata memperhatikan wajah pria mabuk itu sudah kusut dan rambutnya juga berantakan. Apa lagi baju kemeja dan dasinya yang sudah tak beraturan. Malangnya.

"Dia akan baik-baik saja." Sahut temamnya yang lain. "Kami akan memanggilkan taksi untuknya. Kau sebaiknya kembali, ini pestamu bersenang-senanglah."

Hinata ragu, terlebih ia merasa tidak enak.

"Tidak apa-apa."

Setelah menimbang, akhirnya Hinata mengangguk dan kembali kepada teman-temannya yang mungkin juga sedang menunggunya. Bagaimana pun ini masih baru setengah acara.

"Kau terlalu khawatir." Kalimat sambutan yang diucapkan teman wanita Hinata yang memiliki rambut hitam pendek. Wanita itu menyodorkan sebuah mantel tebal berbulu berwarna putih gading. "Ini hadiah dari kami. Selamat atas kepindahanmu ke kantor utama."

Hinata menerima mantel itu dengan senang hati, dapat dirasakan Hinata bahan jaket yang bergembung hangat dan bulu di bagian kerahnya yang sangat besar dan lembut.

"Kalian semua baik sekali."

Jalan kaki adalah alternatif yang dipilih Hinata untuk tiba di rumah. Dirinya tidak mabuk, jadi ia tak memerlukan taksi. Meski sebenarnya Hinata sedikit menyesal karena menolak tawaran temannya mengantar Hinata dengan mobil. Hinata tidak menyangka kalau akan turun salju lebih awal. Hinata senang tentu saja, Hinata suka salju. Tapi waktunya tidak tepat. Ini sudah pukul sepuluh malam, dan ia harus segera tiba di stasiun kereta untuk pulang, atau setidaknya halte bus. Hinata bisa pulang dengan bus.

Berjalan di trotoar di malam hari memang tidak nyaman. Terlebih toko-toko mulai tutup, Hinata bahkan tak melihat pejalan kaki yang lain selain dirinya sendiri. Bayangan-bayangan hitam pepohonan membuat atmosfir terasa sedikit menyeramkan, hanya ada sedikit sinar lampu jalanan yang temaram untuk penerangan.

Hingga akhirnya mata Hinata memicing karena melihat sebuah siluet di kejauan. Sepertinya ada seseorang yang tengah berdiri menghadap jalanan. Hinata melebarkan langkahnya.

Rupanya siluet yang Hinata lihat adalah sosok tunawisma wanita tua yang bahkan tidak memakai jaket, padahal hari sudah larut dan turun salju. Hinata dapat melihat tumpukan salju yang ada di rambut dan pakaian wanita itu. Kedua tangannya saling bergesekan memberi rasa hangat.

Hati Hinata tak tega, ia segera menyodorkan jaket berbulu pemberian teman-temannya tadi. Tak masalah, Hinata juga memakai jaket tebal dan menggembung, membungkus kemeja dan sweater yang Hinata pakai di baliknya.

Wanita tunawisma itu memandang Hinata bingung, mungkin ragu-ragu. Wajah tua keriput dan rambut berantakan yang mencuat itu makin membuat Hinata kasihan. Tunawisma itu sudah tua dan kedinginan, bagaimana mungkin Hinata bisa mengabaikannya?

"Ambilah." Ucap Hinata lembut yang disambut senyuman dari sang Tunawisma.

"Kau sangat baik nona." Wanita itu menyambut jaket Hinata, lalu memegangi tangan kanan Hinata yang kini kosong. Hinata sedikit berusaha menarik tangannya karena takut. "Tidak apa-apa." Wanita Tunawisma itu membuat tangan kanan Hinata terbuka dan terus memandanginya sambil mengangguk-ngangguk. "Aku bisa meramal." Kata wanita tunawisma itu sambil membiarkan Hinata menarik lagi tangannya. "Kau adalah gadis yang baik dan penuh kasih. Kau akan selalu beruntung karenanya. Tapi sebaiknya kau berhati-hati, banyak hal yang tak dapat dijelaskan. Menjauhlah."

Hinata masih bingung, tak mengerti apa yang harus ia lakukan untuk menanggapi ucapan wanita tunawisma itu. "Aku akan pergi ke Tokyo. Apakah aku sebaiknya tidak usah pergi?" Bahkan Hinata tak mengerti kenapa ia menanyakannya.

Wanita tunawisma itu sedikit menggeleng. "Berhati-hatilah." Lalu ia berbalik, berjalan sambil memakai jaket pemberian Hinata, membiarkan Hinata diam dalam kebingungan.

Keesokan harinya Hinata berangkat menuju Tokyo, Ayahnya mengantarnya ke Bandara. Melepaskan putri tersayang dengan doa dan wajah tegas dan deretan kalimat penuh wejangan untuk Hinata.

"Aku pergi." Hinata menunduk dan berbalik, berjalan sambil memandangi jendela besar Bandara yang memperlihatkan langit biru cerah dan jalur pendaratan yang dipenuhi pesawat yang parkir.

Hari ini bukanlah pilihan hari yang buruk untuk pergi. Bagaimana pun matahari bersinar terang dan bahkan tak ada tanda-tanda akan turun hujan atau salju lebat. Meski Hinata masih mengingat peringatan wanita tunawisma itu, toh akhirnya Hinata mengabaikannya. Tak ada alasan untuk mempercayai ucapan wanita tua yang bahkan tak dikenalnya, ya kan?

Another TokyoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang