"Aku tak bermaksud melakukan itu, Yu," ucap Bumi kepada Ayu. Mereka duduk di kantin. Bumi telah menceritakan semua uneg-uneg hatinya kepada Ayu. Entah mengapa ia merasa nyaman dan percaya kepada gadis berambut panjang sepunggung itu. Padahal sebelumnya ia tidak pernah cerita apapun tentang tangisan hatinya itu pada siapapun termasuk kepada Nenek dan Om nya yang sudah dianggap sebagai orang tua sendiri.
Ayu memandang Bumi dengan tatapan iba. Sungguh berat menjadi seorang Bumi. Hanya karena Bumi sehat, Bumi harus dikorbankan oleh keluarganya. Menurut Ayu, walau Langit sama sekali tidak bersalah dalam kasus ini, tapi wajar saja kalau Bumi sampai membenci Langit, sekalipun ia tahu kakaknya tak tahu apa-apa. Itu karena orang tua mereka menjadikan Langit sebagai alasan untuk memandang Bumi sebelah mata.
"Aku tahu kamu ndak sengaja membuat kakakmu seperti itu. Lantas, gimana keadaan kakak kamu sekarang, Bumi?" tanya Ayu bersimpati.
Bumi menggelengkan kepalanya, "Entahlah. Mama sama Papa seolah menyembunyikan keadaan Langit yang sebenarnya. Kemarin saja Dokter sudah menyarankan Langit untuk opname sementara waktu. Tapi Langit menolaknya."
"Kenapa?" kejar Ayu.
Bumi memejamkan matanya. Lalu, ia tarik napas dalam-dalam.
"Karena dia telah putus asa!"
Ayu tatap dalam-dalam mata Bumi. Tampak raut kesedihan di dalamnya. Rasanya Ayu ingin menangis saat menatap ekspresi mata Bumi yang seperti itu. Ya tuhan. Memang kedengaran tidak adil rasanya. Seharusnya saat ini Bumi menikmati masa remajanya dengan penuh keceriaan seperti Ayu, seperti teman-temannya yang lain. Bukan malah terbebani oleh pikiran yang seharusnya belum saatnya untuk dipikirkan.
"Aku sendiri juga putus asa,"suara Bumi menjadi semakin serak.
Ayu terkesiap. Ia pandang lagi wajah Bumi.
"Kenapa, Bum?" tanya Ayu dengan nada khawatir.
"Aku merasa kehadiranku malah bikin semua jadi kacau. Tahu begitu aku akan tetap tinggal di Bandung dan gak akan pernah lagi pulang ke Malang. Lagipula nggak ada yang mengharapkan kedatanganku di rumah. Aku ingin kembali saja ke Bandung. Aku tak peduli lagi bagaimana hidupku nanti."
"Jangan!" potong Ayu cepat, "Sudah cukup, Bumi! Jangan kamu teruskan lagi!"
Bumi mengerutkan alisnya. Ia menatap Ayu dengan heran. Dilihatnya mata Ayu berkaca-kaca seolah ingin menumpahkan air mata yang tertahan.
"Yu?" Bumi terperangah.
"Aku mohon, kamu jangan pergi!" pinta Ayu. Saat itulah desir aneh yang dirasakan saat pertama kali bertemu Bumi dirasakan lagi. Namun, ia masih bingung. Desir apa ini? Perasaan apa ini?
Bumi juga merasakan hal yang sama seperti Ayu. Baru kali ini ia merasakan perasaan yang sangat aneh. Entah perasaan apa, ia juga belum tahu. Mungkinkah ini cinta? Ah tidak. Bumi langsung membunuh dugaannya sendiri. Bukankah masih terlalu cepat untuk merasakan hal ini terhadap Ayu?
"Maaf Bumi. Aku jadi menangis di hadapanmu," ujar Ayu sambil menyeka air matanya.
Bumi tertawa renyah, "Ih, ndak apa kali, Yu. Aku malah senang. Itu artinya kamu nyaman sama aku. Asal kamu tahu, Yu. Aku sendiri belum pernah curhat sama siapapun. Ya sama kamu ini saja. Soalnya aku ngerasa nyaman sama kamu," terang Bumi panjang lebar.
"Masa sih?" Ayu tersenyum malu-malu. Pipinya merona merah.
Lalu keduanya saling membisu.
"Cie ... Ayu sama Bumi pacaran di kantin. Awas diganggu setan, lho!" ledek Novi yang mendadak muncul di tempat itu bersama dengan Mersa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit & Bumi (REVISI)
RomanceLangit: Andai setiap manusia dapat memilih takdir hidup sebelum dilahirkan, pasti aku akan memilih menjadi manusia yang sehat seperti Bumi. Namun, takdirku telah tergaris menyedihkan. Aku selalu terbayang oleh kematian setiap waktu. Bumi : Apa salah...