Menyambut Ramadan emak memberikan amanah kepadaku untuk ziarah kubur ke makam Yai. Emak sudah usia lanjut, walaupun begitu, ia biasanya tetap berziarah ke makam orang tuanya. Sebuah ritual keagamaan yang terus terjaga dikeluargaku. Entah mengapa, Ramadan tahun ini emak merasa sudah tidak sanggup lagi berpergian jauh. Namun bagiku, Palembang - Baturaja tidak terlalu jauh untuk menunaikan amanah emak. Lagian, sejak selesai menimba ilmu di Jawa, aku tidak pernah lagi pulang ke kampung halaman emak. Aku masih ingat betul masa kanak-kanak, ketika liburan emak mengajakku pulang ke kampung. Kampung yang penuh dengan kedamaian. Saat-saat indah bermain di masjid ketika bulan purnama, bermandi cahaya, suara riuh pekik anak-anak bersalawat, bermain di sungai yang jernih, memancing, hingga tersesat mencari buah di kebun. Masih terekam kenangan itu hingga begitu kuat keinginanku pulang kampung untuk berziarah.
"Nang, kau saja besok pergi ke dusun untuk ziarah ke makam Yai, kemarin kita sekeluarga sudah ke makam Bapakmu. Jadi tidak apa-apa kamu sendirian saja yang pergi ke dusun." Kata emak kepadaku dengan penuh kasih. Guratan-guaratan kerut di wajahnya memberi isyarat bahwa ziarah merupakan tradisi yang harus dijaga secara turun temurun.
"Iya, Mak, besok pagi aku berangkat."
***
"Semula aku berpikir akan nyaman menggunakan kereta api. Apa lagi perbaikan sistem pemesanan tiket sudah menggunakan sistem online atau datang langsung ke stasiun dengan menunjukan KTP. Pagi-pagi sekali aku datang untuk mengantri tiket. Pukul 06.00 Wib, waktu yang cukup pagi untuk sekadar mengantri tiket. Saat datang, aku melihat beberapa pemuda telah mengantri di depan loket antrian. Selang beberapa saat, bapak berbadan tinggi dan berjaket menghampiriku untuk menawarkan tiket cepat. Aku langsung menebak 'calo tiket masih bergentayangan'. Dengan tegas aku menolak. Aku mengantri di urutan ketujuh. Antrian di belakang sudah sangat panjang sampai ke pintu luar ruang loket. Padahal baru lima belas menit aku berdiri menunggu. mataku tertuju kepada orang yang tadi menawari tiket secara cepat. Aku hanya menghela nafas melihat kelakuannya, ternyata dia tidak sendiri, ada beberapa orang yang berprofesi sama dengannya dan sedang melancarkan transaksi percaloan. Sepertinya dia tahu betul cela-cela kelemahan para pengantri.
Pukul 07.00 loket mulai buka. Petugas melayani pemesanan tiket. Tiket dibagikan, antrian pertama hampir menyita waktu dua puluh menit untuk satu orang. Petugas bisa melayani dengan waktu yang cukup lama. Ternyata, antrian yang paling depan merupakan bagian dari strategi percaloan. Pemuda ini sengaja datang pagi agar mendapat pelayanan pertama. Modusnya, calo akan mendekati pengantri yang paling belakang sampai ke tengah, dan di belakang saya. Lalu merayu pengantri, menjanjikan tiket cepat tanpa harus mengantri lama. Misalkan harga tiket lima belas ribu rupiah, maka calo akan meminta dua puluh ribu rupiah, lima ribu sebagai ongkos cepatnya. Andai terjadi kesepakatan maka KTP pengantri akan diambil calo dan diserahkan kepada pengantri yang terdepan. Walaupun petugas membatasi pembelian tiket sebanyak lima lembar saja. Begitulah seterusnya, pengantri kedua dan ketiga pun, ternyata suruan calo. Apabila pengantri terdepan yang disiapkan calo habis, maka calo akan mengintimdasi para pengantri yang lemah, berusia muda, dan lanjut usia untuk menitipkan karcis pengantri yang di belakang atau calon pembeli tiket yang datang terlambat untuk mengantri. Kondisi ini diperparah dengan ketidakperdulian petugas pengamanan dari stasiun kereta api untuk mengawasi para calo sehingga mereka dengan leluasa beroperasi. Aku melihat seperti terjadi pembiaran oleh pihak kereta api terhadap kondisi ini. Pengantri yang tidak sabar akan termakan hasutan calo. Ini juga salah satu penyebab calo selalu bergentayangan walaupun sistem pembelian tiket sudah diatur sedemikian teratur untuk menghindari percaloan. Seperti simbiosis mutualisme antara calo dan pengantri yang tidak sabar. ini mungkin salah satu faktor yang menyebabkan percaloan akan tetap abadi. Salah satu pengantri di depanku ternyata mengantri untuk yang keduakalinya. Karena antrian pertama di hari Jumat tiket telah habis, padahal dia datang lebih awal. sedangkan orang yang mengantri jauh dibelakangnya kebagian tiket karena dibantu calo. Ini tentu tidak adil dan sebuah kecurangan." Inilah unek-unek tentang carut marut pelayanan transportasi kita yang kutuliskan di dalam kereta api kelas bisnis jurusan Baturaja saat menuju desa tempat Yai dimakamkan.