HOW WE MET #1

4.2K 265 102
                                    

"Mengenalmu saja cukup. Tapi sayangnya aku lebih suka bermimpi memilikimu,"

Pilihan Farah untuk mengantri siomay ternyata salah, sudah lebih dari lima menit Farah antri, tapi sampai saat ini sebungkus siomay miliknya tak kunjung datang. Kalau begini kesimpulannya waktu istirahat habis buat ngantri siomay di kantin yang ramainya hampir sama kayak bom diskon di Mall.

Farah berjinjit untuk melihat Bi Aminah, yang jual siomay enaknya bukan main. Bi Aminah kelihatan bingung banget, dari segala penjuru pesan siomay, udah gitu pesenannya beda-beda lagi. Akhirnya Farah memutuskan untuk keluar dari kerumunan yang menyesatkan itu, sempat matanya mengarah kepada tempat duduk yang telah di duduki teman-temannya. Mereka semua sudah mendapat apa yang mereka pesan, tinggal menunggu Farah yang sibuk ngantri siomay.

"Gak usah sedih, ini gue punya dua," Farah berhenti dan diam sebentar melihat cowok yang berdiri di depannya, "Ambil, kelihatannya laper," kata cowok itu lagi.

Farah mencoba membalasnya dengan senyum, "Enggak, makasih," tolak Farah sehalus mungkin.

Dalam diam ia mencoba mengenali laki-laki tadi, rasanya selama Farah bersekolah di sini, baru kali ini dia bertemu dengan laki-laki itu, atau jangan-jangan emang Farah yang kurang update sama wajah murid satu sekolah? Mungkin opsi yang ketiga benar, dia anak baru.

"Nanti lo makan apa? Ini gue udah beliin pake cabe setengah sendok, sama siomaynya enggak pake tahu," kata cowok itu yang ternyata mengikuti kemana tempat Farah duduk bersama teman-temannya.

Farah kaget, begitu juga dengan kedua temannya, Ovia dan Rachel. Terlihat dari sudut mata, Ovia langsung berhenti makan, perempuan berambut panjang sebahu itu tiba-tiba sibuk dengan ponselnya, sedangkan kaki Rachel berulang kali menyenggol kaki Farah karena saking bingungnya.

"Gu--gue beli aja. Berapa?" tanya Farah.

"Tiga rebu. Kan lo nggak kuat makan siomay banyak-banyak," kata cowok itu lalu pergi meninggalkan Farah, Ovia dan Rachel dengan tatapan bingung.

Siapa sih kok tau kebiasaan gue pesen siomay, Farah memandangi sebungkus siomay yang ada di meja, setelah itu ia mencoba mencari laki-laki yang memberinya siomay tadi.

"Farah.... gue gak nyangka banget lo bisa kenal sama Radit!" tiba-tiba Ovia histeris dan meminggirkan mangkok baksonya yang masih utuh.

"Namanya Radit?" tanya Rachel. Farah diam saja, masih bimbang enaknya siomaynya di makan atau di buang saja, takutnya dia di kerjain. "Itu Radit yang lo certain dari kemaren, Vi?" Rachel bertanya.

Raut wajahnya tak kalah antusias dengan Ovia. Tiba-tiba mereka berdua merapat ke arah Farah dan memberi tatapan menyelidik kepada sahabatnya yang sedang bingung bukan main gara-gara sebungkus siomay.

Kurang ajar, bikin laper tapi kok mencurigakan untuk di makan.

"Far, lo nggak nyembunyiin sesuatu dari kita kan?" Ovia sedikit berbisik, di ikuti oleh Rachel yang tak sabaran menunggu jawaban dari Farah.

"Apaan sih," ucapan Farah langsung membuat kedua temannya menghela nafas lega. Ovia langsung kembali sibuk dengan mangkok baksonya, Rachel juga sibuk menghabiskan jus mangganya, "Dia siapa sih? Kalian kenal?"

"Namanya Radit, dia anak pindahan. Tanya Ovia deh, dia lebih update gitu," jawab Rachel menjawab apa adanya.

Tanpa sadar tangan Farah membuka bungkus siomay itu dan mulai memakannya.

•••

Saat pelajaran Fisika mau di mulai, tiba-tiba Melati, teman sekelas Farah berjalan menuju bangkunya dan memberika kertas sobekan yang di lipat jadi empat bagian pada Farah. Kata Melati tadi ada yang nitip surat, cowok, tinggi banget.

"Namanya siapa, Mel?"

"Imel teu nyaho. Ngan liat sakali, pisan ganteng, kuring mikir nak anyar"

Lalu setelah Melati kembali ke tempat duduknya, Farah langsung membaca surat dari pengirim yang tidak dikenalnya itu.

Buat : Yang lagi baca surat (bingung gue namanya Fara atau Farah pakai 'H' )

Siomaynya kepedesan ga? Salahin yang jual aja jangan guenya.
Pulang sekolah jangan pulang dulu, tiga rebunya belum di bayar.

Dari : Yang beliin lo siomay cabe setengah sendok enggak pakai tahu di kantin.

Farah membulatkan matanya saat membaca isi surat itu. Benar-benar di luar ekspetasinya, ini namanya surat tagihan, kalau tahu isinya begini mending Farah gak usah baca sambil nyolong jam pelajaran Pak Budi --guru fisika tapi setengah jiwanya diragukan--

Akhirnya kertas itu dilipat kembali dan selipkan di buku catatan fisika milik Farah. Daripada repot-repot mikirin Radit, mendingan Farah menyimak Pak Budi yang sedang mengajar materi untuk kisi-kisi ulangan harian minggu depan.

Di istirahat kedua, Farah pikir Radit akan mencarinya atau paling tidak menunggunya di depan kelas untuk meminta uang tiga ribu, tapi nyatanya malah Ovia yang datang dan langsung berlari ke arah Farah.

Yang satu kelas dengan Farah cuma Rachel, kelas Ovia selisih dua ruang kelas dari mereka berdua.

"Guys, gue ada info!" Ovia memeluk kedua sahabatnya, "Ikut gue ke lapangan yuk!" ajak Ovia

"Ngapain?" tanya Farah.

"Biasanya lo anti banget istirahat ke lapangan takut ketemu mantan. Ini kok lo ngajakin kita?" Rachel sedikit tidak terima. Ovia yang mendengar kata 'mantan' tiba-tiba juga memajukan bibirnya dua senti ke depan.

"Gue mau tunjukin lo kalo Radit lagi tanding basket sama Niko! Buruan rame banget!" Ovia paling semangat dan berjalan paling depan sendiri memberi petunjuk arah untuk Farah dan Rachel.

"Radit yang tadi beliin Farah siomay? Kok dia bisa kenal Kak Niko sih," kini gantian Rachel yang ikut-ikutan heboh menyamai Ovia.

Jelas bagaimana bisa kalau tidak ramai, Niko itu senior, main basketnya udah bukan lagi ecek-ecek, apalagi dia juga kapten basket, denger-denger sebentar lagi tapi udah lengser karena Niko sudah kelas dua belas dan harus fokus belajar.

Saat tiba di lapangan, Ovia segera berdiri tepat di pinggir garis lapangan, begitu juga dengan Farah dan Rachel. Istirahat kali ini benar-benar ramai, tidak membosankan seperti biasanya.

Farah hanya melihat Radit yang sedang sibuk merebut bolanya dari Niko, sampai akhirnya mata mereka bertemu. Radit sempat tersenyum untuknya, tapi Farah ragu soal itu. Bisa saja yang di senyumin Radit barusan teman-temannya yang ada di depannya.

Jangan GR, soalnya kalo udah tau kenyataan pahit.

"Yes! Radit menang!" Ovia bangkit dari duduknya. Farah tidak diam saja, ia bertepuk tangan sama dengan yang lainnya, tapi Farah tidak ikut meneriaki nama Radit terus-terusan. Kok kesannya, lebay.

Setelah pertandingan itu, Farah rasa memang benar Radit anak baru, tapi bukan sebagai anak baru lagi bagi teman-teman lainnya
Yang benar, Radit itu orang baru yang tiba-tiba saja membuat isi otak Farah memikirkannya hampir delapan puluh persen hari ini.

The Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang