Bima baru bisa mengerti apa itu sendirian, sebenarnya masih banyak orang-orang di sekitarnya, teman-temannya, keluarga, namun yang dirasakannya tidak seperti itu, ia kehilangan satu sosok yang dulu mati-matian dibencinya, yang dulu selalu ia caci maki habis-habisan, yang hanya dengan melihat wajahnya saja sudah memancing emosinya. Apakah ia harus terus hidup seperti itu, layaknya mayat hidup tanpa banyak bicara dan menutup diri. Seorang Bima yang memang memiliki watak dingin sekarang jauh lebih dingin bahkan tidak ada satu orangpun yang berani dekat dengannya, mamanya pun tidak habis pikir kenapa putranya berubah menakutkan. Cowok itu sekarang hanya fokus pada kuliahnya, ia memutuskan mengambil jurusan kedokteran, jurusan yang bahkan belum pernah sekalipun terlintas di otaknya dulu, tapi lagi-lagi karena seseorang itu membuatnya harus mengubur jauh-jauh cita-cita sebelumnya. Kadang Bima berpikir sebesar inikah pengaruh cewek itu bagi hidupnya, pertama mengubah sifatnya, kedua membuatnya mati rasa pada cewek manapun, meski ia sama sekali tidak tahu seperti apa dan bagaimana kondisi Zia sekarang.
Tiga tahun bukan waktu yang singkat jika digunakan untuk menunggu, sungguh menunggu itu sangat menyakitkan, ia seolah dibuat frustasi, bahkan Bima sendiri tidak tahu alasannya tetap bertahan hidup hingga saat ini.
Jam sudah menunjukkan angka 11.17, yang artinya matahari sudah sangat tinggi, namun Bima masih tergolek lemas di tempat tidurnya dengan selimut tebal. Sudah dua hari ia enggan keluar dari kamarnya yang luas itu, makanpun harus melalui proses paksaan dari mamanya. Sebenarnya Bima tidak tidur, ia sadar namun matanya tertutup rapat. Tiba-tiba seseorang membuka pintu kamarnya. "Bima, ada temenmu dibawah nyariin kamu". Suara mamanya terdengar sangat jelas dan yang dipanggil tetap tidak bergeming sedikitpun. "Bima, sampai kapan kamu mau kayak gini terus nak ? ayo dong temuin dulu bentar, kasian". Wanita paruh baya itu duduk di sisi tempat tidur anaknya.
"Aku gak punya temen ma, kenapa tadi gak bilang aku gak ada aja" jawabnya malas.
"Harus berapa kali lagi mama beralasan kayak gitu Bim, dari dulu tiap kali temen kamu kesini mama bilangnya gak ada lah, keluar lah, ini lah segala macem, yang ada ntar temen kamu berpikiran macem-macem tentang mama. Ayo temuin dulu siapa tahu penting, atau ada kaitannya sama kuliahmu, bangun ayo ganti baju", paksa mamanya dengan membuka selimut yang menutupi tubuh anak semata wayangnya itu.
"Ck, persetan dengan semuanya ma, aku gak peduli". Bima masih belum mau membuka matanya.
"Jadi kamu udah gak mikirin kuliahmu ? gak mikirin masa depanmu ? mama selama ini kerja cuma buat kamu dan sekarang kamu kayak gini, jangan salahkan mama kalau sampek ngelakuin hal yang gak pernah mama lakuin sebelumnya ke kamu ya", mamanya sengaja menaikan suaranya satu oktaf supaya putranya itu mau menuruti kata-katanya, dan ternyata berhasil, meskipun dengan wajah sangat tidak enak, Bima bangun dan menuju lemari untuk mengambil kaos dan celana seadanya. Hal itu membuat mamanya sedikit tersenyum lalu keluar. Bima menuruni tangga dengan kondisi yang sangat kacau, rambut berantakan dan wajah yang pucat, ia berjalan menuju ruang tamu yang disana sudah duduk seorang cowok berpenampilan sangat rapi berambut hitam klimis dan familiar baginya. Bima memicingkan matanya, terdiam beberapa detik lalu menunjukkan ekspresi tidak percaya.
"Kak Adit ?" ucapnya. Dan objek yang membuatnya mematung sekarang hanya tersenyum. "Masih inget gue ternyata, duduk sini". Perintahnya dengan angkuh seolah tidak memperdulikan sang pemilik rumah.
"Zia mana kak ?" pertanyaan itu sukses keluar begitu saja dari mulutnya tanpa ia pikir terlebih dahulu. Adit tertawa, ia tidak merespon tapi menepuk sofa yang ia duduki mengisyaratkan agar cowok itu duduk. Bima duduk tanpa mengalihkan pandangan dari Adit. "Elo masih inget sama nama itu, masih peduli elo ?" tanyanya.
"Apa masih perlu gue jawab bahkan setelah gue nanya kayak tadi ?"
"Apa elo siap kalo jawaban gue bukan jawaban yang elo harepin ?", Adit menatap tajam mata hazel Bima, wajahnya sudah tidak dihiasi keramahan sedikitpun yang justru membuat Bima menegang. "Maksud elo ?". Adit mengalihkan pandangannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
HEART & HURT (Completed)
Romance"Kalian pikir gue sudi ? bahkan nyentuh sehelai rambutnya aja gue jijik, semua yang ada sama dia itu sangat menjijikkan di mata gue, kayak sampah yang udah gak bisa di daur ulang !". Satu hal yang mau gue lihat dari dia adalah hancur se-hancur hanc...