Sial. Hari ini seharusnya menjadi hari pertamaku sekolah. Benar kan ini tanggal 5? Double sial. Pukul enam lewat lima belas. Aku harus cepat berkemas.
Hai, namaku Raina, dan aku suka hujan. Hehe. Cocok kan aku jadi pengganti Michelle Ziudith. Tidak. Aku Raina, aku memang suka hujan, tapi aku tidak ingin menjadi seperti Michelle Ziudith, cita-citaku ingin menjadi seorang guru. Sangat amat mulia sekali bukan? Ehehe.
Pukul enam lewat dua puluh. Lima menit cukup untukku berkemas. Setelah siap, aku segera berangkat, tak lupa mengunci pintu kamar kosku, agar tak ada orang yang menyelinap.
Omong-omong, aku memang seorang anak kos, karena aku ingin hidup lebih mandiri. Ya, walaupun aku masih sering menangis guling-guling di kasur kalau rindu mama. Hehe.
"Bang! Angkot!!" Kuteriaki angkot yang lewat.
Sial, lagi. Angkotnya malah pergi. Tak tahukah dia kalau aku sedang terburu-buru?! Itu sudah ketiga kalinya aku meneriaki angkot yang lewat. Kenapa mereka menolak rezeki di pagi hari sih? Padahal anak-istri di rumah sedang menunggu mereka pulang dengan membawa sebongkah berlian. Parah.
Putus asa. Aku berjalan menuju tempat ojek. Omong-omong, di daerahku memang belum ada go-jek maupun go-car. Kalau mau, bisa saja taxi, tapi tarifnya terlalu mahal untuk anak kos dengan uang pas-pasan sepertiku.
"Bang, SMA 2 Paris ya!"
"Siap, neng!" Jawab si abang sambil memberikanku sebuah helm, yang sumpah demi apapun, sangat bau. Menjijikan. Kurasa itu tak pernah dicuci olehnya. Apa dia tidak pernah memikirkan nasib kulit kepala si penumpang? Bagaimana kalau penumpang sebelumnya memiliki penyakit kulit berlebihan? Atau kutuan? Gosh!
Aku memutuskan untuk tidak memakai helmnya, dan memilih untuk memegangnya saja.
"SMA 2 Paris yang di Jalan Pendekar Nobitanian, ya, neng?"
"APA BANG?!" sumpah aku tak bisa mendengarnya.
"SMA 2 PARIS YANG DI JALAN PENDEKAR NOBITANIAN, YA?"
"OH IYA BANG, BIASA AJA KALI GAK USAH TERIAK SEKENCENG ITU!"
Hancur sudah pagiku. Telat bangun, diabaikan abang angkot, diteriaki tukang ojek—yah ini aku juga teriak sih, rambutku yang berantakan diterpa angin, dan sekarang apalagi?! Ditilang?!
"Bang, mending kita jangan berhenti deh, bang! Lanjut aja, bang! Kabur aja!"
"Tapi jalannya diforbidden, neng!"
"Ya kan--"
Nasi sudah menjadi bubur. Apalah daya diriku, hanya bisa turun dari motor, dan manut pak polisi.
"Selamat pagi."
"Pagi, pak."
"Apa anda tahu aturan lalu lintas itu harus memakai helm?"
"Eh? I-iya pak, saya tahu. Tapi ini, ini helmnya bau pak, saya kan mau ke sekolah." Kataku mengeluh, sambil memasang tampang semelas mungkin agar tidak dikenakan biaya tilang yang—yah, menurutku—tarifnya tak wajar itu.
"Tidak ada alasan, dik. Ini surat tilangnya, dan adik harus membayar denda sebesar lima puluh ribu rupiah."
Polisi macam apa yang menilang seorang siswa dengan tarif semahal itu?! Parah. Apa dia tidak memikirkan nasib para murid yang akan membeli makan siang? HAH?!
"Nih pak. Cukup nih lima puluh ribu? Cukup lah ya pak. Kan yang penting makan siang, warteg pun jadi. Yegak, bang?" HAH! Terima itu pak tua.
"Kuy, bang! Lanjut kita."
Setelah naik kembali ke motor dengan aman dan memakai helm-terbau-yang-pernah-kupakai-sepanjang-masa, abang ojekku langsung memacu motornya dengan sedikit lebih cepat karena cuaca tiba-tiba mendung. Semendung hatiku pagi ini.
TAK!
Tiba-tiba motor yang kutumpangi ini berjalan tak semestinya.
"Bang, bang! Ini motornya kenapa dah?! Minggir-minggir!"
Beranjak dari kursi penumpang, aku langsung membuka helmnya, dan merasa sangat sial saat mendengar ucapan abang ojek selanjutnya.
"Neng, ban motor saya pecah." Ucap si abang dengan muka polos.
"YAAMPUN BANGG! COBAAN APALAGI INI BANG?! SAYA INI CUMA MAU SEKOLAH LOH, BANG! MAU MENUNTUT ILMU! KENAPA BEGINI BERAT HIDUP SAYA, BANG?! GIMANA SAYA KERJA NANTI?! PUNYA SUAMI? PUNYA KELUARGA? PUNYA ANAK?! BANG, GAK KUAT SAYA, BANG!!"
Tidak. Itu tak kuucapkan. Sungguh dramatis. Pada akhirnya yang ku keluarkan hanyalah sepatah kata dari seorang murid-yang-ingin-menuntut-ilmu yang pasrah-akan-cobaan-menuju-sekolahnya.
"Yaudah deh, bang. Makasih, ya, bang, atas semua jasa-jasa yang telah abang berikan. Nih bang, semoga cukup untuk benerin bannya." Memberikan selembar uang berwarna hijau.
"Jangan sedih neng, itu sekolahnya tinggal jalan bentar nyampe kok." Ucapnya yang membuatku melotot dan melihat ke arah yang ditunjuknya.
Aku melihatnya! Aku melihatnya, kawan! Di sana tertulis SMA 2 Paris! Terima kasih, Tuhan!
"Omong-omong, makasih ya, neng. Saya mau nyebrang dulu, ke tukang tambal ban itu."
Kuabaikan ucapan si abang, memilih untuk berlari menuju gerbang. Dan aku kecewa. Kecewa karena gerbang sudah ditutup.
"Pak satpam! Pak! Pak, please, pak! Please! Saya kan baru telat lima menit pak! Kok gerbangnya udah ditutup sih pak!" Teriakku sambil menggoyang-goyangkan pintu gerbang dan sesekali melihat jam tangan.
"Hah? Kamu sadar, kan? Ini hari minggu loh, dan jadwal masuk itu tanggal 5, yang berarti besok."
JEGERR!
Seolah semesta memang sudah merencanakan segalanya, sekarang ia menertawakanku, dengan tawanya yang menggelegar, disusul oleh air mata yang turun saking asyiknya semesta tertawa.
Aku yang menerima takdir seperti ini hanya bisa masuk ke dalam pos satpam tanpa permisi kepada Pak Ujang—terlihat dari nama yang tertera di seragamnya.
"Oh, iya ya, pak?" Tanyaku menatap kosong jalanan yang sudah basah oleh air hujan.
Pak Ujang tertawa, "Kamu ini, makanya kalau mau pergi, lihat-lihat tanggal dulu dong. Kan sekarang udah canggih, ada handphone."
"Ah, pak. Bapak ini jahat ya. Saya kan lagi sedih, bapak malah ketawa. Pak, bapak tau gak sih, yang bapak lakuin ke saya itu jahat, pak, jahatt." Balasku sambil menatapnya dramatis, dan menaruh kepalan tangan di dada.
Pak Ujang tertawa semakin keras, "Sudah-sudah, mending kita nonton Tuyul dan Mbak Yul aja sambil nunggu hujan reda." Ucapnya sambil tersenyum, kemudian menyalakan TV saluran ANTV, dan menyeduh kopi hitam.
"Pak, sayanya gak ditawarin?"
"Kamu mau?" Tanya Pak Ujang sambil tersenyum menahan tawa.
"Enggak mau pak kalau kopi, maunya teh."
"Nih."
Kaget. Padahal aku hanya bercanda. "HE! Makasih loh pak!" Kini giliranku yang tertawa.
Pak Ujang ikut tertawa, kemudian terdiam menikmati siaran TV. Tiba-tiba aku merasa seperti sepasang kekasih yang sedang menikmati sore di balkon rumah di tengah dinginnya hujan sambil menonton siaran TV kesukaan bersama.
Aku terkekeh, "Pak kita jadi kayak sepasang kekasih gitu kan?"
Pak Ujang ikut terkekeh, "Iya, kamu Nona Teh."
"YE, DASAR! Kalau aku Nona Teh, berarti bapak Tuan Kopi!"
Dan kami tertawa bersama sambil menikmati pagi dengan hujannya di pos satpam, seperti sepasang kekasih, yang sering berbagi tawa.
—————