Mobil Arnes berhenti di depan sebuah pagar cokelat yang menjulang. Seorang satpam membuka gerbang, dan Arnes memasuki pekarangan rumah.
Arnes yang melepas sabuk pengaman terhenti sejenak. Pft, bagus deh, papa belum pulang jam segini, batinnya. Arnes beranjak turun dari mobil, berkata pada Alana untuk menunggu sebentar. Arnes membukakan pintu mobil untuk Alana.
"Thank you," ujar Alana.
Menyunggingkan senyum, Arnes menggenggam tangan Alana memasuki rumahnya. Arnes mengetuk-ngetuk pintu dua kali. Sambil menunggu, Arnes menyelipkan rambut Alana yang kebetulan sedang diurai hari itu ke belakang telinganya.
"Hai, Abang!"
Anak berusia dua belas tahun itu menyapa dengan riangnya. Tak lama, sampai matanya menangkap keberadaan seorang gadis di sebelah abangnya. Matanya melebar, mulutnya terbuka. Agnes terkejut, sekaligus terpana dengan gadis cantik di hadapannya ini.
Alana menatap Arnes sekilas, kemudian menatap Agnes ramah. "Halo, nama kamu siapa?"
Agnes membalas uluran tangan Alana, "Agnes. Kalo Kakak?"
"Alana."
"Ekhem," Arnes berdeham membuat Agnes teringat untuk menyuruh mereka masuk dulu.
"Eh iya, ayo masuk dulu, Kak."
Alana mengangguk.
Mendekati Arnes, Agnes berbisik,"Pacar Abang?"
"Iya lah."
"Cantik, parah."
Arnes hanya tersenyum kecil menanggapi adiknya. Ia menghampiri Alana yang sedang menatapnya dari tadi.
"Mama di kamar, Dek?"
"Yup."
Arnes baru saja ingin menarik Alana ke kamar mamanya, suara Agnes menghentikan.
"Kak Alana di sini aja dong, temenin aku."
"Eh? Oke." Alana menatap Arnes yang mengangguk.
Jadi Alana duduk di ruang santai bersama Agnes yang mengajaknya ngobrol. Dan Arnes, menghampiri Winna di kamarnya.
"Ma?" panggilnya saat mengetuk pintu.
Winna menarik kenop pintu dan tersenyum pada Arnes. "Eh, kamu udah pulang."
"Iya, Ma." Arnes mencium pipi Winna. "Arnes ajak Alana ke sini."
"Oh ya? Di mana dia?"
"Lagi sama Agnes. Eng... Ma,"
"Ya?"
Arnes menggaruk tengkuknya. "Arnes mau ajak Mama ikut ke dokter. Al nyaranin Arnes cek ke dokter, karena tadi pagi punggung Arnes sakit lagi."
"Ooh. Iya, kamu harus cek. Tunggu sebentar, Mama siap-siap."
Arnes mengangguk. Winna kembali ke kamar untuk bersiap. Arnes melenggang menghampiri Alana dan Agnes yang tampak dekat dan akur. Senyuman terukir di bibirnya. Arnes tidak melangkah lebih, ia diam di tempat, menikmati pemandangan ini.
"Yuk, Nes." Winna menepuk punggung Arnes pelan.
"Al, yuk," ajak Arnes.
Alana menoleh. Ia bangkit lalu melihat Winna di samping Arnes, ia tersenyum dan menundukan sedikit kepalanya. Memberi salam. Arnes terkekeh melihat Agnes mengerucutkan bibirnya, tak rela berpisah dengan Alana.
Di mobil, Winna membiarkan Alana tetap duduk di samping Arnes, biar dia yang di belakang. Winna bisa melihat getaran dari mata keduanya saat bertatap. Tidak bisa ia biarkan suaminya menjadi penghalang bagi kedua remaja ini. Menurut Winna, Alana perempuan yang tepat untuk Arnes.
Perjalanan hanya memakan waktu sebentar. Mereka menyusuri lorong rumah sakit, Winna bertanya pada bagian administrasi apakah ada dokter yang sedang tugas. Perawat itu menjawab ada. Dan kebetulan, beliau sedang tidak menangani pasien. Jadi Arnes bisa cepat diperiksa.
Perawat yang berjaga di bagian administrasi menelpon dokter tersebut, bertanya apa beliau bersedia menangani pasien yang belum buat janji. Jawabannya 'ya'.
Winna mengetuk pintu ruang prakter dokter, lalu masuk. Nampak seorang dokter kira-kira berusia empat puluh tahun, rambut yang sedikit memutih, dengan kaca mata bertengger di hidungnya.
"Selamat siang." sapa sang dokter dengan badge nama Haris Bramasta di jasnya.
"Siang, Dok."
"Silakan duduk. Jadi, siapa yang mau diperiksa?" tanyanya.
"Anak saya, Dok. Arnes." Winna memegang bahu Arnes yang duduk di sampingnya. Alana duduk di kursi panjang di ruangan itu.
"Apa keluhannya?" tanya Dokter Haris pada Arnes.
"Punggung bawah saya suka nyeri tiba-tiba, Dok. Kecapekan juga. Kalau saya banyak bergerak, juga sakit," tuturnya. Dokter Haris mengangguk-angguk.
"Tapi... juga ada perubahan warna pada urine saya, Dok."
Dokter Haris mengerutkan keningnya. "Apa napsu makan kamu turun?"
"Iya, Dok."
"Saya curiga ginjal kamu bermasalah," katanya. "Tapi, saya belum tahu pasti sampai kamu diperiksa."
Mata ketiga orang yang ada di hadapan dokter ini membulat. Susah payah mereka menelan ludah mendengarnya. "Ginjal?"
Dokter Haris mengangguk. "Mari ikut, saya periksa."
Arnes berbaring di ranjang ruangan itu, Winna dan Alana menunggu di ambang pintu sambil sesekali berpandangan cemas. Sementara Dokter Haris memulai pekerjaannya. Yaitu memindai dengan USG. Dokter Haris memperhatikan organ dalam Arnes melalui monitor yang terhubung.
"Perubahan bentuk ginjal. Ginjal mengerucut dan berbentuk tidak utuh." ujar Dokter Haris sambil menyudahi pemindaian.
"Ginjal saya—?"
Dokter Haris menatap kedua perempuan di ambang pintu dan menarik napas. Ia menatap Arnes lagi, "Kamu... mengalami gagal ginjal."
Dua kata. Dua kata yang diucapkan Dokter Haris mampu menyedot oksigen dalam ruangan ini sehingga yang mendengarnya kesulitan bernapas. Arnes duduk di tepi ranjang dan mengusap wajahnya frustasi, lalu Alana lebih dulu melangkah mendekat, disusul oleh Winna.
"Tapi, apa Dokter yakin Arnes gagal ginjal? Bukan sakit biasa?" tanya Winna tak percaya.
"Begini, Bu. Kalau dalam pemindaian tadi ginjal Arnes masih berbentuk sempurna, harusnya kita bisa melakukan tes urine untuk melihat apa ada penyumbatan. Namun Arnes sendiri mengatakan bahwa warna urine-nya mengalami perubahan. Dan jika dari monitor sudah terlihat, maka Arnes sudah pasti terkena gagal ginjal."
Alana membekap mulutnya, menahan air mata yang sudah menggenang. Dipegangnya bahu Arnes dan memeluknya dari samping. Winna menarik napas, dan berkata lagi.
"Lalu apa yang bisa dilakukan, Dok? Anak saya pasti bisa sembuh kan?"
"Tentu, Bu." Dokter Haris mengangguk. "Zat limbah bisa dikeluarkan dengan metode cuci darah. Namun metode ini sangat merepotkan dan menyita waktu. Karena itu, yang dianggap penanganan terbaik untuk gagal ginjal ialah transplantasi ginjal. Karena jika zat limbah menumpuk di tubuh, bisa berpotensi mengancam nyawa."
Helaan napas berat memenuhi ruangan yang tidak begitu luas ini.
"Apa pihak rumah sakit menawarkan bantuan untuk transplantasi ginjal, Dok? Apa bisa dilakukan di rumah sakit ini?" Kini Alana yang bertanya.
"Oh, bisa. Operasinya bisa dilakukan di rumah sakit ini, hanya saja dokter spesialis bedah yang ada sedang cuti dan baru kembali tiga hari lagi. Dan soal bantuan donor, mohon maaf pihak rumah sakit belum menyediakan."
Jawaban Dokter Haris membuat semua tiba-tiba diam memikirkan ucapannya. Arnes harus operasi. Pihak rumah sakit tidak menyediakan bantuan donor. Artinya Arnes harus mencari pendonor sendiri.
"Saya mau donorin ginjal saya. Apa bisa, Dok?"
****TBC😊
Vote sama komen ya... Yang donorin Alana atau mamanya tuh??
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart Like Yours
Teen FictionAlana, murid baru dengan perawakan yang kalem, penyuka musik dan puisi, juga mampu menarik hati Arnes. Arnes merasa yakin untuk memberikan hatinya lagi kepada seorang gadis. Menjadikan Alana bintang di hidupnya. Tapi ketika mereka berpacaran, ada s...