Minggu pagi
Lady mengikat tali sepatu sambil menjepit ponsel di antara bahu dan pipinya. Keo masih berbicara. Anak itu tidak sabar ingin mendiskusikan project S-1410. Katanya ia punya ide brilian tentang hadiah ultah buat Sebastien. Ingin tahu pendapat Lady dulu, karena berhubungan dengan tulis-menulis cerita.
"Kita lanjutkan sambil main skate. Jangan telat, Lady!"
"Aku bakal telat kalau kamu enggak berhenti bicara sekarang."
Keo tertawa, lalu memutuskan hubungan begitu saja. Semoga anak itu tidak lupa membawa papan skate satu lagi, pikir Lady. Tabungannya hanya cukup untuk membeli sepatu skate. Masih kurang banyak untuk membeli papan baru. Keo bilang, sepatu lebih penting, papan bisa pinjam darinya.
Oke, deh. Lady melompat. Sudah siap. Tapi tiba-tiba Bunda memanggilnya. Lady dimintanya mengantarkan kue pesanan sekarang juga ke sebuah sekolah. Uni Desti yang harusnya bertugas mendadak terserang sakit kepala berat. Berdiri saja sudah sulit apalagi pergi mengendarai motor.
Lady mendesah. Apa boleh buat. Ia pun menelepon Keo untuk menunda janji sekitar satu jam.
"Lady, kamu tinggal memberikan pesanan itu kepada Bu Norma. Sebentar saja kok. Dari sana, kamu bisa langsung ke skatepark naik angkot, kontainer bisa dibawakan pulang sama Pak Dindin. Ini uang buat ongkos dan bekalmu. Dan ini sekotak kue buat Keo."
Lady meringis. Bunda memang aneh, sengaja membuat makanan berlebih lalu membagikannya gratis kepada teman-teman, terutama Keo. Lady pernah bilang, kalaupun Keo disuruh beli, anak itu pasti mau dan Bunda dapat untung lebih. Bunda malah menjitaknya. Kata Bunda, melihat Keo makan dengan lahap saja sudah keuntungan buatnya. Aneh, kan? Pertama, biasanya Bunda tidak melihat sendiri Keo makan kuenya. Lady yang akan ceritakan itu kepada Bunda. Kedua, Keo itu kaya raya, dan tidak pernah kelaparan. Bisa makan di mana saja kalau mau, sama lahapnya. Entah gembul atau sadar sedang bertumbuh.
"Jelas beda, Lady. Makanan ini kita buat dengan penuh cinta. Keo sangat membutuhkannya." Itu jawaban Bunda. Lady hanya angkat bahu.
Sebelum memasukkan kotak ekstra untuk Keo ke dalam tas, ia sempat mengintip isinya. Ada ketan sarikaya, makaroni panggang, kelepon, dan puding. Cukup untuk meredakan kekesalan Keo karena menunggu lebih lama.
Lima belas menit kemudian, Lady sampai di tujuan. Sekolah yang dimaksud ternyata SMP Bhineka Utama, sekolah swasta megah di jalan utama. Lady belum pernah ke sini sebelumnya. Tapi ia tahu, kakak Seb dan kakak Toby bersekolah di sini. Melewati sekumpulan siswi yang duduk-duduk dan berdiri di gerbangnya, hampir saja Lady mengira salah masuk ke sekolah modeling. Mereka memandanginya sedemikian rupa sehingga Lady merasa begitu kumuh dengan jins, kemeja, dan jilbabnya. Tapi ia tidak peduli. Ke sini kan untuk mengantarkan kue lalu main skate, bukan untuk menghadiri pesta.
Serah terima kue sebetulnya tidak perlu waktu lama, tapi Bu Norma mengajaknya mengobrol dulu. Berterima kasih karena Bunda mau menerima pesanan kurang dari 24 jam. Ini gara-gara ada pertemuan mendadak dengan pejabat setempat, katanya, di hari minggu pula. Lady hanya mengangguk-angguk. Begitu ada jeda, ia buru-buru berpamitan. Cepat-cepat menutup pintu kantor, melangkah mundur, dan menjerit. Seseorang telah menabraknya. Bahunya sakit membentur dinding.
Rasanya seperti ditabrak... yah.... ditabrak anak lelaki jangkung yang sedang melarikan diri demi nyawanya.
"Maaf. Maaf. Kamu baik-baik saja?" Si penabrak mengerem kakinya, dan terkejut. "Lady!"
Lady nyaris balas berseru, "Kak Ibby!" Tapi segera sadar, itu terlalu dramatis. Jadi ia hanya mengangkat tangan dan meringis.
"Kamu sedang apa di sini?" tanya Ibby.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lady & Ibby : Pahlawan Kesiangan (Complete)
Short StoryLovely Lady hendak main skate dengan Keo ketika Bunda menyuruhnya mengirim kue pesanan ke SMP Bhineka Utama. Ia tahu, Ibby yang pemalu bersekolah di sana. Yang tidak disangkanya adalah hari itu Ibby menjadi a Boy in Distress. Haruskah Lady turun tan...