"Lis! Muka Bapak lu mirip Bapaknya Bagas tau!" kata Desi tiba-tiba. Desi habis dari kantin, terlihat dari sisa nasi goreng di sudut bibirnya. Lisa diem aja, enggak berniat ngasih tau Desi.
"Lah? Bagas yang mana? Mang Bagas?" respon Lisa. Nama Bagas ada banyak di sekolahnya. Bahkan nama penjual bakso di kantinnya juga Bagas.
"Bukan Mang Bagas! Tapi Bagas MIPA 2! Bagas ke Mang Bagas jauh banget ya," protes Desi enggak terima.
"Terus? Masalahnya apa? Gitu aja kok diributin. Siapa tau muka Bapak gua itu muka favorit Tuhan, makanya banyak yang mirip," Lisa memang begitu orangnya, agak cuek.
"Ya gua seneng aja. Siapa tau dia itu jodoh lu," kata Desi yang bikin Lisa geleng-geleng.
Bapak mirip jodoh? Yang ada Bapaknya Lisa sama Bapaknya Bagas kali yang jodoh. Bukan anaknya.
"Dimana-mana itu yang mirip yang jodoh. Bukan anaknya, otak pake dong,"
"Terserah lu deh, tapi kalau nanti lu beneran jadian sama dia jangan lupa traktir ya. Gua mah gak muluk-muluk, bakso Mang Bagas juga cukup, 2 porsi tapi,"
"Ye si mpret, kayak gua bakal jadian aja, Matahari udah cukup buat gua,"
"Tadi gua liat Matahari," ujar Desi yang membuat Lisa langsung memandangnya.
"Dimana?"
"Giliran dia aja lu semangat!"
Lisa cuma bisa nyengir. Semua hal tentang Matahari memang bikin dia semangat. Mulai dari gaya rambut barunya hari ini, sampai ekspresinya pas senam tadi pagi.
"Di kantin. Tapi dia sama si Merkurius,"
Kalau Matahari bisa bikin Lisa semangat, terbalik sama Merkurius. Merkurius itu enggak jauh beda sama black hole. Kalau black hole bisa menyedot benda-benda langit ke dalamnya, Merkurius bisa menyedot semua kebahagiaan Lisa. Dengan parasnya yang cantik itu, Merkurius bisa dengan mudah mendapatkan yang Lisa inginkan. Dulu Alvin, sekarang Matahari. Tapi Lisa enggak benci Merkurius. Merkurius itu temannya juga, walau kurang akrab. Manusia mana yang membenci temannya sendiri.
"Ah udah biasa, bodo amatlah gua sama yang begituan. Toh gua cuma sekedar kagum sama dia,"
Desi nepuk bahu Lisa dengan dramatis, tapi makin lama pukulannya makin kencang dan bertenaga.
"Ah si Anj- eh pagi Bu,"
Baru aja Lisa mau ngumpat tapi Bu Pulo lagi jalan ke arah mereka. Untung jaraknya tuh masih lima meter-an, jadi aman. Maklum, Bu Pulo atau yang biasa Lisa panggil Bu Island ini udah berumur, ketajaman pendengarannya sudah berkurang. Dua tahun lagi beliau pensiun, sedih kalau diingat. Bu Pulo tuh walaupun agak galak, tapi dia itu baik banget. Lisa jadi ingat waktu handphonenya hilang, Bu Pulo yang semangat ngasih dia saran dan nenangin dia. Pokoknya Bu Pulo itu best banget lah, pikir Lisa.
"Tangan kamu bagaimana? Masih sakit?" tanya Bu Pulo ke Lisa. Tadi pagi Lisa memang sempat mengaduh kesakitan di depan Bu Pulo, Bu Pulo langsung bertanya ada apa. Lisa cuma bisa jawab tangannya sakit karena kepentok ujung meja, padahal tangannya sakit karena kebanyakan nulis.
"Udah mendingan bu, enggak begitu sakit,"
"Syukur kalau begitu, Ibu duluan ya," pamit Bu Pulo sambil nepuk bahu Lisa. Nepuk bahu itu memang kebiasaan Bu Pulo pas pamit, tapi Lisa enggak pernah protes. Rasanya kayak ditepuk Ibu sendiri, itu yang Lisa pikirkan.
"Iya Bu," sambil tersenyum manis Lisa mengatakannya.
"Anjir untung enggak kedengeran! Aman nasib gua," ujar Lisa lega saat Bu Pulo sudah jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Same
Teen FictionOrang bilang kalau mirip itu artinya jodoh. Tapi ini yang mirip Bapak kita berdua, apanya yang jodoh?