Author : Minsoo Kim
Pairing : Vmin, Kookmin, Yoonmin, Jihope
Rate : 15+
Length : 1k words
Genre : Angst, Romance, DramaDisclaimer. I do not own either of these cast, theyre belong to their own families, god and girlfriend (if theres any). The storyline and ideas came purely from my mind and brain.
Warning! Typo dimana-mana.
.
.
Sudah berapa kali kukatakan bahwa ini menyakitkan, lebih sakit dari tusukan jarum suntik pada saat penggalangan donor darah yang biasa kuikuti. Sungguh rasanya aku ingin mengakhiri, tapi apalah daya mentalku tak bisa memungkiri bahwa takut akan kematian selalu menyergap diriku yang terbalut akan kewarasan. Mungkin memang orang kata, aku lemah, ya, sangat lemah. Lebih rapuh dari sebongkah kayu yang lapuk.Memandang langit berhiaskan warna biru dengan bintang sebagai pelengkap, serta bulan purnama yang terang menderang bersinar di malam hari ini kulakukan. Lengkingan keras yang memecah keheningan hampir saja keluar dari mulutku saat kurasakan sesuatu mengunci pergerakanku dari belakang, seiring dengan lontaran pertanyaan yang terdengar lembut di gendang telingaku, "Apa yang kau lakukan di luar sini, sayang?"
Aku masih bergemik, tak ada niatan menjawab. Pikiranku masih melayang. Seuntai memori kembali terekam jelas dan berputar dalam ingatan, membuat secercah rasa sakit menyergap jantungku untuk merasakan perih tak terobati.
Aku sakit karena terus mengingatmu.
.
.
.
I say...,You said.
We are not belong together.
When the truth is, i want us to be.
.
Aku ingin kembali. Kembali saat di mana kita dapat terus menyalurkan kasih sayang satu sama lain, dengan sentuhan lembut yang diterima di masing-masing kedua belah pihak. Tetapi, harus kusadari bahwa itu hanyalah angan belaka yang takkan pernah terwujud kembali, mungkin, bukan sekarang, mungkin, takkan pernah lagi."Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, kamu bersama wanita lain?" Aku berucap pada lawan bicaraku yang terdiam di hadapanku. "Kamu selingkuh, kan? Aku tak ingat kamu pernah memperkenalkan saudaramu yang seperti dia!" Ujarku, melanjutkan pertanyaan yang tak kunjung dijawab.
Dia tersenyum tipis dan mengabaikanku, untuk berjalan melewatiku dan meraih gelas yang terletak tak jauh di belakangku.
Menahan tangis dengan sekuat tenaga, aku memberanikan diri untuk berseru memanggil namanya, "Ya, Kim Taehyung!"
Langkahnya terhenti saat mendengarku meneriakkan namanya, berdiam diri di tempat, sebelum dapat kudengar, akhirnya, ia berbicara sesuatu yang menyelekitkan hatiku, "Aku rasa, kita harus berakhir."
A-apa? Aku terlonjak kaget mendengar perkataannya yang langsung mengkonklusikan kata 'putus' untuk mengakhiri perdebatan sepihak di antara kami.
Dan yang lebih membuat hatiku remuk rasanya adalah lanjutan kalimat yang terujar darinya, yang tentu saja tertuju padaku, "Dari awal kutak pernah mencintaimu. Jadi, pergilah. Tinggalkan aku."
Liar. Aku berteriak dalam hati, tak ingin memercayai serentetan kata yang terucap dari mulutnya. Pernyataan yang sungguh menusuk ulu hatiku dan membuat diriku lemah tak berdaya mendengarnya.
Dengan itu, aku pergi. Pergi darinya. Kehidupannya. Kehidupan yang penuh dengan kebohongan, kuyakini bahwa ia tengah membohongi diri maupun hatinya.
Sampai kapan kau akan terus begini? Aku bertanya dalam hati.
.
.
.
"Aku pulang." Lamunanku terbuyar saat mendengar seruan seseorang. Aku tersenyum tipis, tak ada niatan untuk beranjak dari tempatku berpijak saat ini. Balkon kamar. Dengan semilir angin yang berhembus, menyapa wajahku untuk merasakan dingin dan sejuk pada kulit sensitifku."Kau sedang apa, Jimin?" Aku menoleh untuk mendapati seseorang berjalan mendekatiku.
Disaat dirinya sudah berdiri tepat di hadapanku, kulingkarkan tanganku di lehernya dan berucap, "Aku tak sedang melakukan apa-apa, yoongi."
Yoongi meraih pinggangku dan membawaku ke dalam dekapan, rengkuhan hangatnya. "Aku akan selalu ada di sini untukmu."
Namun, aku takkan bisa selalu ada di sini untukmu. Maafkan aku, Yoongi.
.
.
.
Senyuman palsu terus saja terpampang pada wajahku. Dengan hati yang terkoyak, aku masih melanjutkan hidup yang terasa begitu kosong."Jim, kau tak apa?" Aku melihat seseorang melangkah mendekatiku dari pantulan kaca.
Dan lagi, senyum miris turut menghiasi wajah lesuku saat ini, "Aku tak apa, hobbie." Aku berhambur memeluknya dan menyembunyikan tangisku dalam dekapannya.
Aku tak apa...
.
.
Aku meraih ponsel genggamku yang tersimpan rapi dalam tasku saat kurasakan getaran yang menggelitik tubuhku. "Halo," Aku menjawab, tanpa mendengar dari sapa panggilan itu berasal.Hening. Tak ada suara yang menyahut dalam selang beberapa menit, dan entah mengapa aku tak kuasa untuk menutup panggilan tak bersuara itu, yang membuatku menahan isakan saat selang beberapa waktu setelahnya, seseorang mulai bersuara, "Aku merindukanmu."
Aku juga merindukanmu, hei, bodoh.
.
.
Suasana begitu sunyi, tak ada satupun di antara kami menyuarakan pikiran dan hatinya masing-masing. Aku masih tenggelam dalam pikiranku yang melalangbuana, melayang entah kemana."Sayang, kau tak apa?" Mendengar seseorang akhirnya bersuara, aku mendongak. "Ini temanku, namanya Taehyung. Kim Taehyung."
Aku tahu... sangat tahu. Bagaimana aku tidak mengetahuinya?
"Hai, senang berkenalan denganmu, Jimin. Jeon Jimin."
Ha-ha...
.
.
Author P.O.V"Dia menghilang." Seorang pemuda dengan kalang kabut mengendarai mobil sportnya, melenggang dalam jalanan yang sepi. "Aku harus mencarinya ke mana lagi, Tae-hyung?"
Pemuda lain di sampingnya hanya diam tak berkutik, tak ada tanggapan untuk pertanyaan 'sahabat' -rekan bisnisnya yang sibuk dengan pikiran terpenuhi oleh pertanyaan tentang keberadaan sang kekasih-atau mungkin dapat dikatakan pasangan hidupnya.
"Oh, Tuhan... Aku sungguh sangat mengkhawatirkannya. Di mana ia sekarang?" Lontaran pertanyaan itu kembali terucap dari mulut pemuda tersebut. "Kumohon, lindungi dia, di manapun ia berada."
Dan Taehyungpun mengucapkan hal yang sama dalam hati. Ya, ia berdoa akan keselamatan-mantan-kekasihnya itu.
Jikalau ia berani, ia akan mengaku pada dunia pada dirinya masih sangat mencintai Jimin. Pujaan hatinya yang dulu ia campakkan. Ia usir dari kehidupannya dengan alasan untuk kebahagiaan Jimin itu sendiri, karena ia haruslah sadar akan kondisinya, dia, seorang pengidap penyakit kanker stadium akhir yang menunggu akhir kehidupan menjemputnya, dan ia tak mau membuat Jimin tergelung akan kesedihan disaat hari itu kelak datang kepadanya.
Ia tahu, ia bodoh, ia pendusta. Ia memakai teman sepermainannya untuk mengelabui Jimin dan membuat Jimin percaya bahwa ia tengah bermain di belakangnya, yang tentu saja itu tidak benar adanya. Dan juga, ungkapan bahwa ia tidak mencintai Jimin, malaikat tak bersayap itu merupakan kebohongan belaka agar Jimin menjauh darinya.
He knows, he is pathetic. He knows it too well.
But, lying is the best option he got.
And everything is all lies.
.
.
End.Yang gak ngerti dimohon tonton video A lie dari B1A4:)
Ditunggu vomennya, makasih.
Peace and love,
Kimmie.