Dua Puluh : Pantai Kenangan

4.2K 113 0
                                    

Aku membalasnya dengan senyuman, aku sudah tak tahan sebenarnya dengan perutku yang seperti ini, aku pun memaksakan diri untuk tidur di perjalanan.
Sesampainya di pantai aku terbangun karena mendengar suara yang rame. Pantai yang sangat indah ku nikmati setelah keluar dari mobil. Hawa sejuk bercampur panasnya pantai menghampiri diriku. Tak terasa perjalanan panjang pun terbayar dengan indahnya pantai.
“Nda kita nikmatin dulu aja pantainya, abis ini kita ke villa nginap di sana sampai besok”. Kata rendi sambil menikmati suasana pantai.
“Villa???”.Kata ku kaget, dan berfikiran tentang hal-hal yang buruk.
“Gitu amat kagetnya, santai aja aku orang baik, kamu nanti sekamar dengan temen-temen cewek, reva juga di situ biar kamu nanti akrab juga dengan mereka”. Rendi menjelaskan.
Lega rasanya setelah mendengar penjelasan rendi, tapi tetap saja hatiku masih ragu untuk percaya, aku di kelilingi oleh tim medis semua, ada yang perawat, farmasi dan juga seorang dokter. tapi selama dia tidak memakai pakaian medis aku akan menganggap mereka teman.
Saking asyiknya bermain pasir bersama mereka semua, akupun sejenak melupakan sakit perutku, aku berada di tengah-tengah mereka seperti keluarga baru, mereka semua sangat perhatian, sesekali mereka bercanda, bertolak belakang sekali ketika ia berada di RS dengan pakaian medisnya, yang terlihat menakutkan.
“Nda istirahat dulu yuk.” Kata Reva mengajakku berteduh di bawah pohon kelapa.
“Yuk”. Kata ku sambil mengikuti reva dan meninggalkan mereka semua yang asyik bermain air dan pasir.
Aku duduk di bawah pohon dan menikmati silirnya angin laut. Sesekali aku menahan rasa sakit di perutku, aku tidak tahu kenapa aku bisa merasakan sakit yang separah ini.
“Aku harus kuat, aku tidak akan mengeluh”. Tekat ku dalam hati.
Sore telah tiba akhirnya sang surya pergi berganti bulan yang indah. Aku bersama teman-teman dan rendi pun pergi ke villa yang telah di pesannya yang tidak jauh dari pantai.
Akupun di tempatkan sekamar dengan reva dan dinda teman rendi di lantai tiga, dan rendi berada di lantai dua bersama temen-temennya.
“Nda, kamu mandi abis itu  turun ke lantai satu kita makan bersama, abis itu kita ada agenda di pantai buat api unggunan. Oke Manja?”. Kata rendi sambil mengejekku.
“Oke Dokter Lebay”. kata ku sambil tertawa. Reva dan dinda yang di dekatku juga ikut tertawa.
“Cie... udah dapat panggilan spesial nih, keliatanya”. Kata reva yang mengejekku.
“Apaan sih, yuk kak rev naik aja, lupain kata-kataku yang tadi.” Sambil menarik tangan reva.
Akupun selesai mandi dan langsung siap-siap ke bawah untuk makan bersama. Setelah berkumpul semua di meja makan yang panjang akhirnya kita semua menikmatinya. Sesuap nasi yang ku masukkan dalam mulutku tiba-tiba perutku menolak begitu saja.
“Maaf aku mau ke toilet dulu”. Aku langsung lari menuju wastafel di dalam kamar mandi.
Aku merasa lemas dan tak tahan sakit dan perih di perutku, aku memuntahkan makanan yang kumakan tadi, pusing rasanya. Aku tidak pernah merasakan rasa sakit yang sesakit ini.
Tok*tok*tok
Ketukan dari luar pintu. Akupun membukanya.
“Nda kamu kenapa”. Kata rendi yang memegang pundakku.
“Aku gapapa, mungkin mabuk perjalanan panjang tadi siang”. Kata ku menjelaskan pada rendi yang kebingungan.
“Ya udah biar di buatin teh anget dulu aja, kamu kembali ke meja makan apa mau di kamar nanti biar di antar.” Kata rendi.
“Aku ke kamar aja, ga enak sama temen-temen yang lagi makan”. Kata ku sambil meninggalkan rendi.
Akupun masuk kamar dan membaringkan badanku yang semakin lemas. Beberapa menit kemuadian reva dan dinda masuk ke kamar dan memberikan teh hangat untukku.
“Nih buat kamu Nda, minum dulu mumpung masih hangat”. Sambil memberikan segelas teh hangat.
“Makasih kak, maaf ngrepotin kak reva sama kak dinda”.
“Ah... biasa aja, kamu abis ini ikut ke pantai ga, kalau ga kuat jangan di paksa”. kata dinda.
“Ikut aja kak, aku kan Strong, lagi pula kalau di sini ga ada temenya”. Kata ku sambil memperlihatkan senyuman ceria.
Akupun menahan rasa sakit dan ikut meramaikan acara api unggun di pantai.
Ku nikmati hangatnya api unggun yang di tiup oleh angin laut, di temani indah bintang dan suara ombak, di selingi suara hangat dari temen-temen. Kita menyanyi bersama melingkari api unggun, bercanda dan bergurau. Aku menikmatinya dan melupakan rasa sakitnya. Aku dan rendi seperti biasa bercanda, bertengkar dan akur lagi, tidak lupa kita semua mengabadikan momen-momen tersebut dengan mata, hati, maupun kamera.
Saking menikmati suasana pantai malam, sampai lupa waktu akan istirahat, kita pun kembali ke villa sekitar jam sebelas malam. Aku dan teman teman kembali ke kamar tidur dan istirahat.
“Auchhh... Sakit.... sakit”. Akupun tidak tahan dengan rasa sakit ini, aku meronta kesakitan.  Dengan wajah ucat dan terus memegangi erutku yang perih.
Dinda dan reva sampai terbangun dan menenagkanku.
“Nda kenapa yang sakit yang mana?”. Dinda bertanya dan kebingungan.
Akupun tidak mengiraukan mereka, aku merasa seperti sendiri memikul beban yang besar. Aku terus kesakitan.
“Din aku panggil Rendi dulu, coba kasih minyak kayu putih di perutnya Nda”. Kata reva yang tergesa-gesa keluar.
****
“Nda kenapa, coba mana yang sakit”. Rendi memegang tanganku.
“Sakit....sakit”. kataku sambil megegang perutku dengan sangat kuat, aku merasa hari ini aku akan melalui masa-masa yang sangat menakutkan.
Semua teman-teman kebingungan.
“Ren di dekat sini kelihatanya ada UGD 24 jam, kita bawa kesana aja”. Kata Romi.
“biar aku aja yang obatin”. Kata rendi
“Ren loe jangan gila, kita ke sini ga bawa alat medis sama sekali, walaupun kita tim kesehatan kita tidak boleh seenaknya, ini nyawa bro. Kalau ada apa-apa di kira kita mal praktek”. Romi mulai memperlihatkan kedewasaannya.
“Yaudah, tolong siapin mobilnya Rom, biar aku bawa ke bawah Nda nya”. Kata rendi yang siap-siap membopongku.
“Auch... Sakit”. Semua terasa buram dan sekejap gelap tanpa ingatan.
****
“Gimana dok keadaan Nda”. Tanya rendi kepada dokter yang keluar dari ruang UGD.
“keadaan pasien masih lemah, pasien mengalami maag, sepertinya pasien selama ini mengabaikan maagnya beberapa hari ini”. Jelas dokter.
“Nda berobat jalan atau gimana dok?”
“Untuk saat ini biar pasien istirahat dan menghabiskan infusnya, mungkin besok siang baru boleh pulang, dan di lanjut dengan obat jalan, Mas ini pacarnya atau kakaknya?”. Tanya dokter.
“Dia pacarnya dok”. Spontan romi menjawab pertnyaan dokter.
“Kamu apaan sih rom”. Kata rendi sambil menginjak kaki romi.
“Ya udah saya tinggal dulu, jangan ramai biar pasien bisa istirahat”. Kata dokter.
“Ren kamu masuk aja, biar aku sama romi yang menjaga di luar”. Kata reva.
“Yaudah, makasih ya rev, Rom”.
Mereka berdua mengacungkan jempol ke rendi.
****
“Nda kenapa kamu menahan rasa sakit sejak tadi siang, aku tahu hati kecilmu tidak ingin menyusahkan orang lain, tapi apa,  lihat kamu sekarang terbaring lemah di sini”. Rendi membisikkan ke telingaku.
Rendi dengan sabar duduk di samping tempat tidurku dan menemani di sepanjang malam, dia memegang tanganku yang lemah.
Malam yang gelap ku lewati, ku buka mataku dengan perlahan dan ku pegang tangan yang mengenggamku. di sisiku ada seseorang yang menungguku.
“Auchh...”. sambil memegang kepalaku yang pusing.
Rendi langsung terbangun.
“Nda kamu udah bangun?”. Kata rendi
“Aku ada di mana ren, ini bukan villa kelihatanya”. Kulihat selang infus yang menancap di tangan kiriku, akupun langsung meresponya.
“Achh.... ini infus”. Akupun langsung memegang dan ingin mencabutnya, tapi kedahuluan rendi yang memegang tangan kananku,
“Kamu mau ngapain Nda biarin dulu aja, kamu istirahat dulu aja”. Menenagkanku.
“Lepasin, aku benci sama benda ini, lepasin”. Sekuat apapun yang ku lakukan aku akan kalah dengan rendi.
Tanganku masih di pegang kuat oleh rendi,
“Kamu tunggu sampai infus ini habis, baru boleh di lepas, itu aja tinggal dikit kan”. Sambil menunjuk isi infus.
“Lepasin ren, aku takut”. Akupun meronta-ronta.
“Lho ren, Nda kenapa kok sampek nangis kek gitu, suaranya sampek terdengar dari luar?”. reva bertanya.
“Biasa rev, dia kan takut jarum, apa lagi infus yang jarumnya menancap di tangannya”. Kata rendi.
“Oh... Nda itu ternyata takut jarum ya, lucu deh”. Reva tertawa kecil.
“Tidak itu aja Rev, dia takut sama dokter yang memakai jas dokter”. kata rendi sambil tertawa.
“Kenapa sih ren rahasiaku kamu bongkar, awas aja ya”. Sambil berusaha melepaskan genggamanya yang sangat kuat.
“biarin, emang bener kan, weekkk”. Sambil menjulurkan lidahnya ke arah ku.
“Kalian berdua ini berantem mulu, capek dengernya”. Kata reva sambil menutup telinganya.
Tok*tok*tok
“Selamat Pagi ?”.
“ACHH....pergi-pergi” akupun dengan kuat menarik tangankuyang di genggam rendi dan langsung menutupi mataku, kulihat seseorang yang berjas putih dan membawa stetoskop di lehernya. Dan itulah orang yang paling menakutkan dalam hidupku yaitu seorang dokter.
“kenapa mas, pasien kok ketakutan begitu”. Tanya dokter.
“Dia takut sama dokter dok”. Kata rendi.
“ini infusnya mau saya copot dan hari ini di perbolehkan pulang, asal berobat jalan”. Kata dokter.
“ya udah dok biar saya bantu membujuknya”.
“Nda tangan kamu mana biar di lepas infusnya”.
“pergi, aku ga mau di pegang sama dia”. Kata ku sambil menutupi wajahku.
“Ren di paksa aja, biar tangannya kirinya aku pegang, dan biar di lepas infusnya”. Kata reva.
Akhirnya tangan kiriku di paksa di luruskan dan di ambil infusnya. Akupun di pegang rendi dan berada di tepat dadanya aku menutupi mukaku.
Setelah sekian menit akhirnya aku bisa keluar dari tempat yang menakutkan itu, dengan wajah yang sembab ku. Malu pasti dan di wawancara teman-teman ketika masuk villa.
Setelah semuanya selesai packing, akhirnya kita melanjutkan perjalanan pulang kembali ke kota asal. Seperti biasa aku duduk di samping rendi yang sedang menyetir mobilnya.
“Nda, baru tahu aku kalau kamu nangis sampek segitunya, kaya di Drama aja”. Kata rendi sambil tertawa.
“Puas kamu, sudah buka aib orang sekarang ngeledek”. Kata ku dengan muka cemberut.
“bukan ngeledek, tapi emang lucu, kaya anak TK gitu”. Melanjutkan tertawanya.
Akupun dengan sigap menjewer kupingnya.” Nih tanda trimakasihnya”.
“Auch...Apaan sih kamu Nda”. Sambil memegang telinganya yang hampir putus karena jeweran maut ku.
“Kalian mulai lagi deh, yang satunya jail, yang satunya ga mau ngalah”. Kata reva yang di belakangku langsung menyaut.
“udahlah rev, anggap aja aku sama nda radio komedi”. Kata rendi sambil menoleh kebelakang.
Akhirnya reva melanjutkan tidurnya di mobil mungkin tadi malem jadi satpam di UGD.
“Ren emang aku sakit apa sih kok sampek di infus segala?”. Tanyaku polos.
“Panggilnya yang bener kalau mau jawabanya, nih aku contohin bilangnya harus Kak Rendi”.
“Aku akan panggil begitu kalau aku berada di lingkungan sekolah pas Ekstra PMR, Paham!”. Kata ku jutek.
“ya udah kalau gitu ga aku jawab”.
“Sebenarnya yang sakit aku apa kamu sih, kok aku ga tau sakitnya apa”.
“kamu sakit jiwa, makanya kamu dikit-dikit marah, nagis, tertawa, Puas”. Kata rendi yang terus menjengkelkan.
“pusing tau ga ngomong sama dokter gila dan lebay kaya kamu itu. Kalau nanti di tanya ibu pokoknya kamu yabg tnggung jawab”. aku langsung menghadapjendela mobil dan pura-pura tidak mendengarkan ocehan rendi.

&&&&
Selamat membaca. Makasih semuanya mungkin ini bagian yang paling panjang, maapin ya. Tunggu cerita selanjutnya ya.😊
Kritik dan saran boleh lho😊😊

Me Vs DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang