⛈️Hujan di Terminal Kota

443 38 13
                                    

Hari keberangkatan tiba. Mama dan Papa mengantar Shila sampai terminal dan meninggalkan dia bersama teman-temannya. Ada belasan anak yang akan pergi. Rasanya seperti akan study tour saja. Ramai, penuh canda, dan bahagia.

Mereka sudah resmi menanggalkan seragam putih abu-abu. Pesta perpisahan sudah dilaksanakan kemarin. Banyak teman mereka yang memilih tidak hadir pada acara perpisahan dan langsung pergi ke kota tujuan untuk langsung mendaftar bimbel. Membayangkan akan melanjutkan studi di kota berbeda, tanpa seragam, teman dan lingkungan berbeda membuat mereka sangat bergairah sekali.

"Shil, mana Adhit? Bis kita sudah mau pergi, lho." Rio yang mendeklarasikan diri sebagai ketua rombongan membagi-bagikan karcis kepada teman-temannya.

"Nggak tau, nih. Dia seharusnya udah datang. Nggak biasanya telat," jawab Shila khawatir. Dia dan Adhit janjian mau ketemu langsung di terminal.

"Jadi gimana, nih. Karcis udah terlanjur dibeli, lho."

"Kalian duluan aja, deh. Biar aku yang tunggu dia. Nanti aku naik bus terakhir aja," jawab Shila lagi sambil memberikan sejumlah uang kepada Rio.

"Bener, ya, nggak apa-apa? Nggak enak, nih kamu jadi sendirian."

"Beneran! Nggak papa, kok. Paling sebentar lagi dia datang. Kalian duluan aja." Shila mencium kedua pipi Febi dan melambai padanya ketika mereka menaiki bus.

Satu jam

Dua jam

Tiga jam

Sudah tiga jam Shila duduk di terminal dan Adhit belum juga kelihatan. Apa yang terjadi padanya? Tidak biasanya dia ingkar atau lupa pada janji-janjinya. Shila mulai gelisah dan berjalan mondar-mandir di dekat kursi tunggu. Matahari merangkak naik, udara makin panas.

Apa yang harus dia lakukan sekarang? Mendatangi rumah Adhit? Bagaimana jika mereka selisih jalan? Dia ke rumahnya dan Adhit sedang dalam perjalanan ke mari? Shila pun memutuskan untuk menunggu.

Satu jam

Dua jam

Tiga jam

Teman-temannya pasti sudah sampai di Jogja saat ini dan dia masih di sini tanpa kepastian. Apakah harus tetap menunggu? Atau memilih pulang dan menghubungi rumah Adhit? Shila mulai khawatir. Telepon koin di terminal tidak berfungsi dan tidak ada wartel di sekitar sini. Dia kesal, lelah, dan tubuhnya mulai gemetar karena khawatir.

Apa yang terjadi dengan Adhit? Ini di luar kebiasaannya. Adhit tidak akan membiarkannya menunggu tanpa kepastian. Pasti telah terjadi sesuatu pada Adhit. Sesuatu yang buruk!

Air mata mulai mengalir di pipinya. Titik-titik hujan mulai turun. Shila duduk di salah satu bangku tunggu dan menangkupkan kedua tangannya ke wajah. Dia tidak ingin menangis tapi air matanya meleleh. Dia kesal. Kesal dan khawatir. Apa yang sesungguhnya terjadi? Semakin lama waktu berjalan, perasaannya semakin tidak menentu. Dia semakin yakin jika telah terjadi sesuatu pada Adhit. Pasti! Tapi apa? Bagaimana? Berdiam diri tanpa kepastian seperti ini tak ada gunanya.

Aku harus ke rumah Adhit untuk mencari tahu!

Baru saja dia mengangkat wajah, pandangannya menangkap sosok yang sejak tadi ditunggunya. Dia mengembus napas lega. Namun Adhit yang sedang berdiri di seberang jalan dan memandanginya dengan mata lelah, tidak terlihat seperti Adhit yang biasa. Tak ada gairah dan kebahagiaan di matanya. Bahunya melorot dan raut wajahnya seolah mengatakan permohonan maaf yang sangat dalam.

Perlahan dan dengan langkah lunglai, dia berjalan ke arah Shila. Tetesan hujan bagai berlian berjatuhan di kepalanya. Setelah dia duduk di samping Shila, pandangannya tertunduk. Menekuri lantai cor yang telah coak di sana sini.

Rain to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang