Pasir mendenging beterbangan. Menggesek tubuh si gadis yang berdiri bingung. Tangan mungilnya berusaha melindungi mata dari butiran-butiran liar. Ia memakai mantel seperti selimut beserta tudung menutup kepalanya. Bisikan-bisikan menggaung memenuhi pendengaran."Sang Pewaris."
"Ramalan itu benar."
"Tolong kami! Tolong kami! Tolong kami!"
"Angkat siksaan ini dari tubuh kami!"
"Siapa kalian? Tunjukkan diri kalian?" Si Gadis berteriak pada pusaran angin pasir yang mengelilingi. Degupnya keras berdentum-dentum. Sangat cepat. "Aku tidak tahu siapa kalian! Keluarkan aku dari sini!"
Seketika, bisikan-bisikan itu lenyap. Pusaran angin menyingkir. Badai Pasir mereda. Pada sudut kiri penglihatannya, tergambar citra sebuah bangunan besar berdinding hitam. Pintu raksasa berdiri gagah tepat segaris dari tempatnya. Beberapa dinding menyiku beberapa derajat dan terus memanjang hingga berakhir pada sikuan berikutnya. Menara-menara menjulang pada puncak dinding di ujung tiap sikuan. Bisikan itu kembali. Kali ini hanya satu. Dan terdengar memerintah.
"Sang Pewaris."
"Melangkahlah! Raih takdirmu!"
Seperti ada kekuatan lain yang memaksanya mengayunkan langkah menghampiri gerbang raksasa. Ia melewati jembatan gantung batu yang melintang di atas parit lebar. Tiang-tiang kokoh bersilangan di atasnya. Rantai-rantai besar menahan jembatan tetap pada bentuknya. Terdengar bunyi desis, raungan, dan gelegar ledakan dari parit itu. Si gadis melongok ke kedalaman parit. Di sana terlihat kobaran api biru dan merah menyerupa ular berukuran besar. Memilin dan saling melilit penuhi dasar parit. Panas kobarannya menyengat wajah manis si gadis dan menyudahi rasa penasarannya.
"Sang Pewaris," bisikan itu kembali.
"Melangkahlah! Sentuhlah Gerbang Besi!"
Gadis itu kembali melangkah. Bangunan setinggi 60 meter itu menjulang gagah. Perlahan, bayangannya meneduhkan si gadis seiring dengan semakin dekat ia pada pintu utama. Pintu besar setengah lingkaran yang terbuat dari logam mengkilat. Puncaknya mencapai separuh dari dinding. Lebarnya segaris dengan jembatan gantung batu. Pada permukaannya tergambar 13 simbol aneh mengelilingi lingkaran berbentuk seperti matahari.
"Sentuhlah Sang Penjaga!"
"Lihat Takdirmu!"
Sebuah dorongan memaksanya kembali. Tangan mungilnya bersentuhan dengan pintu gerbang. Simbol seperti matahari berpendar biru terang, bersama dengan 12 yang lainnya dengan warna berbeda. Kecuali satu yang pendarannya sangat buram. Berlawanan dengan simbol pada sebelah kiri matahari yang menyala putih terang, simbol itu terlalu redup. Tidak terlihat di antara bayangan.
Bidang permukaan simbol mulai bergerak memutar. Pada permukaan masing-masing simbol bertempat bergerak menimbul dan bergeser ke tepian gerbang. Si gadis mundur empat langkah. Sementara simbol seperti matahari, bergerak melesak ke dalam gerbang bersamaan dengan permukaan terakhir membelah jadi empat dan bergeser membuka. Di baliknya api berkobar memenuhi rongga pintu.
'Sekarang apa?' gerutunya dalam hati. Matanya liar menatapi api yang berkobar di hadapan. Mencari adanya celah yang bisa ia manfaatkan.
"Sang Pewaris! Melangkahlah!"
"Melangkahlah dengan penuh keyakinan!"
"Tak ada yang bisa melukaimu."
"Semua tunduk. Semua patuh padamu."
Dengan gemetar kakinya melangkah. Ia pejamkan mata kuat-kuat. Tangan kanannya terulur ke depan. Tapi tidak ada rasa panas hinggap di telapaknya. Perlahan ia membuka mata. Melihat sekeliling dengan tak percaya. Kobaran api membentuk lengkungan di sekitarnya. Cukup luas sampai si gadis tidak merasakan panas sama sekali. Dengan keyakinan baru, ia terus berjalan. Api menyingkir. Kobaran setebal tiga meter itu berhasil ia lewati. Kini di hadapannya berdiri lapisan air.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lina dan Tongkat Elemental
ФэнтезиAku berdiri di ruang teratas kuil. Sebatas tepian bangunan, air berpusar ratusan meter ke langit. Aku berhadapan dengan makhluk raksasa berkaki empat dengan tanduk kembar mengacung tertanam di kepalanya yang bersurai akar lebat. Aku terjebak ant...