Prolog

470 39 5
                                    

Lapangan Lumintang, Denpasar, Bali, 2017

"Reyyan."

Seseorang memanggil dengan suara keras. Aku segera membalikkan badan, mencari Sumber suara. Siapa yang memanggilku ditempat yang asing ini?  Dari kejauhan, aku melihat seseorang wanita sedang berjalan mendekat ke arahku. Aku memicingkan mata, berusaha mengenali sosok itu. Jantungku mulai berdetak kencang tanpa bisa aku cegah. Hingga akhirnya sosok tersebut berjarak tidak jauh dariku, aku masih menahan nafas. Gak mungkin. Bukan dia. Ini gak mungkin. Aku mencoba membantah tebakanku sendiri akan sosok dihadapanku kini. Gak mungkin dia!

"Apa kabar, Rey? Masih ingat aku, kan?" tanya sosok dihadapanku dengan senyum lebarnya. Sebuah sosok yang nyata. Bukan sekedar ilusi.

Andai saja aku bisa menghilang detik itu juga, mungkin akan aku lakukan. Aku menelan ludahku yang terasa pahit di tenggorokanku sendiri.

"Reyyan," panggilnya sekali lagi. Mungkin, dia khawatir dengan diriku yang mendadak bisu saat ini.

"Apa kabar?" Wanita tersebut makin melebarkan senyumnya lantas mengulurkan tangan kanannya kepadaku.

"Baik," sahutku kaku.

Aku menatap uluran tangannya dengan penuh kengerian. Jika saja aku boleh melanggar semua etika yang pernah diajarkan orangtuaku kepadaku, aku tidak ingin menyambut uluran tangan itu. Aku justru ingin berlari sekuat tenaga untuk pergi dari hadapannya saat ini juga. Pergi begitu saja, tanpa kata-kata yang harus aku ucapkan sebagai tanda sopan santun.

Akhirnya, aku menerima uluran tangannya dengan enggan. Secepat kilat. Nyeri akibat sentuhan tangan kami yang aku rasakan barusan, terulang lagi bagiku. Ah, betapa aku benci situasi ini.

"Sama siapa? Kok bisa disini?" tanya wanita tersebut, tetap dengan senyum lebarnya.

Aku menatapnya dengan penuh ketakutan.

"Sendiri," jawabku singkat sambil mengalihkan mataku darinya.

"Rey," panggilnya pelan.

Aku kembali memandangnya. Entah kenapa, aku membenci caranya memanggil namaku.

"Kamu baik-baik aja kan?" tanyanya penuh dengan keprihatinan.

"Ya, gua baik-baik aja. Emm.., maaf, tapi gua harus pergi sekarang nyusul teman-teman gua."

"Tunggu sebentar."

aku menatap lenganku yang ditahan olehnya.

"Mau kemana?" tanyanya mendesak.

"Gua harus pergi," ucapku sekali lagi. Aku tidak akan mengatakan tujuanku kepadanya.

"Tapi, Rey...., please.."

Aku menatapnya dengan tegas setelah mengumpulkan seluruh kekuatan dari dalam diriku.

"Lepasin gua."

Aku mengucapkannya dengan pelan. Namun, aku tahu bahwa kalimatku barusan bagai petir yang menggelegar ditelinganya. Dia terdiam seketika. Matanya menampilkan sorot penuh penderitaan yang seharusnya aku alami dulu. Tetapi, tidak. Saat ini, aku tidak memiliki mata seperti itu, kini aku dipenuhi amarah. Dia melepaskan tangannya dari lenganku dengan pelan.

Aku meninggalkan dia dengan cepat, dan tidak ingin dia melihat air mata yang mula berdesakan ingin keluar saat ini. Jangan, gua mohon, bertahanlah sampai gua gak bisa terlihat lagi sama dia. Aku bergegas meninggalkan lapangan itu menuju mobil yang terparkir disisi lapangan. Setengah berlari. Setengah menangis. Setelah tiba didalam mobil, aku segera pergi meninggalkan area parkir. Aku tidak ingin dia dapat menyusulku jika aku tetap diam didalam mobil. Pandangan mataku mulai kabur. Bukan karena mataku yang sedang tidak sehat, melainkan karena air mata yang sejak tadi mendesak ingin keluar, akhirnya berhasil meloloskan diri.

Aku mengemudikan mobil pinjaman ini entah ke arah mana. Aku tidak peduli, selama aku bisa menjauh darinya, akan aku lakukan. Hingga akhirnya aku tidak mampu mengendalikan diriku sendiri. Aku menepikan mobil dipinggir jalan lantas menangis tersedu-sedu seorang diri.

*****

Nama tokoh gua bingung siapa jadi nama sendiri aja deh wkwkw gapapakan😅

Jangan lupa vote.

Serpihan Cinta LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang