Bel istirahat berbunyi lima menit yang lalu. Senja dan Ara yang duduk sebangku kini berjalan ke luar kelas menuju kantin. Di sana, mereka duduk di antara Leoni dan Ares yang sedari tadi menunggu mereka selesai mencatat ringkasan biologi.
"Hallo, Nja, Ra." sapa Leoni bersamaan dengan Ares yang sedang mengaduk siomay di mejanya.
Senja tersenyum. "Serasi amat berdua, lama nunggunya?"
Ara mendecak. "Iyap, mungkin kalo kita nggak kesini, kalian couple goals banget."
Leoni terkekeh. Ares mendengus. "Btw, gue dah pesenin kalian berdua siomay 2 porsi. Tunggu aja piringnya dateng," kata Ares memberitahu.
Sementara menunggu pesanan datang, Senja berdiri mengantri membeli minuman di warung sebelah. Ia mengambil dua lembar lima ribuan dari dompetnya saat akan membayar dua gelas es teh. Namun tiba-tiba ia merasa dirinya di senggol. Senja terlonjak kaget, sehingga minumannya ia jatuhkan begitu saja. Gelasnya pecah. Semua orang menatap ke arah Senja, tak terkecuali Leoni, Ara, dan Ares.
Ternyata itu Hujan. Dengan cepat Senja mengambil serpihan kaca yang pecah dan menaruhnya di plastik.
"Sorry, nggak sengaja." ucap Hujan singkat.
Senja mendongak. "Gapapa."
"Gue ganti minumannya dua kali lipat."
"Nggak usah. Simpen aja duit lo buat yang lain."
"Oh. Oke. Yaudah."
"Yaudah."
Disaat memunguti serpihan kaca yang tersisa, jari Senja tak sengaja tertusuk serpihannya. Ia menjerit pelan, lalu mendecak. Di kibas-kibaskannya jarinya itu lalu lanjut memunguti pecahan gelas itu.
Hujan bergeming. "Kalo luka, jangan dilanjutin kerjanya."
Hujan menunduk. Segera ia menarik tangan Senja dan membawa menjauh dari kantin. Senja tak membantah. Ia berusaha menjajarkan langkahnya dengan Hujan. Mereka masuk ke dalam UKS, Hujan menyuruh Senja duduk sementara ia mengambil kotak P3K.
"Lo itu tau nggak sih kalo kaca itu tajam?" gumam Hujan sambil mengobati jari Senja.
Senja mendengus. "Tau gue."
Hening.
Setelah selesai mengobati Senja, Hujan menaruh kembali kotak P3K ke tempatnya dan berjongkok di hadapan Senja lalu menggenggam tangan Senja yang terluka.
Entah mengapa, saat itu pula jantung Senja berdegup dua kali lebih cepat dari biasanya. Ritmenya tak beraturan, ia merasa dapat mendengar detak jantungnya yang keras di telinganya.
Hujan tersenyum. "Udah nggak apa-apa, kan?"
Senja masih saja tak dapat mengatur detak jantungnya. Ia berusaha menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya.
"Eum- lo nggak mau makan? Nanti istirahatnya abis loh, lo nggak mau makan dulu?" tanya Senja mengalihkan.
"Tadinya sih gue ngebet mau makan, tapi gara-gara gue, tangan lo kena kaca."
Senja mengangguk. "Yaudah sana lo makan gih."
"Lo udah makan?" tanya Hujan. Senja menggeleng pelan.
"Yaudah ayo sekalian makan bareng. Keburu bel bunyi."
Senja langsung menggeleng. "Gue nggak laper kok."
Hujan menaikkan alisnya sebelah, "Lah? Lo tadi geleng pas gue tanya. Ntar lo nggak bisa mikir loh kalo belum makan."
"Gapapa. Gue tadi udah makan bekal, makasih." Senja tersenyum.
"Yaudah sih ya, gue duluan." Hujan pun berjalan meninggalkan Senja.
Lima menit kemudian, barulah Senja berjalan menuju kelas dan segera menempati bangkunya. Tak lama kemudian, Ara, Leoni, dan Ares masuk bersamaan dan menoleh ke arah Senja.
"Lo gapapa, Nja?" tanya Leoni memastikan.
Senja mengangguk. "Gapapa, Le."
Ares mengernyit. "Lo kenapa cengar-cengir kek gitu? Syaraf lo potol?"
"Hm. Gue rasa tadi ada apa-apa deh." Ara menatap ke arah mata Senja, "Lo diapa-apain sama Hujan ya?"
Oh, namanya Hujan ya? Batin Senja.
Ares terkekeh. "Jangan-jangan lo di guna-guna Hujan, ya?"
Leoni menatap Senja tajam. "Lo nggak di tembak sama kak Hujan, kan?"
Senja menggeleng, "Kan gue belum putus sama Angga."
Ara mendecak malas. "Yakali mungkin lo naksir dia."
************
Senja berjalan menyusuri lorong kelas XII yang ramai akan siswanya yang duduk-duduk di depan kelas. Ia berjalan gontai sambil mengamati keadaan kelas-kelas yang dilewatinya. Senja berpikir sejenak, membayangkan dirinya menjajaki bangku kelas XII yang menurutnya tak ada lagi waktu untuk sekadar jalan-jalan atau bersengkrama dengan yang lainnya.
Senja yang semula hendak berjalan menuju kelasnya langsung berbalik arah saat melihat Angga tak jauh di depannya. Ia berusaha secepatnya berputar dan melarikan diri, namun ia terlambat...
"Senja!" panggil Angga sambil berlari ke arahnya.
Senja menghela napas pasrah dan terpaku di posisinya. Dalam hati ia berdoa memohon agar datang makhluk Tuhan yang akan menyelamatkannya dari Angga dan membawanya jauh darinya, walau hanya sesaat. Ia butuh pengalihan.
"Bisa kita ngomong sebentar?" tanya Angga menatap Senja.
"Gue mau pipis. Sorry."
Angga mengernyit bingung. "Tapi ini arahnya ke lorong kelas XI."
Senja tersentak, menyadari kebodohannya. Tuhan, tolong Senja. Kumohon. Senja membatin.
Dari arah pukul dua, Hujan baru saja keluar dari ruang guru sambil membawa tumpukan kertas. Hujan melihat Senja yang terlihat ketakutan dan menutup matanya. Tanpa pikir panjang, Hujan menghampirinya dan menariknya.
"Sorry." ucap Hujan sambil menarik lengan Senja menjauh dari Angga.
Senja mengikuti saja tanpa memberontak dan masih menutup matanya. Hujan membawa Senja menuju lapangan basket yang sepi.
"Tuhan, apa kau sudah menolongku?" tutur Senja masih menutup mata.
Hujan mengernyit. "Sudah."
Senja menaikkan sebelah alisnya. "Apa, Tuhan? Kau sudah membawaku kembali pada-Mu ya? Aku sudah mati dong?!"
Hujan sedikit terkekeh mengetahui kepolosan Senja yang mengira dirinya tiada.
"Lo udah tiada emang."
"Tapi, Tuhan? Senja belom punya anak!"
"Emang kalo mau mati harus punya anak dulu?"
"Ya seenggaknya Senja punya keturunan. Yakan?"
Kali ini Hujan tak sanggup menahan tawanya. "Gila lo ya, yakali siang bolong gini lo mimpi ngomong sama Tuhan."
Senja pun membuka matanya dan menyadari bahwa yang dihadapannya adalah Hujan, bukan Tuhan.
"Tuhan, engkau menyamar jadi lelaki seksi, kah?" gumam Senja.
"Lo bilang gue apa? Seksi? Lo kata gue Cameron Dallas?" tanya Hujan balik.
"Mirip kok," jawab Senja polos.
Hujan menyengir. "Kalo sama Brad Pitt?"
"Beda tipis lah, 11:12" banding Senja dengan wajah tak segan.
Hujan terkekeh. "Gue tau, gue ganteng."
"Hm, iya" gumam Senja sembari mengangguk, "Lah, kok daritadi gue muji lo? Lah anjir!"
Senja mengerucutkan bibirnya. Pipinya merona karena malu sedangkan Hujan menggeleng-geleng saja.
Senja berdecak. "Gue mau balik."
"Gue juga. Mau bareng?" tanya Hujan menatap pada Senja.
Senja mengangguk. "Oke."
Mereka berjalan berdampingan menuju kelas masing-masing. Sesekali Hujan menimpali Senja dengan kepolosan mimik wajahnya yang seakan 'berbicara' pada Tuhan dan ditanggapi Senja dengan mengerucutkan bibirnya atau menabok lengan Hujan.
Tanpa mereka sadari, dari balik pohon Angga memerhatikan tingkah mereka dan terlihat marah. Angga terus saja mendengus dan menahan luapan emosinya.
"Jadi sekarang lo pindah ke bocah sialan itu?"*Yowhohoho:v kalo alurnya agak gaje dimaapin yak?!! Wqwqwqw)))):
KAMU SEDANG MEMBACA
HUJAN DAN SENJA
Teen FictionLangit sudah menghitam. Matahari sudah tertutup awan kelabu. Hawa dingin menyergap. Orang-orang berkata, "Wah, hujan akan turun!" Hujan. Nama itu. Namamu. Indah dihiasi rintik air yang statis membasahi tanah. Hujan. Senja Senja. Hujan. Hujan dilang...