#Part 4

97 18 2
                                    

"Kok diam aja. Udah ngantuk ya?" Kak Dewi baru saja turun dirumahnya, meninggalkan aku berdua saja dengan Gaby untuk mengantarku pulang dengan mobilnya.

Aku berusaha mengunci bibirku selama perjalanan tadi. Aku membiarkan mereka berdua bercakap-cakap dengan tema kesukaan mereka, berharap tidak dilibatkan sama sekali. Aku melirik jam didasbor mobil. Waktu menunjukkan pukul sepuluh lewat. Belum terlalu malam untukku.

"Gak belum," jawabku singkat.

"Kalau malam Minggu kayak gini, biasanya suka pergi sama Yoga ya?" tanya Gaby lagi.

"Iya."

"Biasanya, kemana?"

"Mall, nonton, dengerin musik, cafe, main basket, atau dirumah aja nonton film atau main PS."

"Ohgitu. Ohya, ngomong-ngomong soal musik, gimana kemarin? Udah dapat tiket konsernya kan?" tanya Gaby, mengingatkan kembali bagaimana awal perjumpaan kami sebelum ini. Mau tidak mau, aku tersenyum senang membayangkan itu lagi.

"Udah dong," jawabku dengan antusias.

Gaby tersenyum mendengar jawabanku.

"Emangnya, kamu nonton sama siapa nanti?" tanya Gaby, tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan Raya yang sedang padat merayap.

Suasana pada malam Minggu seperti saat ini memang bisa dikatakan sebagai ajang menguji kesabaran bagi para pengendara kendaraan roda empat. Kepadatan yang harus ditempuh kadang kala membuat kaki terasa sakit setiba ditempat tujuan.

"Sama bokap. Sebenernya, bokap gua yang suka banget dengan band. Karna bokap sering nyetel lagu-lagu band ini, akhirnya gua hafal sama lagu mereka. Jadi ikutan suka juga deh. Terus, waktu gua bilang sama bokap kalo band ini bakal main disini,  bokap bilang mau nemenin nonton," jelasku.

"Oh pantes aja.....  Waktu ketemu di radio, aku agak sangsi cowok seperti kamu bisa seneng banget sama band ini. Ternyata, gitu toh ceritanya."

Aku hanya tersenyum menganggapi perkataan Gaby.

"Emangnya, Reyyan berapa bersaudara sih?" tanya Gaby lagi, membelokkan topik pembicaraan sebelumnya.

"Dua," jawabku.

"Punya kakak?"

"Gak. Gua paling besar. Gua punya adik laki-laki masih SD.

"Pantas. Pasti kamu disayang banget."

"Biasa aja kok," sanggahku.

Aku merasa bahwa tidak pernah mendapat perlakuan khusus dari orangtuaku. Mereka sangat tegas terhadap anak-anaknya, termasuk adikku. Sejak kecil, kami sudah diajarkan untuk mandiri dalam segala hal termasuk dalam kehidupan sehari-hari. Mama seorang ibu rumah tangga. Meski ada seorang pembantu yang membantu Mama dalam memasak dan membersihkan rumah, untuk urusan anak-anak, Mama seorang yang ngurus kami. Begitu kami sudah beranjak besar, semua hal harus kami kerjakan sendiri. Kasih sayang orangtuaku terbagi rata kepada semua anaknya, dan aku bersyukur memiliki orangtua yang begitu hebat seperti mereka.

"Maksudku, kamu kan anak pertama. Pasti kedua orangtuamu sangat manjain kamu. Wajar kok. Apalagi, anaknya ganteng begini."

Aku menoleh kearah Gaby. Itu pujian atau sindiran? Gaby balas menatapku. Gaby melebarkan senyumnya. Sekali lagi, aku terpaku menatap senyum itu. Jantung ini ikut-ikutan terdiam. Aku merasakan panas membara diwajahku.

"Yoga juga ganteng," balasku.

Entah atas dasar apa aku mengatakan hal itu kepada wanita ini. Gaby terdiam, tidak menanggapi perkataanku soal Yoga.

Aku dan Gaby tidak banyak bercakap-cakap setelah itu. Aku hanya berkonsentrasi menunjukan arah jalan menuju rumahku sambil mendengarkan penyiar radio dari stereo yang terpasang didalam mobil Gaby, yang saat ini sedang membacakan beberapa pesan salam dari pendegar. Setiba didepan rumah, aku bergegas turun setelah mengucapkan terima Kasih. Lega karena akhirnya aku bisa terlepas dari pesona Gaby yang mampu membuatku sering kali lupa bernafas.

*****

Serpihan Cinta LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang