every part of me wants to drown in you (short story, part 1)

285 6 3
                                    

"Hei." Alaska memanggilku. Ia merekatkan jaket cokelatnya yang aku yakini terbuat dari kulit binatang-- walau aku tidak tahu binatang apa-- dengan ekspresi wajah kedinginan. "Makasih udah mau bukain pintu. It's cold outside, can I..."

Aku mengangguk, mengisyaratkan agar lelaki jangkung itu untuk masuk dan tidak berdiri terus-terusan di depan pintu.

Alaska tersenyum. Tanpa basa-basi, Ia berlari-lari kecil dan langsung duduk di sofa cokelat yang dilapisi beludru. Sofa itu selalu menjadi favoritnya. Aku juga tidak tahu mengapa.

"Lo abis dari mana?" tanyaku menatap lelaki bermata cokelat madu itu bingung. "Udah tahu turun salju, tapi malah enggak pakai sarung tangan. Bandel. Ini udah malem, tau! Untung gue belum ketiduran untuk bukain pintu."

Alaska tersenyum lalu tertawa.

Aku menyukai tawanya.

Aku tidak bisa menjelaskan mengapa tawa sengau itu selalu terdengar merdu di telinga. Suaranya dapat membuat perasaanku jauh menjadi lebih baik.

Juga membuatku lupa kalau aku tak harus menggantungkan seluruh kebahagianku kepadanya.

"It will be better if you start to make me a cup of hot chocolate and shut your mouth up," Alaska tersenyum lebar lalu bangkit dari sofa itu dan mendekatiku. "Your hot chocolate is my favorite, you know."

"Gombal banget lo," ujarku serata tersenyum kikuk, berusaha untuk terlihat biasa saja di hadapannya. "Mau cangkir gede apa kecil, Ka?"

"Eh wait," Alaska memerhatikanku saksama. Ditatap oleh cowok setampan dia membuatku hilang akal, aku harus bagaimana? Sialan! "Lo habis nangis?"

Hah, how could he realize that?

"Ah, enggak kok," Aku berbohong, tentu saja. "Kenapa emangnya?"

"I've been knowing you since Hitler still ruled the world, Sei. What happened? Cerita sama gue, lo tau 'kan kalau gue bakal selalu dengerin?" Alaska menatapku lekat-lekat. Jemari kurusnya menyentuh kelopak mataku. Aku memejamkan mata, berharap kalau dia tidak melakukan ini sekarang. Karena aku tahu, dia takkan mencintaiku. "Your eyes can't lie, Seira Sayanda."

Aku membuka mata, menatap kedua bola matanya dengan jarak sedekat ini. Setelah bertahun-tahun mengenalnya, ternyata hal sesederhana ini masih bisa membuatku mati.

"I'm okay," aku menggigit bibir bawahku. Aku pasti terlihat ragu. "Just bit tired and..."

"And?"

"Overthinking, perhaps?" Aku menghembuskan napas, lalu menunduk. Aku memastikan agar Ia tak melihat mataku sekarang. Ia pasti tahu kalau aku sedang menyembunyikan sesuatu. Ya, menyembunyikan perasaan bodohku.

"Hei, look at me," Tangan dinginnya menyentuh daguku, memaksa agar pandanganku tertuju kepada kedua bola matanya lagi. "I don't know what happen to you, if you don't tell."

"Nggak pa--"

"I know that you're gonna respond that way. You are not okay. I know. Tapi, gue nggak maksa lo untuk cerita," Alaska mengelus rambutku lembut. "Kalo lo mau cerita, gue pastiin kalau gue ada untuk mendengarnya."

"Hmm, Ka, nggak usah berlebihan, deh." Aku memaksakan untuk tertawa, walaupun aku yakin kalau tawa itu terdengar kering dan hambar di telinganya.

Aku dan KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang