Part 8

238 21 1
                                    


Lepas pertunjukkan, Koyoko jalan mengarah ke belakang panggung. Ia melihat Yamami tengah berdiri di pintu belakang. "Sensei, mana?" tanya gadis itu seraya melangkah anggun dengan kimono yang menjalar ke lantai.

"Sudah pulang," jawab Yamami menoleh ke arah Koyoko, "Sensei titip salam untukmu," lanjutnya.

Koyoko mengangguk lalu melangkah pergi ke dalam rumah. "Saya sudah selesai, mau istirahat dulu, rasanya lelah sekali."

"Terima kasih atas kerja kerasnya." Yamami membiarkan gadis itu pergi lalu ia kembali ke para tamu.

Dengan lemas, Koyoko melepaskan obi dari pinggangnya yang kecil. Lantas melepaskan kimono, ditukar dengan pakaian sederhana yang sering dikenakan bila tidak menjadi Geisha-kaos dan celana panjang. Gadis itu duduk di depan meja. Ia teringat masa kecilnya yang kerap sering mengalami kekerasan dari kedua orang tuanya. Shoko seringkali memukuli Kyoko jika bertengkar dengan suaminya. Terkadang Shoko memanggil Kyoko anak gila. Masa kecilnya yang suram membuat Kyoko ingin menghapus semua memorinya.

Yamami melihat gadis itu sudah terlelap setelah selesai melayani tamunya. Ia segera membentangkan futon lalu membaringkan gadis itu di atasnya. Lalu menutup tubuh gadis itu dengan selimut tebal. "Begitu berat bebanmu, Kyoko. Lepaskanlah agar hidupmu lebih baik," lirih Yamami, lantas meninggalkan kamar Kyoko.

Keesokan harinya, Yamami menangkap gadis itu sudah rapih dengan baju putih dan rok pink selutut, rambutnya pun sudah rapih disisir. "Mau ke mana?" tanyanya dengan kerutan di kening.

"Bertemu ibu. Sudah lama tidak bertemu dengannya." Kyoko meraih tas kecil lalu disilangkan ditubuhnya.

"Cotto matte!" Yamami menahan tangan Kyoko, "kau jangan pergi ke sana dulu! Kondisimu masih labil. Dia akan melukaimu," lanjutnya.

Kyoko memutar badan menghadap Yamami lalu melepaskan genggaman di lengannya. "Sejahat-jahatnya orang itu, dia tetap ibu saya. Jika saya mati di tangannya, itu sudah takdir." Kyoko melengkungkan senyuman. Ada rona kepasrahan di wajahnya.

Yamami tidak bisa mencegah gadis itu. Ia membiarkannya pergi. "Hati-hati!" ucapnya sebelum Kyoko pergi.

"Hai. Ittekimasu," Kyoko memakai sepatu lantas keluar dari rumah.

"Itterashai" lirih Yamami dengan wajah khawatir.

Kyoko mampir di sebuah toko. Ia membeli beberapa makanan ringan untuk ibunya. Lantas kembali melanjutkan perjalanannya. Jarak rumah Yamami ke rumah ibunya sekitar lima belas menit jalan kaki. Di tengah perjalanan, ia melihat Matsumoto tengah mengunjungi sebuah toko bunga. Kyoko menghentikan langkahnya. Matanya tak lepas dari sosok Matsumoto. Maksud hati ingin menyapa lelaki itu namun diurungkan. Dirinya masih malu jika mengingat kejadian kemarin. Ia terus memandangi sosok Matsumoto hingga pergi meninggalkan toko bunga dan tak terlihat lagi. Kyoko melanjutkan kembali perjalanannya yang tinggal beberapa meter lagi.

Setibanya di rumah ibunya, ia melihat ibunya tengah duduk santai sambil mengisap sebatang rokok di jarinya. Kebiasaan itu tak pernah hilang dari ibunya. Dengan perasaan takut, Kyoko mendekati pintu rumah yang sudah terbuka. Ibunya menyadari kedatangan gadis itu, segera ia mematikkan rokoknya lantas menyambut gadis itu dengan ramah. "Kyoko pulang," sapanya ramah, " bawa uang?" tanyanya menohok Kyoko yang belum sempat dipersilakan duduk atau disuguhi minum.

Kyoko tak menjawab. Matanya menyapu sekeliling rumah, masih seperti dulu hanya saja sedikit berantakan dan bau asap rokok. "Saya bawakan ini." Kyoko menyodorkan sekantong makanan ringan yang ia beli tadi.

Wajah ramah ibunya berubah seketika. "Nani kore?"

"Makanan ringan," jawab gadis itu canggung.

"Aku tidak butuh ini," ibunya menepis tangan Kyoko hingga makanan itu terlepas dari genggamannya, "saya butuh uang," lanjutnya mendekati wajah Kyoko.

"Saya rindu ibu," jawabnya lirih menunduk.

Ibunya tertawa terbahak-bahak mendengar penyataan Kyoko. "Saya tidak. Saya hanya rindu dengan uangmu."

"Ibu masih berjudi? Sampai kapan?" Kyoko mengangkat wajahnya menatap tajam ke arah ibunya.

"Sampai kapan? Sampai bosan."

"Hutang akan terus ada jika ibu tidak berhenti berjudi." Kyoko mendekati ibunya.

"Tau apa kau, Kyoko? Ini hidup saya bukan hidupmu!" pekik ibunya penuh amarah.

"Tapi hutang itu pakai uang saya!" balas Kyoko dengan nada tinggi, "Ibu tau apa yang saya rasakan? Mencari uang hanya untuk bayar hutang yang tak kunjung habis," nadanya mulai merendah, "saya ini bukan robot!" lanjutnya.

Ucapan Kyoko membuat ibunya tersohok lantas mendekati gadis itu. "Berani sekali kau bilang seperti itu. Kau membalas jasa ibu dengan ini? Saya mengandungmu, membesarkanmu, merawatmu. Sekarang berani melawan?" sentaknya.

Kyoko mengepal kedua tangannya kuat-kuat. "Jika saya boleh memilih, lebih baik tidak usah dilahirkan."

"Lancang kau, Kyoko!" Tangan ibunya melayang dan mendarat di pipi Kyoko.

"Bunuh saja sekalian!" pekik Kyoko seraya memegang pipinya.

"Pergi kau! Jangan datang ke sini jika tidak bawa uang!" dorong ibunya. Dorongan itu membuat Kyoko tersungkur di lantai. Kakinya terbentur kaki meja dan membiru.

"Ibu bisa mengusir dengan lembut. Kenapa harus bersikap kasar?" Tangis Kyoko mulai terdengar.

"Pergi kau!" Ibunya terus mendorong Kyoko hingga keluar.

Gadis itu masih menangis dengan perlakuan ibunya. "Ittekimasu!" ucapnya lirih dengan langkah gontai menahan sakit akibat benturan di kakinya.

"Pergi sana! Jangan kembali lagi sampai kau punya uang!" teriak ibunya dari pintu membuat tetangga berhamburan keluar mendengar suara bising.

Sepanjang jalan, Kyoko terus menangis. Hatinya terasa tercabik. Hidupnya sudah berantakan. Ia tidak ingin hidup seperti ini. Ia ingin hidup lebih tenang.

Cotto matte = Tunggu sebentar

Ittekimasu (ucapan keluar dari tempat berada

Itterashai, (jawaban Ittekimasu

Nani kore (apa ini

Bersambung...


Another MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang