Arquero Academy

10.6K 569 66
                                    

Yap, diatas pic Archer Queen ( Ibunda Raynelle ) yang ada dalam imajinasi author.. :D

"Apa kau yakin dengan pilihanmu Ray?" Ayah melirik kaca spion dalam mobil sambil menatapku yang duduk di jok belakang dengan cemas. "Ayah benar-benar khawatir dengan keputusanmu."

Aku tersenyum. "Ayah lihat sendiri bukan?" Aku melambai-lambaikan secarik amplop sambil menatap ayah melalui kaca spion. "Aku gagal diujian masuk sekolah, itu karena aku tidak memiliki bakat sihir." Aku menghela nafas panjang yang terasa sesak. "Disana bukan tempatku. Apa yang ayah cemaskan?"

Ayah menarik nafas dan mendesah pelan. "Maafkan Ayah, seandainya saja ayah memberi tahumu lebih awal." Guratan kegelisahan dan rasa bersalah terukir di dahinya.

"Ayah tidak perlu seperti itu. Bagaimanapun juga, selama ini kau yang membesarkanku layaknya anak kandungmu sendiri. Meskipun awalnya aku sedikit kesal, tapi selama ini aku bahagia menjadi putrimu."

Aku menatap kembali amplop ditanganku dengan muram. Begitu putih halus namun isinya tidak seputih amplopnya. Aku menarik nafas panjang dan berharap ketenangan ekspresiku tidak melukiskan perasaanku yang carut marut. Aku kembali menatap luar jendela. Kabut kelam mulai meluas diawan sana sementara angin sudah membawa kabar berita bahwa hujan akan segera turun.

"Ray."

Aku menatap kaca spion sebagai pengganti sahutan karena ayah memanggil namaku.

"Jika dihadapanmu ada pedang dan panah, mana yang akan kau pilih?"

Aku menyipitkan mata untuk berpikir. "Jika dilihat dari segi kecepatan dan kelincahan untuk membunuh musuh aku lebih memilih pedang, tapi jika dilihat dari segi keakuratan dan ketepatan dalam berperang melawan musuh, aku lebih memilih panah."

Ayah mengangkat sebelah alisnya. "Kau sudah memberi kesimpulan seperti itu, lalu mana yang akan kau pilih?"

Aku memijit-mijit dahi agar bisa berpikir lebih lancar. "Aku tidak tahu ayah, pada dasarnya aku tidak bisa menggunakan keduanya."

"Apa karena kau tidak bisa menggunakan salah satu benda itu, kau jadi tidak mau memilih?" Ayah memutar kemudi. "Kau tahu, hidup itu banyak sekali pilihan. Jika dihadapanmu hanya tinggal dua pilihan, kau harus memilih salah satu. Kau tidak bisa mengambil keputusan untuk tidak memilih karena pilihan itu yang akan menentukan hidupmu. Apa kau mau selamanya diam ditempat? Apa gunanya hidup seperti itu?"

Aku kembali membuang padangan luar jendela, menatap barisan pohon yang berjalan berlawanan denganku sambil mencerna ucapan Ayah.

"Raynelle, selama ini ayah tidak pernah memberimu kesempatan untuk memilih dan selalu mengatur hdupmu, sekarang usiamu sudah menginjak masa-masa dimana kau harus membentangkan sayapmu untuk melihat dunia baru dan aku senang kau bisa mengambil keputusan seperti ini. Padahal meskipun gagal ujian masuk tahap pertama, kau masih bisa bersekolah di Magia Academy dan kau juga bisa menjadi Wizard karena masih ada ujian tahap kedua sebagai pertimbangan dan kemungkinan besar kau bisa masuk kesana, tapi kau menyadari bahwa kau tidak berbakat sihir dan kau memilih untuk tidak meneruskan ujianmu. Itu bagus sekali, tapi—" Ayah menghela nafas cemas. "Yang ayah takutkan hanyalah kehilanganmu saat kau berjuang di medan perang nanti."

"Menurutmu—apa aku terlalu dini untuk menyerah?" Aku menatap mata ayah dari cermin.

Ayah mengerutkan kening sejenak. "Hampir bisa dibilang begitu. Tapi—aku juga tidak bisa menyalahkanmu, karena—kau juga menyadari bahwa kau bukan putri kandungku. Kau tahu, aku tidak bisa mewarisi bakat sihirku padamu." Diam sejenak. "Maafkan ayah Ray. Impianmu menjadi Wizard tidak—"

"Aku akan menjadi diriku sendiri," potongku. "Tidak masalah jika aku tidak bisa menjadi Wizard seperti ayah. Aku yakin sekali kalau kau akan senang jika aku menjadi diriku sendiri apapun itu bukan?"

ArcherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang