2.2

4.1K 370 52
                                    

***
Kelak kita akan menyadari, betapa kita pernah bodoh untuk seseorang.
***

Aku duduk dengan nyaman di gerbong pertama kereta Argo Lawu yang akan membawaku ke tanah Jogja. Tanah yang kata orang-orang selalu romantis di setiap sudutnya.

Kereta mebelah rel dengan gerak lurus yang beraturan, menepikan rumput-rumput liar yang tumbuh di tepinya juga menggetarkan kerikil-kerikil tajam yang menghalang. Sudah sejak pukul 04.47 WIB kereta ini meninggalkan Stasiun Gambir dan sekarang jam menunjukan pukul 16.13 WIB. Kurang lebih sudah dua belas jam setengah aku menghabiskan waktuku dengan duduk bersandar dan melihat ke luar jendela. Perjalanan menggunakan kereta dari Jakarta menuju Jogja memakan waktu kurang lebih 13 jam. Itu berarti kereta akan sampai di Stasiun Tugu-Yogyakarta kurang lebih pukul 17.40 WIB. Sebentar lagi.

Kali ini aku ke Jogja untuk pekerjaanku. Ya, sekarang aku berprofesi sebagai jurnalis sekaligus penulis. Esok lusa ada liputan di kota gudeg ini yang mengharuskan ku meninggalkan kebisingan Jakarta. Namun karena menurut bos ku akan sedikit mengundang resiko jika berangkat di detik-detik terakhir, jadilah aku berangkat hari ini. Sebenarnya kantorku menawarkan jasa penerbangan untuk sampai di sana, tapi entah mengapa, kereta api lebih menarik perhatianku. Hingga akhirnya, siang ini aku duduk di kompartemen gerbong eksklusif kereta Argo Lawu. Sedikit kebisingan dari mesin kereta menemani hari ku, melengkapi perjalanan yang amat nenyenangkan ini.

Beberapa bungkus makanan ringan berhamburan di kursi tepat di hadapanku. Aku memang duduk sendiri. Lebih nyaman. Tentu saja kantor yang bayar. Tidak hanya makanan, sebuah laptop dengan logo terkenal juga menjajakan diri disana. Aku mengambil laptop itu. Tadinya aku fokus dengan pemandangan di luar, akan tetapi rasanya aku sudah mulai jenuh dan sepertinya membuka laptop ini akan menghilangkan sedikit kejenuhanku. Perjalanan ini terasa lama. Namun indah.

Tanganku bergerak kesana kemari untuk menggulirkan kursor di layar. Membuka berbagai folder berisi dokumen-dokumen yang akan digunakan untuk liputan besok. Mengecek ulang agar semuanya siap tanpa kendala yang berarti. Memeriksa setiap daftar pertanyaan yang akan aku lontarkan kepada narasumber nantinya. Iseng-iseng, aku menyalakan musik untuk menemani perjalanan ini. Untungnya di gerbong eksklusif ini dibagi menjadi kompartemen, sehingga akan lebih leluasa dan nyaman. Karna jujur saja aku memang membutuhkan privasi yang lebih.

Alunan lembut musik mendayu-dayu di telingaku. Sedikit demi sedikit ada kedamaian yang merasuk ke dalan diriku. Hingga lagu itu berganti. Berganti dengan lagu yang menyentak hatiku. Lagu yang selalu ku putar waktu dulu.

Tanganku berhenti bergerak. Mataku menerawang kosong jauh ke masa lalu. Aku menarik napas menyesapi rasa yang mulai mengusik. Rasa yang sudah tak sedamai tadi. Rasa yang sungguh tak asing untukku. Aku tertegun beberapa saat.

Akhirnya aku berhasil menggerakan tanganku kembali, walau separuh otakku berpusat di lain hal. Tangan ini menuntun kursor ke sebuah folder yang ku simpan rapat-rapat. Ku letakkan jauh-jauh. Sebuah folder dengan judul Aku, Kamu, dan Cerita di Hari itu. Aku membukanya. Sebuah folder yang berisi puluhan puisi. Namun ada yang menarik mataku. Tiga gambar yang tertera jelas di layar. Sebuah perkamen lusuh, puzzle, dan sticky note. Ingatanku menerawang jauh kembali ke masa itu. Menemukan hal-hal detail yang masih hangat di pikiranku.

Sudah tujuh tahun berlalu, tapi rasanya masih sama. Tidak berubah sedikit pun. Aku menyelami detik demi detik untuk kembali merasakan indah juga sakit yang datang bersama. Masa-masa merah jambu ku di putih abu-abu.

Sejak saat itu, aku jatuh cinta dengan dunia sastra, terlebih pada puisi. Sejak saat itu, aku berhenti memutar hati. Sejak saat itu, aku mulai menulis menggambarkan keresahan diriku. Sejak saat itu, aku lebih tau apa arti rindu. Sejak saat itu, bayak yang berubah dari hidupku. Namun ada yang tidak berubah, sejak saat itu hingga detik ini, hati ku masih miliknya. Masih milik Kak Ardan ku.

Seulas senyum terbit begitu saja. Indah sekaligus sesak mengenangnya. Tujuh tahun berlalu tanpa sedikit pun kabar tentang dirinya. Tanpa sedikit pun informasi. Aku selalu berpikir, seperti apa dia saat ini. Bagaimana keadaannya sekarang. Apa pekerjaannya. Bagaimana dia melewati harinya. Aku selalu berandai-andai jika sudah menyangkut dia. Menyangkut Ardanku. Aku mengerti kali ini, siapa pun akan tersenyum dibuatnya. Tersenyum saat akhirnya menyadari bahwa pernah menjadi bodoh untuk seseorang, dan kini aku yang tersenyum dibuatnya.

Sudah saatnya kah aku berhenti?

Tak terasa, kecepatan kereta mulai berkurang. Pengumunan terdengar dari speaker yang dipasang di setiap gerbong. Sebentar lagi kereta ini akan memasuki Stasiun Tugu Yogyakarta. Aku terbangun dari jurang nostalgiaku. Mengerjap beberapa kali dan tersadar sepenuhnya. Aku mengecek ponselku, ada sebuah pesan yang ku terima.

Dari : Pak Indra

Lin, anak-anak akan take off nanti malam. Kamu langsung ke hotel saja. Jika kamu sudah sampai, kabari saya secepatnya. Jangan lupa pakai id card pers.

Rupanya aku yang pertama sampai. Langsung saja aku membalas pesan dari pimpinan redaksi ku.

Untuk : Pak Indra

Siap pak. Ini saya baru saja sampai di stasiun.

Aku memasukan ponsel ke saku celana hijau toska ku. Membenarkan kemeja putih dan hijab hijau toska yang ku kenakan. Ya, sekarang aku berhijab. Mematikan laptopku dan mulai rapi-rapi. Tidak lupa aku mengeluarkan id card pers ku dari dalam tas dan memasukannya ke katung celana.

Kereta berhenti. Aku benar-benar sudah sampai di tanah Jogja. Aku membersihkan bungkus-bungkus makanan ringan dan membuangnya ke tempat sampah yang tersedia. Memasukan laptopku ke tas dan meraih koper yang tadi ku letakan di bagasi atas. Mengecek untuk terakhir kalinya kalau-kalau masih ada yang tertinggal. Setelah sudah yakin, kaki yang terbalut flat shoes yang berwarna senada dengan hijab ku membawa ku keluar dari kereta.

Aku menapakkan kaki di peron tiga. Tersenyum dan menarik napas, menghirup udara senja di Yogyakarta. Aku berjalan ke depan menuju tangga yang membawaku ke jalan raya. Memandang sekelilingku. Lampu-lampu sudah dinyalakan. Aku berjalan tepat di sampibg mesin kereta yang masih berbunyi bising. Baru di stasiunnya saja aku sudah tau, bahwa Jogja memang indah. Aku terus berjalan hingga suara keras mengusik pendengaranku saat dua orang dari kabin masinis menutup pintu dengan keras. Tentu saja dua orang itu adalah masinis dan asistennya.

Aku kembali tersenyum. Menurut pandanganku, kedua orang itu keren dengan seragam yang mereka kenakan. Celana bahan hitam dan kemeja putih yang dimasukan rapi juga dengan dasi hitam yang tersimpul rapi. Sepatu pantopel serta sarung tangan yang baru saja mereka lepas. Jarakku kepada mereka masih cukup jauh. Ku lihat mereka ber high-five dan salah satunya pergi terlebih dahulu. Aku masih melihat mereka, pemandangan yang sejujurnya menyejukkan mata. Dia berbalik menghadap ke kabin kereta dan beberapa detik setelahnya, aku sudah berjalan melewatinya.

"Mbak, id card-nya jatuh."

Suara itu menghentikanku. Aku melihat ke kanan dan kiri, namun keadaan stasiun sudah sepi, para penumpang yang lain memang sudah lebih dulu keluar stasiun. Mengapa aku belum? Karna aku norak. Maklum, baru pertama kali ke Jogja naik kereta.

Aku berbalik dan melihat sang masinis tengah merunduk mengambil id card yang ada di tanah. Otomatis tanganku merogoh kantung celana dan benar saja, id card ku sudah lenyap. Aku berjalan mendekat ke arahnya sambil menyeret koperku.

Dia sudah berdiri, tapi masih menunduk menatap id card ku. Kini aku sudah benar-benar ada di hadapannya.

"Iya mas, itu milik saya." ujar ku halus.

Dia mendongak dan langsung saja tatapannya menusukku. Aku membatu di tempat. Memandang wajahnya yang tampan dan menyelami sinar matanya yang familiar. Aku sudah terbiasa ditatap seperti itu, dulu.

"Adlina Syahla," ucapnya pelan.

Aku tidak yakin, sudah lama sekali. Wajahnya pun sudah berubah. Tapi aku tau jika ini dia. Sebuah fantasi tanpa bukti. Aku mencoba mencari sesuatu yang bisa menjelaskan semuanya kepadaku.

Aku menatap name tag yang tersemat di dadanya.

"Apa kabar?" Dia melanjutkan kalimatnya yang mengantung tadi.

Tbc?

Monggo di komen yang banyak, dan setelahnya akan langsung ku post kelanjutannya. Oke? Shiaaapp (:

...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang