hilang

3.9K 81 0
                                    

MUTIARA PUNCAK LAWU
Buku 1d

Dalam pada itu diantara sengitnya petempuran antara para prajurit Pajang itu, Teja Ndaru telah melangkah jauh dari tempat itu, dengan perasaan yang berdebar-debar pemuda itu bagaikan tidak mempedulikan keadaan jalan yang dilaluinya. Dalam benak pemuda itu hanyalah ada satu yang dipikirkannya. Selamat dari kejaran para prajurit Pajang.

Sebenarnyalah apa yang dialaminya itu membuat hati dan fikirannya bingung. Teja Ndaru tidak mengerti kenapa bisa dirinya dikait-kaitkan dengan kejadian yang diperbuat Raden pabelan. Memang sebagai kawan dekat putra Tumenggung Mayang itu, Teja Ndaru sangat paham perangai kawannya yang tampan itu. Dimata Teja Ndaru, Raden Pabelan sebenarnya adalah seorang pemuda yang baik, jiwa penolongnya terhadap kaum yang lemah demikian tinggi, hingga jika  pada suatu saat dirinya melihat ketidak adilan, ataupun ancaman terhadap orang-orang yang tertindas, tidak bisa dirinya untuk tinggal diam meskipun harus menghadapi sebuah bahaya yang justru mengancamnya.

  Akan tetapi sebagai seorang yang teramat dekat dengan Raden Pabelan, Teja Ndaru pun tau bahwa pemuda yang mempunyai paras rupawan itupun tidak bisa untuk diam ketika melihat gadis-gadis cantik. Bahkan pernah pada suatu kesempatan ketika Teja Ndaru bermain di Katemenggungan sempat melihat Raden Jaka Pabelan mendapat marah dari ayahandanya oleh karna sifatnya yang suka memperrmainkan cita para gadis yang didekatinya.

"Apakah karna aku mengenal kakang Pabelan hingga aku menjadi layaknya binatang buruan" -- desis Teja Ndaru dalam hatinya, yang masih bingung dengan persoalan apa yang sesungguhnya menimpa dirinya. Sementara Teja Ndaru masih mencari jalan untuk menyingkir dari bahaya yang akan menimpanya. Bahkan pemuda itu seperti tak merasakan bahwa tubuhnya telah mengalir darah di beberapa bagian tubuhnya, pakaianya telah koyak pula oleh duri-duri semak belukar yang diterjangnya tanpa perhitungan. Sampai pada suatu saat dia berhenti termangu-mangu karna sudah tidak ada lagi ruas untuk berjalan, kecuali hamparan air bengawan yang memanjang ke utara dan selatan.

"Kemana aku harus pergi?" -- dalam rasa letih juga rasa pedih yang kini mulai terasa disekujur tubuhnya, pemuda itu belumlah putus asa untuk mencari jalan keluar sejauh mungkin dari tempat yang mengerikan menurut perasaannya itu. Hingga matanya melihat bayangan bilah-bilah bambu yang membujur ditepian sungai besar itu.-- "getek..?! aku harus mencapai getek itu" -- desisnya, seraya berusaha dengan susah payah menuruni tepian yang cukup curam tersebut. Lalu tanpa membuang waktu Teja Ndaru meloncat diatas rakit dan mendorongkan rakit itu ketengah hilir dengan sepotong galah tak jauh dari tambatan rakit bambu itu.

Sementara pertempuran para prajurit itu semakin lama menjadi semakin sengit, meskipun pada saat-saat selanjutnya terdengar keluhan pendek dari seorang prajurit bawahan Ki Lurah Sarju. Sebuah pedang telah mengkoyak dadanya hingga bersimbah darah disusul tubuhnya yang roboh ke tanah tak berdaya. "Puguh..!!" -- teriak Ki Lurah Sarju yang melihat satu anak buahnya roboh.

Sementara Ki Rangga Jumena tertawa manyambut kemenangan awalnya, -- "sudah terlambat Ki Lurah, karnamu anak iblis itu beehasil meloloskan diri, untuk itu kau harus membayar dengan nyawamu..!!" -- geramnya.

Dan benar saja. Pertarungan menjadi tidak seimbang. Ketahanan pasukan Ki Lurah Sarju yang kehilangan salah satu prajuritnya itu semakin terdesak dan terdesak, dan disusul satu, dua, tiga keluhan beruntun menyusul robohnya tiga anak buah Ki Lurah Sarju yang lain. Dan tenyata hal itupun telah mengganggu pemusatan diri Ki Lurah Sarju dalam menghadapi serangan-serangan Ki Rangga Jumena.

  Apa lagi ketika anak buah Ki Rangga kemudian merangsek dan ikut menekan kedudukan Ki Lurah Sarju hingga membuatnya beringsut mundur dan mundur. Lurah prajurit itupun terlihat terdesak hebat hingga kedudukannya terdorong pada tepian Bengawan pula. Sampai pada suatu saat Ki Lurah Sarju terlambat menghindar ketika satu ayunan pedang Ki Rangga Jumena menggapai punggungnya, hingga tanpa ampun lagi tubuh Lurah Prajurit itu kehilangan keseimbangan kemudian tersungkur kedalam sunga bengawan tersebut. Lamat-lamat terlihat semburat merah pada kegelapan mewarnai arus air sungai dimana tubuh Ki Lurah Sarju kemudian hanyut.

Ki Rangga Jumena masih termangu-mangu melihat tubuh Lurah Sarju yang hanyut hingga tak nampak lagi dikegelapan. Kemudian diapun berpaling pada keempat anak buahnya. -- "apa yang ada dalam benak kalian dengan kejadian ini?!"

Keempat prajurit itu hanya diam, dan belum memehami maksud pimpinannya tersebut, sampai beberapa saat kemudian Ki Rangga Jumena kembali berkata.

"Kalian semua..!! Dengarlah, persoalan berkembang tidak seperti yang kita harapkan. Kita terpaksa harus membinasakan Ki Lurah Sarju beserta anak buahnya. Bagaimanapun juga kita akan mendapatkan hukuman berat jika terbukti kitalah yang membinasakan mereka. Karnanya kepalang basah.!!" -- Ki Rangga Jumena kemudian menarik nafasnya panjang-panjang, lalu kembali berucap, -- "kepalang basah.!! kita bawa dulu mayat-mayat itu ke pos parondan terdekat, katakan bahwa Ki Lurah Sarju dan anak buahnya telah binasa oleh Teja Ndaru.. apakah kalian paham?!".
Para prajurit itupun hanya termangu-mangu mendengar maksud pimpinannya.

"He, kenapa kalian diam?!" -- tukas Ki Rangga.

"Maaf Ki" -- kata salah seorang prajurit, -- "apakah mungkin orang percaya jika anak itu telah membinasakan lima orang prajurit sekaligus, termasuk Ki Lurah Sarju?"

"Tentu tidak..!!" -- sahut Ki Rangga yang seperti sedang berfikir sebelum kembali berucap, -- "katakan bahwa Teja Ndaru telah bergabung dengan gerombolan penyamun, lalu menyerang pasukan Ki Lurah Sarju!!"

"Tapi Ki Rangga?"

"Cukup..!! Ikuti saja apa kataku, jika tidak mau kepala kalian dipenggal karna membunuh sesama prajurit, mengerti?!" -- sergah Ki Rangga Jumena.

Keempat prajurit itupun serentak mengangguk-anggukkan kepalanya. Karna dalam benak mereka tentu tidak ingin menerima hukuman seperti yang dimaksudkan pimpinannya.

"Baiklah..naikkan mayat-mayat ini ke punggung kuda mereka, kita bawa ke pos terdekat, atau kalau perlu langsung ke Pajang untuk melaporkan segalanya. Sementara kita tunda dulu pengejaran untuk malam ini. Sekalipun anak itu menyeberangi sungai besar itu tentu tidak akan mampu lari jauh, sisi timur tepian sungai itu adalah hutan yang sangat lebat menuju kaki Gunung Lawu"

Demikianlah rombongan itu kemudian bergerak ke arah menuju kotaraja.

Bersambung...

Mutiara Puncak LawuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang