Awake

612 43 5
                                    

[Edited by Creamy Kookies]

Ada kalanya, manusia akan dihadapkan pada fase di mana ia tak bisa memilih. Memilih untuk kembali, atau memilih untuk berjalan meninggalkan masa lalu.

Takdir kiranya menjadi penuntun opera terburuk, layaknya setajam pisau yang menghunus. Hal mutlak yang tak bisa dipilih oleh manusia, siapapun itu.

Termasuk Seokjin.

***

Seokjin, menapaki lantai kayu berornamen ukiran klasik. Diraihnya sebuah coat musim dingin di balik almari kayu yang telah menua termakan usia. Tungkainya melangkah menuju dapur di lantai dasar. Dengan lihai kedua tangannya beradu membuat secangkir cokelat panas.

Tak lama setelahnya, ia beralih menuju pintu di sudut ruangan lantai dua. Diketuknya pintu kelabu itu sebanyak tiga kali.

"Taehyung-ah, Hyung ada di sini."

Iapun melangkahkan kakinya ke dalam ruangan serba putih itu. Sosok yang ia maksud telah terduduk manis di pinggir ranjang putih begitu menyadari eksistensi seorang pria bertubuh tinggi yang menghampirinya.

Kim Seokjin, sebuah nama yang menjadi identitas diri si lelaki jangkung itu. Seokjin meletakkan secangkir cokelat panasnya di atas meja kayu yang terletak tidak jauh dari ranjang tempat si adik termenung. Alih-alih langsung menyantap pemberian kakaknya, Taehyung hanya menatap cangkir itu tanpa pancaran emosi dari kedua maniknya.

"Ada yang mengganggu pikiranmu?" tanya Seokjin yang kini sudah menyempurnakan posisi duduknya di sisi kanan adik semata-wayangnya. Taehyung menggeleng kecil sebelum meraih cangkirnya tadi, kemudian ia meneguknya perlahan.

Terkekeh pelan, Seokjin lantas menyamankan posisi. Pergerakannya menimbulkan suara berderak, apalagi ranjang kayu itu sudah cukup tua. Tangan Seokjin terulur, mengusap surai legam Taehyung yang sewarna dengan miliknya.

"Cokelatnya enak." Anggukan polos Taehyung menyertai kalimatnya barusan, membuat Seokjin makin gemas saja. "Hyung benar-benar yang terbaik!"

Seokjin tertawa kembali. Perbincangan kecil dengan Taehyung selalu mampu memperbaiki mood-nya setelah seharian bekerja. Semua fitur dalam diri Taehyung adalah deskripsi sempurna menurut Seokjin. Ciri-ciri adik idaman Seokjin telah Taehyung penuhi, lalu nikmat apa lagi yang bisa Seokjin dustakan?

Taehyung meringis sesaat. Tepat saat itu, Seokjin menangkap gurat kesakitan di iris sang adik.

"Kenapa?" desaknya khawatir.

Taehyung menggeleng pelan. Tangan kanannya ia letakkan di dada sembari berusaha mengatur napas. "Tidak apa-apa, hyung. Hanya sesak biasa. Tidak mau, Tae tidak mau ke rumah sakit."

Alis Seokjin naik sebelah. Bukan hal aneh, sebenarnya, karena Taehyung kerap mengalami sesak napas dan selalu melarang Seokjin membawanya ke rumah sakit. Barangkali Seokjin bisa maklum karena Taehyung masih kecil dan takut jarum suntik.

Dan seperti biasa pula, sekelebat memori selalu mampir ke sudut tengkorak Seokjin saat Taehyung kesakitan. Kenangan yang hampir sama, terasa seperti dejá vu. Tapi Seokjin tak kunjung berhasil mendapatkan keping-keping itu secara utuh, selalu terputus sejenak kemudian. Seperti tergerus waktu.

Eh, tunggu dulu. Waktu? Sudah berapa lama sejak Taehyung pertama kali mengeluh sakit, ya?

Seokjin mengangkat salah satu tangan bebasnya yang tak menyentuh cangkir. Jemarinya bergerak dari telunjuk lalu jari tengah, mengingat kemudian menghitungnya. Ia pun tersenyum tipis kala kepalanya menunduk singkat.

AwakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang