Romance Horror
Based on Korean famous urban legend
---------------------------------------------------"Pejuang Roh. Ya. Aku ingat itu, mereka diceritakan di seri ketiga dari Twilight Saga. Kalian tahu kan? Suku Quileute. Kupikir itu hanya fiksi." Kata Lisa, cucuku yang berambut pirang. Semua orang di sini heran bagaimana bisa dia bicara di saat mulutnya bergerak lincah mengunyah permen karet dengan giat seperti sapi mengunyah rumput.
"Aku bersyukur orang modern ingat legenda." Gumamku.
"Maksud kakek?" Taeyong bertanya dari sisi kananku.
Aku melirik Taeyong dan menatap satu persatu cucuku yang duduk berderet di hadapanku untuk mendengar sebuah cerita di sabtu malam.
"Pejuang Roh bukan fiksi. Dulu, jauh sebelum aku hidup, mereka memang ada dan menggunakan kemampuan mereka untuk perang dan merebut teritori."
"Itu juga yang mereka lakukan di novel." Lisa memotong ucapanku dan ini sudah ketiga kalinya. Semua mata menatapnya sebal.
"Oke, maaf." Gumam Lisa lalu kembali diam.
Aku tersenyum kecil dan melanjutkan. "Jaman berubah dan hal-hal seperti itu bukan lagi menjadi suatu prioritas karena manusia mulai berpikir lebih maju dan cerdas. Tapi itu bukan berarti kemampuan mereka untuk menjelajahi dimensi lain hilang begitu saja, karena hal seperti itu mengalir deras di garis keturunan mereka."
Satu persatu atensi mereka mulai mengarah sepenuhnya padaku. Sorot penasaran menyelimuti raut wajah mereka.
"Saat aku di usia kalian para Pejuang Roh dijuluki si Pelintas Batas dan mereka termasuk kaum minoritas. Itulah mengapa hanya segelintir orang yang tahu tentang mereka."
Aku mengalihkan tatapanku ke jendela. Hujan masih sangat lebat di luar sana, mereka belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.
Saat itu juga sedang hujan, dan syalku ada padanya.
Pikiranku jauh berkelana. Ke masa di mana rambutku masih hitam selegam arang, kulitku masih kencang tanpa keriput dan perlahan aku melihat tubuh 23 tahunku berdiri gagah di alam bawah sadarku. Siap berpetualang ke masa itu lagi.
Aku menghembuskan napas, menatap kembali cucu-cucuku yang diam memperhatikan.
"Dia tinggal di lantai empat belas. Satu lantai di atasku ... " Ucapku pelan.
-*****-
27 Februari 1949
Ini bukan pertama kalinya aku menghabiskan hampir seluruh hariku di dalam kampus, mengerjakan tugas. Serius, jika SU (Seoul University) tidak juga memberikan toleransi kepada mahasiswa yang tidak punya komputer untuk menunda mengerjakan tugasnya aku akan menulis petisi untuk menyediakan komputer di setiap kamar mahasiswa mereka. Masalahnya adalah, komputer di SU jumlahnya sangat terbatas dan dari sekian banyak mahasiswa kami harus mengantri entah untuk berapa lama sebelum menggunakan komputer itu sedangkan kami dibayang-bayangi oleh tenggat waktu pengumpulan tugas. Ini gila.