Aku [ONE SHOT]

27 3 0
                                    

Kuiris tenggorokanku dengan pisau.

Kusaksikan diriku mati.

Aku menatapku dengan pandangan tidak percaya. Kulihat kehidupan memudar dari mataku. Aku menekankan tanganku ke tenggorokanku. Kulihat darah memancar dari sela-sela jemariku.

Aku mundur selangkah.

Aku terseok-seok mengejarku, selangkah demi selangkah. Semakin banyak darah yang tumpah dari sayatan di leherku.

Kurasakan dinginnya tembok di punggungku. DUG... DUG... DUG... Jantungku berdebar. Gema suaranya memenuhi telingaku. Pisau di tanganku tergelincir jatuh dari tanganku yang lemas. Suara denting logam beradu dengan ubin membuatku ngilu. Bulu tengkukku meremang.

Aku semakin mendekat, hanya dua langkah lagi jauhnya dariku. Di tengah-tengah langkahku yang terhuyung, aku tersandung. Kucengkeram kemeja yang kupakai. Aku, yang terpojok di dinding, menahan nafas saat aku, dengan segenap tenaga yang tersisa di tubuhku, mengelus pipiku dengan tanganku yang gemetaran.

Aroma darah yang amis mengisi indra penciumanku. Darahku yang lengket menempel di wajahku.

"MATI SAJA KAMU!" teriakku. Kusodok perutku dengan keras menggunakan lututku.

Aku melepaskan cengkeramanku dari kemejaku. Aku terkapar di lantai, terbatuk-batuk tersedak darah. Suara yang keluar dari tenggorokanku terdengar mengerikan. Darah memancar dari mulut dan leherku. Aku hanya bisa bersandar di tembok, menyaksikan aku kejang-kejang.

Hening.

Aku berjongkok di sebelahku. Sesuai pelatihan yang kuterima di universitas, kuperiksa pernafasanku.

Aku tersenyum.

Aku sudah mati.

Kulirik jam dinding. Saat ini tepat pukul satu. Dalam kata lain, jam tiga belas. Masih enam jam lagi sebelum dia datang. Aku masih punya banyak waktu.

Kuseret tubuhku yang berat ke kamar mandi. Kurasakan darahku menetes dari pipiku. Terdapat jejak seretan darah di lantai. Akan kubersihkan nanti.

"Aargh..." erangku saat menggulingkan tubuhku yang sudah tidak bernyawa ke dalam bak mandi.

Di atas wastafel, tergeletak sebuah benda yang jika dalam situasi normal seharusnya tidak berada di sana, sebuah pisau daging yang telah diasah tajam. Kupungut pisau itu. Dengan tenang, aku berdiri di pinggir bak mandi. Kulucuti satu persatu pakaianku. Kusentuh tubuhku yang masih hangat.

"Tarsal."

"Patella."

"Femur," ucapku bagaikan merapal mantra seraya memutilasi tubuhku.

Kujajarkan potongan-potongan tubuhku dengan rapi.

"Carpal."

"Radius, ulna."

"Humerus."

"Cranial, facial."



***



PLAK!

Kurasakan tamparan ibuku di wajahku. Aku tersungkur di lantai. Tanganku kuposisikan di pipiku yang sakit.

"Dasar laki-laki sialan!" teriaknya sambil menjambak rambutnya sendiri.

Aku tahu yang dibicarakannya itu papih, pacar barunya, yang baru-baru ini mencampakkannya.

Aku [ONE SHOT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang