terpana

3.2K 59 3
                                    

Mutiara Puncak Lawu
Jilid V bag 3

Diantara keremangan cahaya lembah, diatas plataran kecil yang terletak didinding tebing sebelah barat yang menjulang kelangit itu, bayangan tubuh Ki Sarju terlihat duduk tak berkeming bagaikan diam mematung. Kedua kakinya rapat bersila sementara kedua tangannya terjuntai kebawah tersandar diantara kedua lututnya. Jari jemarinya terlihat mengembang tidak terlalu terbuka, dan hanya ujung jari telunjuknya menelangkup bertemu dengan ujung ibu jari baik ditangan kiri maupun tangan kanannya.

Kedua pelupuk mata orang tua itu rapat terpejam, dihias alis-alisnya yang terlihat sedikit panjang terjuntai berwarna keputih-putihan, serasi dengan rambutnya yang juga telah diselimuti warna keputih-putihan pula, dan terurai lebat tanpa ikat kepala menjuntai diatas pundaknya.

Alur nafas Ki Sarju yang berhembus begitu teratur itu telah mengisyaratkan betapa ilmu pemusatan batin orang tua itu telah mencapai tataran yang teramat tinggi. Olah rasa pemusatan batin yang dilakukan Ki Sarju itu bahkan mampu mempengaruhi keadaan alam disekitar tempat dimana  dia melakukan pemusatan nalar dan budinya.
Yang mana seolah-olah dalam tubuh orang tua itu mampu mengeluarkan hawa yang kedang-kadang sejuk, lalu dingin bagaikan membekukan apaapun yang berada didekatnya, namun sesaat pula berubah kembali menjadi hangat bahkan meningkat menjadi panas yang luar biasa.

Bertahun-tahun adalah waktu yang tidak pernah disia-siakan oleh Ki Sarju dalam mendalami setiap lembaran rontal-rontal peninggalan Ki Singa Lawu tersebut,  baik ilmu kejiwaan yang terkadung dalam setiap bait kidung-kidung, ataupun ilmu-ilmu gerak olah kanuragan baik sentuhan secara kewadagan ataupun aji jaya kasantikan yang hampir seluruhnya telah disadapnya dengan  matang.

Dan kini rupanya Ki Sarju kembali berhasrat untuk menjajal hasil penampaan diri yang telah didalaminya selama bertahun-tahun itu, dan hanya plataran kecil didasar lembah kematian itulah saksi dimana perkembangan ilmu orang tua itu berkembang dari tataran demi tataran.

Perlahan-lahan mata orang tua itu mulai membuka dengan diiringi hembusan nafas yang keluar dari kedua lobang hidungnya. Disusul beberapa gerakan kedua tangannya didepan dada, lalu direntangkannya tangannya dengan ujung-ujung jemarinya membentuk cengkraman bagaikan cakar-cakar singa yang sangat tajam. Dan apa yang terlihat kini cukum mengagumkan.

Masih dalam keadaan duduk bersila, lambat namun pasti tubuh Ki Sarju bagaikan terangkat keudara sehingga jelas tubuhnya kini tidak lagi menyentuh tanah didasar lembah itu. Hingga sampai batas naik beberapa jengkal terdengar suara auman yang cukup keras keluar dari mulut orang tua itu,  gema yang sangat keras seakan menggema memantul-mantul diantara dinding-dinding tebing sehingga suara auman dahsyat itu  memenuhi seantero lembah.
Disusul sebuah gerakan yang cukup  rumit tubuh Ki Sarju itu kemudian berputar dan bergerak kedepan sementara kedua cengkraman tangannya itu berputar pula mengikuti laju putaran tubuhnya. hingga  tak ayal lagi cengkraman jari jemari tangan orang tua itu mencabik-cabik batu-batu hitam yang banyak bertebaran dan bertumpuk disekitar plataran itu.

Hanya kepulan asap putih keabu-abuan yang nampak menghiasi setiap sentuhan jari jemari Ki Sarju pada hamparan batu-batu hitam itu.
Sebelum pada akhirnya satu putaran tubuh orang tua itu melenting kebelakang lalu tegak diantara kedua kakinya yang mantap.
Disusul peragaan gerakan-gerakan jurus aneh sehingga membuat bayangan tubuh Ki Sarju susah untuk dibaca kedudukannya.

Kadang kala tubuh orang tua itu tiba-tiba berubah tempat dalam sekejab, kadang dikiri, dikanan, bahkan dalam sekejap telah terlihat melayang diudara dalam kecepatan yang susah untuk dipandang mata.

Kepulan asap putih keabu-abuan, juga getaran udara yang begitu dahsyatnya semakin lama semakin jelas melingkupi  suasana diseantero lembah kematian itu dan memunculkan gelombang angin yang entah darimana datangnya sehingga menerbangkan daun-daun juga ranting-ranting kering yang bertebaran memutar disekitar itu, disusul suara-suara auman keras yang tentu akan terasa bagaikan menekan nekan rongga dada jika sesorang berdiri tak jauh dari tempat tersebut.

Kemudian daripada itu, jauh beberapa puluh tombak dimana Ki Sarju melakukan pengungkapan ilmunya, Putut Sungkana bagaikan ternganga telah  melihat apa yang dilakukan orang tua yang telah menyelamatkan dirinya dari kebinasaan.

Sebelumnya memang, pemuda itu telah beberapa kali merasakan sesuatu yang aneh di lembah kematian itu. Dari apa yang beberapa kali pula pernah  didengarnya dari dalam goa tempatnya memulihkan ketahanan tubuhnya.

Suara-suara angin menderu, suara-suara ledakan, bahkan suara auman harimau yang membuat buku kuduknya meremang dan membuat pemuda itu penasaran dengan apa yang didengarnya. Untuk itulah, meski keadaan pemuda itu masih belum pulih betul, diapun memaksakan diri dengan berjalan agak tertatih mencari darimana arah suara itu berasal.

"Luar biasa..!! ternyata orang tua itu..." - - desisnya dalam hati,  - - "satu pameran ilmu yang sangat tinggi" - - Putut Sungkana masih termangu-mangu dengan apa yang terlihat didepan matanya itu, sedetikpun pandangannya bagaikan tak terlepas dari setiap gerak yang dilakukan Ki Sarju, meskipun jarak putut Sungkana cukup jauh dari keberadaan orang tua itu.

"Aku memang belumlah selebar kuku dalam belajar dan menyadap ilmu kanuragan yang aku pelajari selama itu, namun aku tau ilmu yang diperagakan Ki Sarju itu tergolong ilmu yang sangat langka, dan rupanya orang tua itu sudah menapaki pada.tingkat menuju kesempurnaan ilmunya" -- lanjut Putut Sungkana dalam hati.-- "tidak kusangka didalam lembah terasing ini terdapat seorang yang berilmu sangat tinggi. Rasanya susah untuk mencari tokoh dunia olah kanuragan diluar sana untuk disejajarkan dengan kemampuan orang tua itu, bahkan menurutku yang masih hijau ini, Kanjeng Sultan Hadiwijaya di Pajang pun belum tentu akan dengan mudah menundukkannya jika keduanya bertarung" -- putut Sungkana kemudian menganguk-anggukkan kepalanya.

Namun belum lepas rasa keheranannya, pemuda itu tiba-tiba seperti menjadi bertambah ternganga hingga kembali menjadi terkesiap melihat perubahan gerak demi gerak yang dilakukan orang tua itu.

Sebenarnyalah Ki Sarju sesungguhnya tidak melakukan perubahan gerakannya itu, akan tetapi justru menampilkan sesuatu yang baru dari pengungkapan ilmunya. Yang mana saat itu ki Sarju telah berdiri tegak dikedua kakinya, kemudian nampak orang tua itu membali terlihat melakukan pemusatan nalar dan budinnya,
Ditariknya kedua kaki kanan dan kiri membuat kuda-kuda yang kokoh, semenara kedua tangannya menyilang didepan dada dengan jari-jari masih mengembang.
Dan kini yang terlihat dimata Putut Sungkana bukan hanya asap putih keabu-abuan, juga gelombang udara yang dahsyat yang terungkap dari apa.yang dilakukan Ki Sarju itu. Akan tetapi kini terungkap pula kilatan-kilatan cahaya berwarna putih perak seakan-akan muncul dari dalam tubuh orang tua itu.

Puluhan cahaya keputih-putihan bagai tatit yang mencuat itu telah memunculkan pula suara-suara seperti lidah-lidah halilintar yang mana setiap ujung cahayanya siap melanda apapun didepanya saperti keinginan pemiliknya.

Dan benar saja... Pada gerakan selanjutnya semakin membuat Putut Sungkana kembali ternganga. Satu suara  auman dahsyat disusul gerakan tangan Ki Sarju yang menjulur kedepan seakan memberi aba-aba pada puluhan cahaya lidah-lidah halilintar itu  secara beruntun mencuat kedepan hingga membuat suasana disekitar itu menjadi gelap dan terang silih berganti dan mengeluarkan suara mengerikan menghantam tumpukan batu-batu hitam keras didepanya.

Apa yang terjadi semakin membuat Putut Sungkana terkesiap melihat tontonan itu. Batu-batu hitam itu  sirna dalam sekejap dan berubah menjadi ongokan debu hitam yang sebelumya bertaburan.

Namun Putut Sungkana kemudian tidak lagi melihat sosok Ki Sarju disana, pandangan matanya yang tertuju pada kedahsyatan akibat ilmu itu ternyata membuat pemuda itu kehilangan sosok orang tua itu.

"Aneh, dimana orang tua itu? Kenapa tiba-tiba saja hilang dari pandangan mataku?" -- gumam Putut Sungkana.

Satu lagi pandangan yang susah dicerna dengan penalaran pemuda itu kembali terlihat.
Betapa Putut Sungkana tidak menjadi terheran-heran? ketika selanjutnya melihat kenyataan bahwa Ki Sarju tidak menghilang, namun tubuh orang tua itu melayang diudara sampai beberapa tombak tingginya.
Tubuh itu bagaikan ngantariksa dalam posisi bersila sementara kedua tanganya merapat bersilang didepan dada. Tubuh itu kemudian berputar pelan dan turun dengan lembut sampai diatas tanah plataran tersebut, lalu orang tua itu  diam bagaikan orang bersemedi.

"Gila, orang tua itu benar-benar luar biasa, seharusnya dengan kemampuan mengantariksa seperti itu, orang tua itu mampu pula keluar melewati dinding-dinding tebing ini, tapi kenapa tidak dilakukannya? -- kini satu pertanyaan mengganjal dalam hati Putut Sungkana disamping rasa keheranannya yang teramat Sangat

Mutiara Puncak LawuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang