Love in a cafe

66 4 0
                                    

Gadis berambut hitam panjang itu kembali duduk di kursi bernomor 1 di kafe tempatku bekerja sambil menikmati segelas hot chocolate. Hal yang ia lakukan setiap hari. Biasanya dia datang setiap jam makan siang, kemudian dia pergi dan kembali lagi di malam hari.

"Nona, apa yang sedang kamu lakukan?" tanyaku pada gadis itu. Rasa penasaranku sudah mencapai puncaknya, jadi lebih baik langsung kutanyakan saja.

"Aku sedang menunggu seseorang," jawabnya.

Dengan bingung aku kembali bertanya padanya, "siapa yang kau tunggu?"

Dia memberikanku sebuah senyuman indah, sebuah senyum penuh harapan, sebuah senyum yang terlihat bahagia akan tetapi sorot matanya mengatakan hal yang berbeda.

"Aku menunggu seseorang yang sangat aku cintai, disini adalah tempat dia pergi, disini kami berpisah, disini juga aku menunggu dia kembali."

Jadi yang dia lakukan setiap hari di kafe ini adalah untuk menunggu seseorang yang ia cintai? Tidak masuk akal! Tapi tunggu dulu, cinta memang tidak masuk akal bukan?

"Kapan dia datang?" tanyaku.

"Aku tidak tau, tapi saat dia datang, aku tidak mau melewatkannya."

"Bagaimana kalau dia tidak akan datang?"

"Setidaknya selama hidupku, aku telah berjuang demi cintaku, tapi jika takdir berkata lain, aku akan menerima dan merelakannya."

Kata-katanya sungguh mengharukan. Ingin rasanya aku memeluk gadis yang terlihat kuat—tapi ku yakin hatinya rapuh dan hancur. Betapa tulus cinta yang dimilikinya. Hanya manusia bodoh yang menyia-nyiakan cintanya.

"Semoga cintamu datang," ucapku yang kusertai doa dalam hatiku.

"Terima kasih. Aku akan pergi, saatnya aku melanjutkan pekerjaanku, nanti malam aku kembali lagi," ucapnya yang kemudian menutup laptopnya dan memasukkan telepon genggamnya ke dalam tas berwarna merah muda yang ia bawa. "Sampai jumpa," ucapnya sambil meninggalkan kafe.

❣❣❣

Jam di dinding kafe menunjukkan pukul 7 malam. Malam ini Jakarta dilanda hujan deras. Gadis itu sudah kembali sejak setengah jam yang lalu, menempati meja nomor 1—seperti biasanya. Aku menyaksikannya menulis sesuatu disebuah buku berwarna cokelat. Aku tak tahu apa yang ia tulis disana, tapi aku rasa itu adalah kata-kata yang ia tumpahkan dari rasa sakitnya.

Lonceng kafe berbunyi, menandakan ada pengunjung yang datang. Seorang pemuda tampan dengan jacket berwarna hitam dengan seorang gadis masuk ke dalam.

"Selamat datang, mau pesan apa?" ucapku ramah setelah mempersilahkan mereka berdua duduk.

"Kamu mau pesan apa?" tanya pemuda itu pada gadis yang datang bersamanya.

Entah mengapa, perasaan aneh mengganguku. Aku mengalihkan pandanganku ke arah gadis yang duduk di meja nomor 1. Aku melihatnya sedang menatap ke arah meja pemuda ini dengan tatapan sendu. Aku terdiam dan bingung. Apa mungkin? Oh tidak, jangan-jangan pemuda ini...

"Cecilia?" pemuda itu berdiri, lalu menghampiri gadis yang duduk di meja nomor 1. Gadis yang datang bersama pemuda ini terlihat bingung—sepertiku. "Cecilia?" tanya pemuda ini lagi saat berdiri berhadapan dengan gadis yang duduk di meja nomor 1 itu.

Gadis itu tersenyum lebar. Matanya yang sempat meredup kembali bersinar. "Bastian? Akhirnya, aku bisa bertemu kamu kembali disini," jawab gadis itu senang. "Kamu kemana saja selama ini? Kamu hilang tanpa kabar. Aku bingung harus mencarimu kemana selama ini," ucap gadis itu lagi sambil menahan air matanya.

"Aku minta maaf pernah pergi darimu. Aku minta maaf tidak mengabarimu, aku sangat minta maaf," ucap pemuda itu.

Cecilia mengangguk dan tersenyum, "tak apa," ujarnya.

Love in a cafeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang