He's Out

8.9K 902 38
                                    

The past

"Kau sudah lebih baik?" Tanya pria itu. Matanya yang gelap menelusuri wajah Layla.

Hanya sebuah anggukan yang mewakili jawaban gadis itu. Wajar, mengingat kejadian tadi nyaris merenggut kesuciannya, dalam arti yang sangat buruk.

"Maaf aku tidak bisa menemukan tempat yang lebih baik selain gudang ini."

Layla menatap pria itu lagi. Untuk yang ke sekian kalinya. Ia sendiri heran, mengapa begitu sulit mengalihkan pandangan dari pria ini.

Sekilas, entah mengapa Layla seolah melihat Aidan. Tetapi, di lain sisi, Aidan tidak seperti ini.

Layla membuka mulutnya meski bergetar karena kedinginan. "Apakah anda-"

Hanya sepersekian detik, dan lampu di gudang tua itu tiba-tiba padam.

Tidak ada lagi penerangan selain setitik cahaya lampu jalan yang menerobos jendela dikejauhan.

Oh Tuhan, Layla benar-benar tidak menyukai situasi ini. Terlebih, diantara kulit jemarinya yang sudah mengerut, suhu tubuhnya semakin terasa dingin.

Layla memejamkan matanya, sejenak saja, sambil berharap akan keajaiban. Secara tiba-tiba ia ada di rumah dan berbaring di balik selimut miliknya yang hangat.

Tidak berapa lama, kehangatan itu rupanya benar-benar datang. Apakah khayalan itu menjadi nyata atau-

"Aku tidak punya pilihan selain ini."

Layla spontan membuka mata dan spontan terbelalak. Pria itulah yang rupanya telah memberikan kehangatan untuknya.

Dalam sebuah pelukan yang lembut namun erat dan lekat.

'Apakah pria ini bisa membaca pikiranku', pikir Layla.

"Boleh aku tahu nama anda Tuan?" Tanya gadis itu.

"Thorn," bisik pria itu. Terdengar parau dan...

Tubuh Layla seketika bergetar. Ketika jemari pria itu bergerak dipunggungnya dan seakan tengah menyentuh langsung kulitnya.

Ini konyol, tapi- sentuhan pria itu seperti api bagi Layla. Satu sisi membakar, namun di sisi lain, cukup untuk membuatnya merasa hangat dalam sekejap.

Oh Tuhan cobaan apalagi ini...

"Nona," pria itu melepaskan pelukannya dan menatap Layla. Dengan raut wajah yang dingin namun tetap dengan pesona yang tidak dapat diungkapkan dalam sebuah kalimat saja. "Aku..."

Layla benar-benar membeku. Ketika, wajah rupawan itu perlahan semakin mendekat padanya dan menipiskan jarak di antara mereka.

Entah itu magnet, hipnotis atau apa. Yang jelas, kini... bibir pria itu secara perlahan menghapus jejak kebekuan akibat dinginnya air hujan.

Layla kini ibarat lilin yang meleleh dan Thorn adalah api yang menyulutnya. Semakin besar api yang Thorn suguhkan maka semakin mencair jualah gadis itu.

Seperti pakaian yang dikenakan Layla, yang perlahan turun melewati bahu mungilnya yang pucat.

Thorn tidak melewatkan satu jengkal pun. Ia ingin menyalurkan api yang sejak tadi membakar tubuhnya lewat kecupan-kecupan yang tak henti menelusur di sepanjang leher dan bahu gadis itu.

Ibu jari Thorn menahan rahang Layla hingga pandangan gadis itu beralih pada setitik air yang menyusup dari balik lubang di atap.

Tetes demi tetes. Rasanya begitu geli. Seperti liur pria yang tengah menelusuri setiap inchi tubuhnya.

Dada Layla bergerak naik turun, sesak rasanya. Ketika Thorn secara perlahan menindih tubuhnya. Memposisikan dirinya agar siap menerima bagian tubuh pria itu.

Yang sudah berdiri tegak dihadapannya.

Layla memejamkan matanya. Ia pasti sudah gila. Ia tidak menyerahkan kehormatannya untuk para begundal tadi, dan malah dengan sukarela menyerahkan kehormatannya untuk pria asing bernama Thorn yang baru saja ditemuinya.

"Akh!" Jeritan itu meluncur begitu saja dari bibir Layla. Perih sekaligus sakit yang ia rasakan kini.

Tapi pria itu tidak menghentikannya dan malah semakin memperdalam jejaknya.
Layla menatap pria itu yang juga tengah menatapnya.

Keduanya hanya diam, tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut masing-masing.

Sampai Layla membuka mulutnya. Seraya menyentuh wajah pria itu. "Thorn, apa kita akan bertemu lagi?" Tanyanya.

Thorn mengecup lembut tangan gadis itu. "Kau percaya takdir?" Ucapnya.

Layla mengangguk.

"Maka biarkan takdir bekerja. Sesuai dengan jalannya." Ucap Thorn tegas.

Flashback End.

***

Tatapan Thorn terlihat begitu merana. Sarat akan kepedihan yang mendalam.

Dan melihatnya seperti ini, membuat sakit yang sejak tadi kurasakan didadaku semakin menjadi.

"Jangan!" Suaraku meluncur begitu saja.

Bella yang terkejut menatapku.

"Jangan tembak dia, kumohon." Air mataku mulai mengalir tanpa bisa kumengerti. "Kau benar, aku bukan Layla. Dan aku tidak mungkin bersamanya."

Ben mengusap air mataku dengan jemarinya yang mungil. "Mommy jangan menangis", ucapnya.

Tapi aku tak bisa menahannya. Membayangkan peluru itu menembus jantung Thorn...

Kuputuskan untuk menurunkan Ben dan berlari ke arah mereka.

"Jangan mendekat atau aku akan menembaknya!!" Teriak Bella.

"Tembak aku saja," terlontar sudah dan aku tidak bisa menarik ucapanku kembali.

Thorn terbelalak.

"Jangan dia, jangan Thorn. Jangan ambil dia dariku..." oh Tuhan, mengapa aku jadi seperti ini. Sedalam itukah perasaanku padanya sampai rela ingin mengorbankan diri.

Thorn kini menatap Bella. "Shoot me." Pintanya.

Ucapan Thorn sukses membuatku histeris dan melompat diantara mereka seraya membentangkan tanganku.

Anehnya, keadaan ini terasa seperti deja vu bagiku. Aku merasa pernah berada di dalam situasi ini sebelumnya.

"Menyingkir Layla", ujar Thorn.

Aku menggeleng.

"MENYINGKIR KUBILANG." Bentak Thorn.

Dan pistol Bella kini tidak mengarah pada kami.

"Kalau begitu, biar anak itu duluan yang mati." Ucap Bella santai.

Hanya satu detik sebelum Bella nyaris menarik pelatuknya. Thorn sudah berhasil merebut pistol itu dan membalik keadaan.

Melepaskan sebuah timah panas tepat ke dahi wanita itu hingga menembus ke belakang kepalanya.

Ben jatuh tak sadarkan diri. Sementara aku, membeku ditempatku.

"T-Thorn..." aku berbisik lirih.

Thorn menatapku dan tersenyum miring. "Hi honey." Ujarnya santai. "Nice to see you again."

Tidak.

"Kau..."

Gelak tawa terdengar memenuhi ruangan. Tawa yang aneh, tawa yang amat kukenali.

"Akhirnya, terima kasih sudah membebaskanku, sayang."

Adams?!

***

Tbc.

Thorn Mc AdamsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang