Pagi hari adalah waktu bagiku untuk menjalani rutinitas yang begitu monoton. Saat mentari belum menyapa, aku sudah menyapanya lebih dulu—menuntaskan kewajibanku sebagai anak bangsa yang berbudi luhur.
Ya, kenyataannya, tidak juga.
.
***
"Sial!!" umpatku.
"Telat lagi ya nak?" tanya guru BK.
Ya ini adalah guru yang sama, yang menghukumku sebelumnya.
"Hehehe... iya bu," tawaku renyah.
"Duh... kamu ini, sudah ibu bilang supaya jangan terlambat, masih saja diulangi." Ucap Bu Retno seraya menulis sesuatu di secarik kertas.
Aku hanya mendengarkan ucapannya sembari terus meminta maaf.
"Yasudah, ambil ini." Bu Retno menyodorkan surat izin masuk kelas.
"Hah?! Ini, benar Bu?"
"Iya, cepat ambil sebelum Ibu berubah pikiran terus..." belum tuntas Bu Retno berbicara, aku sudah menyambar surat izin itu dan segera menyalami Bu Retno.
Kemudian aku lakas bergegas menuju kelas.
Beruntungnya aku tidak harus menjalani sanksi hukuman.
.
Bahagianya.
.
Dewi Fortuna sedang memihakku pagi ini.
.
.
***
Jam olahraga.
Yay!! Ini adalah jam pelajaran yang paling kusukai karena aku tidak perlu berpikir begitu keras.
Bahkan senseiku pun berbicara seperti ini. "Ya kita ini lagi pelajaran olahraga bukan pelajaran matematika tidak usah dibawa serius, dibawa happy saja"
.
Pelajaran dimulai dengan melakukan pemanasan dari ujung ubun-ubun sampai ujung kaki, ingat kawan! Yang perlu kalian ketahui, jika sedang melakukan pemanasan maka lakukanlah dengan benar.
Setelah pemanasan, kami diminta memainkan bola basket.
"Arrgghh!!" ringisku saat bermain basket."Lu kenapa Ran?" tanya Syifa khawatir.
"Huh... no promblem, enjoy the game. Cuma keram doang kok, hehe." Tawaku menahan sakit.
Ok, sepertinya ini kesalahanku saat pemanasan tadi atau aku terlalu bersemangat (?)
"Sini gua bantuin Ran."
"Gak usah, gua bisa sendiri, mending lu lanjutin mainnya," aku pun berusaha berjalan ke pinggir lapangan dengan sekuat tenaga. "Aarrgghh..."
Ternyata benar-benar sakit lebih dari yang kubayangkan.
Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang kemudianYa, pantun itu benar adanya, seperti yang kurasakan saat ini.
Akhirnya aku bisa menepi ke sisi lapangan. Lelahnya—seperti baru saja lari marathon.
Sekarang aku hanya bisa mengamati pertandingan antar teman sekelasku. Mereka sepertinya sangat menikmati permainan masing-masing. Ada yang bersorak-sorai meneriaki para pemain, ada yang mengawasi jalannya pertandingan, ada yang menghitung skor, dan terakhir ada Pak Yusri yang menjadi wasit.
Bel pulang sekolah berbunyi, menandakan jam olahraga telah usai.
Bel tersebut juga sebagai pertanda bagi kami untuk segera enyah meninggalkan sekolah dan kembali lagi esok di jam belajar yang suntuk.
***
"Nih tas lu," serata memberiku tas berwarna navy.
"Tengkyu ya!" kupamerkan gigiku yang berbaris rapi kepada Syifa.
"Iyee... same-same, apa perlu gua antar ke rumah sekalian?" tanyanya dengan raut wajah yang kurang enak.
"Engga usah, gua masih bisa jalan kok, " elakku sembari mengacungkan jempol dan mengedipkan mata.
"Yaudah, gua duluan ya." Ia berlalu dengan begitu tergesa.
Kemudian—
"Kenapa kaki lu?" Kalimat itu spontan membuatku kaget bukan main, bukan karena pertanyaannya sih, tetapi orang yang menanyakannya.
"Keram," jawabku ringan lalu berjalan mendahuluinya.
"Dasar orang aneh."
TINNN!! TINNNNN!!!!!
"ASTAGFIRULLAH!!" Aku melonjak, terkejut sebab klakson dari motor yang tadi kudahului.Ok, fix ini udah dua kali kaget karena orang yang sama dan itu membuat moodku tambah down.
"Lu mau gua anterin gak?" Dengan wajah aspal sedatar meja warteg.
"Engga!" jawabku ketus.
"Yakin gak mau?" tanyanya lagi.
Tanpa pikir panjang aku pun berlalu mendahuluinya lagi dengan langkah yang gontai.
BRUMMM!! STUKK!!
Suara kendaraan roda dua berhenti tepat di depanku—membuatku mundur beberapa langkah.
"GUA KAN UDAH BILANG KALO GUA GAK MAU!" teriakku dengan penuh penekanan di setiap kata. "Ngerti gak sih lo?!"
"Kok lu jasi sensi banget sih," suara dari empunya motor, di balik helmnya yang berwarna hitam.
Tunggu, kayaknya aku kenal suara ini.
Suara hatiku begitu dagdigdug seperti bunyi drum yang sedang dijatuhi pukulan oleh stick drum.
Orang itu melepas helmnya, menyisir rambut hitam miliknya dengan jemari tangan yang selalu kugenggam, dulu.
"Hai, kouhai," sapanya ramah seraya menunjukkan senyumnya.
.
.
.
*sensei (panggilan dalam bahasa Jepang) : guru
*kouhai (panggilan dalam bahasa Jepang) : adik
.
.Editor : Luluk Eka Wardhanni
.
•Love Hikari
Hikari
KAMU SEDANG MEMBACA
Avontur Rasa
Fiksi RemajaMengerahkan seluruh usaha guna dipandang takdir. Bukan hal pasti nan mudah dalam melakukannya. Aku kerap ragu akan perasaanku. Gelisah terus membebani pikiranku. Haruskah bertindak atau diam. Zarbika Ibra, bagaimana aku bisa menghadapinya.