Chapter 1 :: Tahta Hitam

48 7 5
                                    

Apa yang kau pikirkan dari sebuah kejahatan?
Mungkinkah itu kesalahan yang perlu dihakimi dengan massa dan ketukan palu di meja pengadilan?
Benarkah dia merupakan bentuk tidak sesuainya tindakan dengan batas yang disetujui?
Dan batang jeruji besi adalah kelayakan yang harus diterima?
Kelompok yang paling besar adalah pihak yang tidak mungkin tertimpa hukum. Tipikal manusia yang ingin lepas dari sebuah konsekuensi, meskipun itu adalah batas yang ia ciptakan. Kemudian, himpunan besar menampungnya, merapat, mengikat, kemudian mendapat sebutan negara. Sistem pemerintahan yang mengatur, pertahanan teritorial terlatih, perputaran roda ekonomi, dan kemudian tak berapa lama terciptalah sebuah kesimpulan untuk menangani tindakan-tindakan yang disebut kejahatan ini.
Penegak Hukum.
Mereka memberikan keamanan yang diinginkan, memberikan alasan untuk orang-orang dapat tidur dan terpejam dari dunia yang mereka hidupi, dan tak perlu lagi melihat kebelakang untuk memastikan kekhawatiran akan jas hitam yang menyodorkan tangan berpisau.
Kepastian, harapan besar, masa yang dapat diterka, dihitung berdasarkan idealisme yang diwakilkan. Sejatinya semua makhluk tidak bernafas dengan cara yang sama, hidup di tempat yang sama, ataupun merespon situasi secara sama serempak. Boleh jadi, tangan yang berlumuran darah itu tiada seharusnya mendekap pintu besi.
Namun, diluar itu semua. Manusia adalah makhluk yang tidak ingin bersalah, 'kan?
Dan pertanyaannya, Penegak Hukum itu pendiri keadilan atau...alat pelindung kesalahan?
.        
.      Chapter 1 :: Tahta Hitam
.         
Police line tampak terpasang dan memotong nadi jalanan utama, dengan hujan memaki dinginnya malam, menyatu serasi dalam satu malam dari sekian malam. Kilatan biru muncul lalu lenyap sekejap memecah awan menjadi kelabu, memaksa setiap orang meredam suara di telinga mereka.
Orang-orang berseragam kalang kabut dengan suatu urusan sama.
"Dimana tim Alpha...?" Teriak seorang pria dengan rompi yang terpasang di badannya, berambut hitam cepak, wajahnya keras dan matanya nyalang menatap satu persatu pria koordinator yang terpaku fokusnya pada layar monitor. Menggebrak pintu belakang Van hitam yang terdapat logo 'S.W.A.T' itu karena tak satupun menjawabnya. Hujan dan dinginnya malam tak sedikitpun bisa mendinginkan kepalanya.
"Tidak bisa, pak !"
"Mereka terhadang kemacetan dan terpaksa kemari dengan berjalan kaki..." terang anak buahnya sewaktu mendapat info Tim Alpha.
"Bangsat..." ucapnya dengan nada mendalam. Mengalihkan perhatiannya pada gedung apartemen yang penerangannya tidak menyala lagi.
Tak lama kemudian, derap kaki terburu-buru terdengar samar. "Maaf kami ter-" pemimpin pasukan itu tidak bisa menyelesaikan kalimatnya karena satu kepalan keras terasa di sisi wajahnya.
"Selagi kau menyelesaikan alibimu, 2 nyawa melayang disana, sialan...!" Bentaknya. Prajurit itu dan kompi yang dipimpinnya langsung kehilangan kata-kata.
"November, Aku menyerahkan segala tindakan pencegahan maupun perlawanan padamu. Tapi aku menyarankan padamu untuk melakukan negosiasi."
"Negatif, pak. Aku melakukan tindakan itu sejak tadi, dan aku sudah muak. Mereka membunuh satu sandera setiap setengah jam. Dan itu sudah 1 jam yang lalu, sudah ada dua mayat disana dan 8 menit lagi akan semakin bertambah." Sahut Mark membalas komunikasi atasannya lewat walky talky.
"Kemungkinan yang lain ?"
"Mereka akan menghabisi nyawa semua sandera apabila aku melakukan perlawanan." Sejenak tak ada percakapan.
"Apa kau akan diam ?"
"Tidak, pak!" Jawabnya tegas.
"...lalu, kenapa kau masih menanggapi omonganku. Sudah Ku bilang kalau aku menyerahkan kepemimpinan padamu, Nak. Lakukan yang menurutmu jalan terbaik." Percakapan berhenti setelah itu.
Laki-laki berumuran 25 tahun itu mendekati barisan prajurit di depannya, "disana masih terdapat 5 sandera lain, 5 orang dewasa dan semuanya perempuan. Mereka ada di lantai 4, sudah sekitar 3 jam mereka disana..." Ia menjeda perkataannya sembari melirik lokasi kejadian.
"...Para pelaku diketahui berjumlah 4 orang bersenjatakan senapan otomatis, tapi itu bukan intinya. Yang harus kalian tahu, para penjahat ini tipe profesional, bukan yang hasil latihan di bukit ataupun hutan." Sambungnya.
Tepat setelah itu, ledakan mesiu menambah berat suasana, leher mereka tercekat, tanpa sadar mereka sudah menahan nafas. Selanjutnya, skenario terburuk telah terjadi, sesosok tubuh terlempar dari jendela dengan kepala yang ditutupi kain hitam. "Aku bersumpah untuk membawa kepala 4 orang itu di pemakaman para korban. Dan itu pasti, pengecut !" Geram pria bernama Mark Eversman tersebut.
"Setidaknya seorang pengecut tahu tempat, waktu, dan taktik yang tepat." Perangkat audio dalam mobil Van itu bersuara. Mengeluarkan suara hologram yang memiliki kombinasi 3 suara dan menyulitkan identifikasi.
"Mereka menyadap saluran komunikasi kita, pak." Bisik salah seorang anak buahnya.
"Siapa kau dan apa maumu...?!" Ujar Mark tanpa basa basi.
"...Aku adalah kisah kelam dalam sejarah kalian." Sebuah jawaban datang dari seberang tempatnya berada lewat perangkat elektronik.
"Aku tidak peduli dengan siapa dan apa tujuanmu. Lepaskan sanderanya dan aku akan mempertimbangkan hukumanmu."
"Hukum ? Benda usang itu masih berlaku ya...? Kupikir Jendral, Kolonel, dan komplotannya sudah melupakannya"
"..." Mark memilih diam karena tahu orang itu belum selesai bicara.
"Aku bisa menyisihkan waktu untuk kematian keempat bila kau tidak keberatan mendengarkan dongeng dariku." Mark berusaha tenang ditengah kemarahannya karena nada bercanda si penyandera. Ia memberikan isyarat diam kepada anggotanya supaya memberikan ruang baginya untuk mengikuti permainan bodoh ini. "Ah, dimana rasa sopanku, perkenalkan namaku Bradley dan aku mantan kapten Navy SEALS. Itu saja." entah kenapa mendengar nama tim militer yang dikenal nol kegagalan dalam penugasannya itu bagaikan mantra pembunuh yang dihembuskan diantara kesadarannya. Jika bukan karena pengalaman penanganan kasus yang memiliki banyak latar belakang, pasti orang sepertinya akan mengartikan kalimat itu sebagai lelucon semata.
  "Tanah airku sendiri mengkhianatiku, sama sepertimu, Aku juga pernah mengabdi pada Tahta yang kau sembah..."
"...Tapi Kau masihlah Alat." Dia masih mendengarkan, walau diam dan tampak tenang, tapi tak ada lagi kesabaran dan akal sehat yang tersisa. "Aku seorang prajurit dan kau seorang penyelidik, kita semua menjalankan konspirasi yang sama. Aku berperang di tanah lain demi negaraku, kau mengatasi ancaman non-militer untuk tanah airmu. Pernah berpikir kenapa aku berperang di negara yang memiliki banyak sumber daya...?" Ia mulai mengerti.
"Pernah berpikir, kemana paket besar narkoba itu dimusnahkan...?" Mark terdiam.
"Dan kau tahu apa artinya semua itu..." Dia mulai menutup mata.
"...kita adalah kafir." Dia mendesis sama seperti apa yang ia dengar. Membuatnya membatu layaknya tersihir, "Oh, kau tahu juga ternyata." Kata Bradley memuji.
"Kalimat itu terkenal dikalangan para penyebar teori konspirasi, menurutku itu normal. Keberadaan mereka sendiri yang menyeimbangkan stabilitas, opini keras yang membuat negara ini tidak tampak otoriter." Mark mulai terdengar dapat menguasai diri. Transfer bar yang muncul baru saja di layar monitor menarik perhatiannya, menampilkan lampiran file. "Aku tidak punya topik yang berbobot untuk diperbincangkan. Mungkin kau punya satu di komputer pemerintah milikmu itu." Ujar Bradley yang menunjuk pada satu hal.
"Apa ini ?" Mata anggota penegak hukum setempat itu bergerak cepat mengurai data file tersebut sebelum membuat kesimpulan. Jika sejauh ini musuhnya hanya melakukan langkah-langkah yang konsisten, bukan berarti ekstrimis seperti mereka tidak bisa melakukan taktik manuver tajam yang diluar dugaan. Misalnya, Data yang barusan diterimanya memiliki kekuatan untuk memulai pembangkangan sipil hingga kekerasan terorganisir untuk meruntuhkan pemerintahan.
Data yang memuat nama-nama orang berpengaruh yang terlibat dalam operasi 'Suara Besi', proyek-proyek keji, hingga korupsi di hampir seluruh instansi. Namun dengan segera ia menghapus file tersebut. "Operasi 'Suara Besi' ?" Bisiknya.
Barulah ia sadar bahwa berurusan dengan orang ini bisa membuat sebuah negara dilanda keadaan yang memungkinkan di titik berbahaya. Bila musuhnya ini bisa berbuat jauh lebih mengerikan, mengapa harus bersusah payah melakukan semua ini ?
"Jika kau berpikir untuk memblokade akses kami, maka bersiaplah melawan orang yang terlibat langsung dalam operasi 'Stuxnet'."
Ia mulai kehabisan akal, orang ini punya penglihatan luas. Bahkan para penembak jitu yang ditempatkan di beberapa lokasi tidak bisa mengkonfirmasi serangan aman. Strategi yang matang, menguasai pertahanan, dan mumpuni dalam menekan mental lawan. Dari sekian banyak kejadian, dan dari sekian kasus yang ia tangani, mungkin saja hari ini ia akan kehilangan nyawanya.
"Bayangkan saja bila setiap orang di negara ini, bahkan jika dunia tahu, maka akan muncul ketidakpercayaan publik yang begitu besar kepada para pembuat kebijakan." Inilah puncaknya, akan ia akhiri sesuatu yang sebenarnya tak pernah ia mulai. "Apa dengan membunuhmu akan mencegah semua itu ?"
"Cobalah dan lihat hasilnya." Tanpa menjawabnya, Mark mengambil senjata Tavor x95 yang tadinya ia tinggalkan di Van itu.
"Tapi sebelumnya, Aku ingin bertanya dan pastikan kau menjawabnya saat bertemu denganku..." Mark menoleh demi sedikit dorongan hatinya yang ingin mendengar.
"...Dimana 'keadilan' itu, Tuan Penegak Hukum ?"
Dengan itu, Mark bergerak tanpa gentar, merangsek maju tanpa ragu, sebagaimana resimen khusus yang ia tegaskan. Mereka mungkin tanpa tanding di medan perang, tapi wilayah ini adalah teritorial mutlak miliknya.
Mark bergerak cepat namun hati-hati sambil mengangkat senjatanya dengan bidikan setinggi mata. Senjatanya bergerak ke segala penjuru ketika melewati bibir pintu, mencari siapapun yang mungkin menyimpan bahaya dalam satu ruang hening yang gelap namun masih menyimpan sedikit bias cahaya.
Laki-laki yang sudah baik jiwa raganya telah ia serahkan demi negara ini mengambil satu tarikan nafas sebelum menaiki tangga yang menghubungkan ke lantai dua, hanya untuk mengetahui kekosongan di balik semua pintu. "2, aman. Bergerak menuju lantai 3. Tempatkan 'mata' di lantai 3 dan 4."
"Dimengerti, November!"
Pasukannya bergerak cepat teratur, tersebar cepat menyisir setiap sudut, mencari siapapun dari satu demi satu ruang di balik pintu. Dan menemui kesamaan situasi dari dua lokasi yang telah ia lewati.
Jemarinya siaga menekan pelatuk sembari mengarahkan larasnya ke sebuah pintu yang patut dicurigai, sayup-sayup suara terbaca inderanya.
Sebuah isyarat komando diterima baik para pasukan untuk mengkondisikan situasi, melenyapkan suara, melebur suasana menjadi senyap sunyi bagai ditenggelamkan di dasar laut. Memerintahkan mereka untuk kembali melakukan pengecekan.
Penerangan sekejap menyala kembali.
"Sial...!" Tiba-tiba suara ledakan peluru memecahkan suasana dari degup lirih mencekam menjadi konfrontasi senjata yang bersumber dari ruangan pertama dekat tangga yang menghubungkan lantai dua.
Seketika itu juga Mark merangsek secepat yang ia bisa kearah tangga menuju lantai 4, meninggalkan regu penyergapan dibelakangnya demi 5 nyawa yang menunggunya.
Susunan anak tangga berbadan kayu itu berderak-derak keras seakan diatasnya dipijak dengan kekuatan kaki yang tidak lazim. Bola matanya berputar liar di sekeliling lorong sembari membidik. Langkahnya diambil satu-satu dengan amarah lain yang baru tersulut.
"...!" Didapati olehnya pintu coklat yang telah terayun terbuka di ujung sana. Pelan-pelan jarak yang terentang semakin berkurang dan berkurang.
Detak jantungnya berangsur-angsur pulih dari ketegangan.
Mark merapat ke dinding, menyiapkan mentalnya sebelum mengayunkan badannya memasuki ruangan itu. Dan...
"Apa kau tidak pernah diajarkan untuk mengetuk pintu sebagai bagian tata krama?"
"Hanya jika kau tidak memegang revolver berkaliber 44 di masing-masing tanganmu."
Baru satu jengkal, pelipisnya sudah terasa dingin karena laras besi yang didalamnya berisi timah tajam. Pria bermata coklat itu dapat melihat orang lain dari sudut matanya, sebelum mengembalikan pandangannya pada 5 sandera yang diikat dengan kondisi mata terpejam bersih dari kesadaran.
"Kenapa kau melakukannya? Apa yang tersisa dari pemikiranmu tentang nyawa orang lain?"
"Jadi, nyawa itu lebih berharga daripada emas, ya? Ah, kupikir sesuatu yang sangat banyak itu menjadi tidak berharga. Bukankah emas akan seperti tanah jika dia berlimpah, ah terserahlah!" Entah kenapa, kalimat itu terasa masuk akal. Efeknya terhadap gejolak batinnya begitu mendalam.
Di dunia yang luar biasa mengalir pada waktu, sebuah janji tidak lagi seberat gunung, pengorbanan yang berarti menjadi egoisme ditempat lain. Sampai pada harga nyawa yang serupa debu.
Mark menutup mata sembari melepas tali kait senjata di sepanjang bahu kiri dan melemparkan senjatanya yang berdenting pada lantai. Ketenangan tampak jelas di bawah kedipan kelopak mata yang teratur itu.
Mark sekejap menyambar belati besar yang ditaruh diatas lutut, sebelum berbalik cepat dengan sedikit menunduk dan mengayunkan ujung bilah tajam ke arah targetnya.
"Ugh..." kedua tangannya spontan menjatuhkan revolver tersebut dan berupaya mencabut belati yang menancap dalam di dada kiri tanpa bisa ditangkis. Begitu kakinya akan berjalan mundur, lengannya ditarik paksa, kemudian anggota SWAT itu menghantamkan sikutnya pada pangkal belati hingga membuatnya terbenam lebih dalam.
Tanpa ragu-ragu, pemilik nama lengkap Mark Eversman itu menendang dada Bradley sampai membuatnya menghantam tembok. "Keadilan berada dibawah tanganku dengan simbol mutlak. Aku adalah monster dalam rantai kriminal, maka peranmu sebagai garda perang akan sia-sia didalam genggamanku."
Suara bagai diambil paksa dari udara setelahnya. Diambilnya satu senjata itu yang jatuh diambang pintu.
"Para Idealis memang sampah, mereka bahkan tidak sadar saat dipengaruhi..." Revolver itu menengadah di dahi, tapi wajahnya tidak terbelit takut. Pria pirang 40 tahunan dengan luka sayatan di bagian kiri wajahnya itu menatapnya lemah.
"...Sama sepertimu..." Suara ketukan hammer senjata terdengar jelas.
"Bagaimana mungkin guratan kapas bisa menyayat luka, Sersan satu Mark Eversman ?"
Tak ada tembakan. Tidak ada ledakan. Apalagi dentuman mesiu dan belerang dalam senapan.
Hanya nafas tertahan di wajah pucat yang emosinya mengalir panik. Pelatuk itu telah ditarik berkali-kali, ditekan berulang-ulang, tapi tak satupun peluru berhasil mendapatkan targetnya. Selanjutnya yang ia tahu silinder tersebut tidak terisi satu proyektil pun.
"Apa yang kau bicarakan?!" Raungnya yang hanya dibalas senyum. Tubuhnya membeku.
"Sifat adalah garis potensi yang seimbang, sebuah sentuhan bisa membuatnya condong dan tarik menarik. Setiap yang bersifat mengandung potensi entah itu benda mati sekalipun. Idealismemu tidak memiliki kapasitas dan tanpa sadar...Menggantikan dirimu menjadi wadah kosong dengan gerak terbatas. Hukum, hukum dan hukum." Hembusan nafasnya tidak lagi ringan, malah seberat besi dan semakin tersendat setiap detiknya. Kerongkongannya penuh oleh darah, membeludak deras lewat sela bibir. Bradley sudah tahu tidak lama lagi ajal akan membawanya pulang, oleh karena itu dia menatap Mark dengan seribu kenangan dunia tepat di mata. Untuk kemudian dirangkum dan dikatakan...
"...Dimana 'keadilan' itu, Tuan Penegak Hukum?" Dan udara meresap sunyi. Orang itu telah tiada. Meninggalkan senyum yang seperti menertawakan dirinya.
Kalimat itu berhasil membuat satu dunia terlupakan, belasan orang bersenjata bahkan tak tertangkap mata karena isi pikirnya tenggelam terlalu dalam.
"Komandan, ancaman di area 3 sudah diatasi. Musuh menggunakan peluru hampa, diketahui setelah konfrontasi yang menewaskan mereka bertiga. Lalu kedua mayat korban itu sudah diidentifikasi sebagai mayat di NYU Medical Center, mereka meninggal pagi tadi akibat kecelakaan dan ketika akan dimakamkan--"
Mark membalik tubuhnya untuk pergi. Ia tidak perlu tahu ujung kalimat itu.
Lalu lalang manusia pencari bukti menjadi kelebat bayang-bayang hitam yang melewati, sesekali menabrak, namun takkan mampu mengambil arah pandang mata yang setia kosong. Dunia menjadi jauh kelihatan berbeda, seakan-akan suntikan logika baru menginjeksi pola pikirnya sehingga kesadaran terselubung menjelma nyata.
"Ambisiku adalah menatap mereka dengan tersenyum sederhana namun bahagia. Ketika melewati cobaan itu dan aku ternyata salah..." tatapnya pada layar hitam yang membentang dari segala penjuru, namun luasnya angkasa dan dalam warnanya tak menyimpan jawaban atas pertanyaan.
"...Apakah sekarang aku adalah seorang pendosa?"
.
.
.
.
.
End of Chapter 1.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 06, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Fajar Terakhir :: Stigma dan IlusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang