12. Dikhitbah?

23.6K 1.9K 83
                                    


Ashel tampak kesulitan membantu Fariz berdiri mengingat tubuh lelaki itu gagah dan tinggi.

"Kamu nggak ada niatan minta maaf sama saya udah bikin saya belur begini?" Fariz menunjukkan luka di siku tangannya.

"Pak, itu lukanya Cuma kecil. Dikasih obat merah juga sembuh."

"Jadi maksud kamu nggak perlu minta maaf?"

"Ya udah, saya minta maaf." Ashel tidak ikhlas mengucapkannya. Masalah yang tadi saja belum kelar, lelaki itu sudah mengulas masalah baru.

"Nggak semudah itu." Fariz meniup-niup luka di sikunya dan berakting seolah-olah lukanya itu cukup serius.

"Jadi mau Bapak apa?"

Fariz tersenyum menang melihat kepanikan Ashel. "Saya akan menuntutmu."

Ashel terkejut. "Cuma gara-gara gini doang sampe harus nuntut? Ke polisi maksudnya?"

"Masak ke Pak RT?" Fariz kemudian terkekeh melihat muka Ashel yang mendadak tegang. "Hei jangan ketakutan gitu juga, saya becanda. Ya sudah, sekarang begini saja, kamu kerjakan tugas kamu."

"Tugas apa?"

"Kita ke restoran samping gedung kantor. Di sana akan nyaman untuk kita bicara. Kamu kan juga belum makan. Jangan biarkan cacing di perutmu demo. Ikut saya!" Fariz berjalan menuju mobilnya.

"Enggak, saya bawa motor sendiri aja."

"Oke," jawab Fariz yang sempat berhenti untuk mendengarkan Ashel kemudian kembali berjalan lagi memasuki mobil.

Air liur Ashel menggelitik melihat sepiring mie tiau disajikan di depan hidungnya yang kembang kempis. Aromanya benar-benar menggugah selera, ditambah lagi udang kesukaan Ashel berbaur di dalam mie, plus usus yang memang sejak siang belum diisi. Kalau saja Fariz tidak ada di hadapannya, pasti sudah disikat sejak tadi. Sekarang Ashel harus menahan sikap demi kata jaim ditengah perang badar dalam mulutnya.

"Kita tunggu minumnya dulu baru makan."

Pernyataan apa itu? Mulut sudah ngiler masih saja dilarang makan. Ashel menelan saliva.

"Ya udah, to the point deh, Pak. Tadi yang mau Bapak bicarakan apa?"

"Oke sembari menunggu minuman datang, saya akan jelaskan. Saya menemukan tanah strategis di samping kampus tempat kuliahmu. Tapi sayangnya pemilik tanah tersebut bersikukuh tidak mau menjual tanahnya. Bantu saya membujuk manusia yang sekarang ini berprofesi sebagai dosen di kampusmu, kamu kan mahasiswi di sana. Pastinya mudah untuk bicara dari hati ke hati dengan orang itu. Kemungkinan kamu sudah paham dengan sifat dosenmu, dan itu tentunya memudahkanmu untuk membuka celah. Terserah kamu dengan cara apa untuk membuatnya setuju menjual tanah. Kupikir kamu perempuan yang punya segudang ide. Roby. Ya, namanya Roby."

"What? Pak Roby?" Mulut Ashel menganga lebar hanya untuk menyebut nama Roby.

"Ya. Ada yang salah?"

Ashel menggaruk pelipis. Masih jelas terekam dalam ingatannya bagaimana Pak Roby kerap bersitegang dengan seorang mahasiswa hanya untuk urusan sepele. Pak Roby sering kali mengomel pada mahasiswanya, juga sering marah lalu meninggalkan kelas jika emosinya sudah setinggi langit. Bagaimana caranya Ahsel akan membujuk lelaki tempramen seperti Pak Roby? Mengajak kompromi Pak Roby sama saja menyuruh Ashel bicara dengan tembok, sia-sia. Diantara banyaknya manusia di kampus, kenapa harus Pak Roby? Dosen garang yang menyebalkan dan penuh dengan teka-teki. Ia lebih baik disuruh tendang-tendangan dengan musuh bebuyutan dari pada berurusan dengan Pak Roby.

"Kenapa? Nggak mau?" Fariz menundukkan kepala dan mengintip muka Ashel yang kelihatan ruwet.

"Saya nggak bisa, Pak."

"Oke, saya bisa bikin kamu nggak lulus magang kalau saya mau."

Iiiih.... Sumpah, gila ya. Untung Ashel tidak membawa ulekan. Kalo tidak, sudah rata tuh hidung Fariz kena lempar ulekan cabe.

"Bapak ngancem?" Ashel manyun karena memang merasa terancam. Tentu saja Ashel tidak mau kejadian buruk menimpa magangnya.

"Sedikit." Manik mata Fariz menatap tegas ke arah Ashel.

Duh, tatapan tegas itu membuat jantung Ashel ketar-ketir.

"Tapi kan ini di luar jadwal kerja, Pak."

"Jangankan menyuruh kamu bernegosiasi dengan tuan tanah, menyuruhmu pergi ke Solo buat beli permen pun saya bisa lakukan."

"Jadi bos memang enak ya, Pak. Suka-suka si boslah."

"Memang begitu," jawab Fariz tanpa beban. "Kalau kamu berhasil melaksanakan tugas, saya jamin nilaimu bagus. Dan kamu nggak perlu jauh-jauh cari pekerjaan, saya akan terima kamu bekerja di perusahaan tempatmu magang sekarang. Saya posisikan kamu di bagian staf penting, kalau perlu asisten saya."

Menggiurkan. Penawaran yang seimbang dengan resiko.

"Baiklah, akan saya usahakan."

"Anak pintar. Sekarang, ayo makan!" ajak Fariz ketika minum sudah disajikan.

Dari tadi kek. Perut udah kriuk kriuk sejak tadi. Ashel langsung menyambar garpu dan memasukkan mie ke mulut dengan rakus.

"Kelaperan?" tanya Fariz menatap serius pada setiap kunyahan Ashel.

"E eh, mm iya eh enggak. Cuma doyan banget." Ashel malu-malu lalu merubah gaya makan supaya sedikit kalem dan tidak kelihatan rakusnya.

"Jangan grogi! Panjang urusannya kalau saya mesti lap keringet di kening kamu pakai tisu."

Dih, ngomong apaan sih nih cowok? Ashel menundukkan wajah menyembunyikan kulit wajahnya yang pastinya telah memerah.

***

"Pst... Tuh!" bisik Naifa menunjuk Pak Roby yang melintas di depan dengan dagunya.

Ashel sengaja mengajak Naifa ke kampus untuk menemui dosen killer tersebut, supaya ada nyali jika dibentak-bentak oleh pak Roby. Minimal ada yang menguatkannya.

Ashel menoleh ke arah yang ditunjuk Naifa. Pak Roby berjalan ke arah mereka membawa beberapa buku besar.

"Apa ini saat yang tepat buat ngomong?" Dahi Ashel mengernyit.

"Semakin cepat semakin baik. Muka Pak Roby lagi cerah tu. Anginnya baik kayaknya."

Ashel menarik napas saat Pak Roby sudah ada di dekatnya. "Pak!"

Pak Roby menoleh dan menjawab, "Ya. Pagi." Ia berjalan melewati Ashel begitu saja.

Ashel terdiam. Dikira ia hanya sebatas mengajak bertegur sapa? Ashel berlari mengejar Pak Roby. Begini nih keseruan menjalankan tugas dari sosok lelaki yang Ashel cintai, semangatnya luar biasa meski dihadapkan dengan monster atau drakula sekalipun.

"Pak."

"Ya?" Pak Roby terus berjalan dan Ashel terus mengikuti.

"Pak."

"Iya?" Suara Pak Roby meninggi, membuat Ashel terkejut dan mengerutkan hidung. "Kamu ini, dari tadi Pak Pak terus. Ada apa?"

Ashel menarik napas untuk menenangkan diri. Baru dipanggil namanya saja Pak Roby sudah sewot begitu, bagaimana kalau membicarakan masalah tanah?

"Bapak ada kelas hari ini?" tanya Ashel akhirnya. Waktu dan tempat rasanya tidak tepat untuk berbicara serius dengan Pak Roby, sehingga pertanyaan yang keluar dari mulut Ashel berbeda dengan apa yang ada dalam pikirannya.

"Ada. Ya sudah, saya sibuk." Pak Roby meninggalkan Ashel yang terpaku.

Sementara Naifa tertawa cekikikan melihat Ashel yang menoleh ke arahnya.

Fariiiiz... bagaimana caranya Ashel bisa memulai pekerjaan aneh itu?

***

Bersambung...

Jangan lupa tinggalin vote yaaa....!!!!

MY BOSS IS MY LOVE (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang