CHAPTER 6

395 108 42
                                    

Pagi itu angin berhembus lembut, memanjakan beberapa pejalan kaki yang sedang berolahraga. Hari itu suhu di kota Seoul minus satu derajat selsius, tidak terlalu dingin ataupun terlalu hangat. Embun-embun pagi menetes dari dedaunan, menambah atmosfer pagi yang cerah di ibu kota itu. Jalanan sudah mulai dipenuhi mobil-mobil dan orang-orang berjas rapih.

Gadis itu, Jae In berkali-kali mengusap kedua tangannya yang entah mengapa nyaris membeku rasanya. Jae In tida tahan dengan udara dingin, makanya ia memakai tiga lapis baju―ditambah hoodie yang menjadi pelapis paling luar. Udara pagi ini cukup dingin baginya.

Jae In berlari menyusuri daerah Gangnam yang terkenal dengan fashion-nya. Di sepanjang jalan setapak terlihat berbagai macam orang dengan kesibukannya masing-masing. Ada beberapa pemilik toko sudah mempersiapkan tokonya, beberapa anak-anak kecil sedang bersepeda, sebagian orang dewasa mengajak hewan peliharaannya jalan-jalan, ataupun para pekerja keras yang sudah terlihat menawan dengan jas rapih mereka.

Sungguh pagi yang damai.

Jae In berbelok ke gang sempit, salah satu jalan menuju danau buatan di dekat situ. Beberapa orang yang mengenal Jae In menyapa gadis itu yang mendapat balasan anggukan dan senyum ramah Jae In. Rutinitas yang biasa Jae In lakukan setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah, kecuali dia bangun kesiangan atau hari Minggu. Karena bagi Jae In, hari Minggu itu spesial. Ia tidak perlu pergi ke sekolah atau mengerjakan setumpuk soal yang memusingkan kepala.

Tanpa terasa gadis itu sudah berada di pinggir danau yang legendaris itu. Gadis itu melepas headphone-nya. Ia memejamkan mata lalu menghirup udara dan membuangnya pelan-pelan. Beberapa kali seperti itu. Sebelum akhirnya suara berat itu menyadarkannya.

"Oi. Tubuhmu menghalangi maha karyaku!" seru seseorang.

Jae In berbalik. Dirinya mendecak kesal begitu mengetahui siapa pria itu. Itu Kim Myungsoo, si brengsek yang menyamar menjadi guru privatnya.

"Ini tempat umum, tahu!" balas Jae In sengit.

"Cepat menyingkir dari sana! Angsanya akan pergi jika kau di sana terus."

Dengan terpaksa Jae In menyingkir dari pandangan Myungsoo. Sebagai gantinya gadis itu berjalan mendekati Myungsoo yang masih fokus membidik angsa itu dengan kamera digitalnya. Jae In duduk di rerumputan, mengamati Myungsoo yang sedang asik berkutik di dunianya. Beberapa detik seperti itu. Sampai membuatnya bosan karena sudah menatapi Myungsoo dari samping. Pandangannya kembali beralih pada angsa-angsa yang sedang berendam di danau di depan mereka.

"Hei, Yoon Jae In." Myungsoo tiba-tiba berbicara.

"Hm?"

"Bolehkah aku menjadikanmu barang keramatku?"

♚♚♚

Jae In membuka matanya pelan yang terasa berat. Dirinya menguap lebar sambil merenggangkan ototnya. Jadi semua yang dirasakan Jae In tadi hanyalah mimpi? Tapi entah mengapa mimpi itu terasa begitu nyata. Ah, sungguh pagi Minggu yang sial. Seharusnya ia bangun lebih siang hari ini.

Tunggu. Ada suatu hal yang aneh dari pandangan Jae In. Ia berkali-kali mengerjap, lalu mengucek matanya. Namun bayangan wajah Myungsoo masih melekat pada pandangannya.

"Apa tidurmu nyenyak?"

Dan bahkan bayangan itu bisa―ASTAGA! Itu Myungsoo sungguhan. Ya. Kim Myungsoo―ada―di―kamar―Jae In.

"OMMO!" seru Jae In kaget, refleks tangannya melempar dalaman yang ada di sebelahnya

Myungsoo mengambil dalaman Jae In dengan ekspresi campur aduk. Jae In membulatkan matanya sambil menutup mulutnya tak percaya bahwa yang ia lemparkan tadi adalah dalamannya yang kotor dan belum sempat ia cuci. Jae In meringis. Tangannya dengan cepat mengambil dalamannya itu sebelum Myungsoo mulai berfantasi layaknya lelaki yang lainnya.

"Apa kau gila?" tanya Myungsoo melempar tatapan dingin.

"Maafkan aku." Desis Jae In dengan wajah memerah. "Aku tidak tahu kalau itu―ah sudahlah! Lagipula kenapa kau ada di kamarku, sih? Kemana eomma-ku hah?"

Myungsoo menghela nafas. "Ah dasar bocah satu ini."

"Apa katamu?"

"Tak apa." Jawab Myungsoo acuh. "Ibumu pergi ke pasar dan dia menyuruhku untuk membangunkanmu."

"Lalu?"

"Lalu? Lalu apa?" beo Myungsoo dengan muka bingung.

Jae In memicingkan matanya curiga. "Lalu kenapa kau ke rumahku? Seingatku hari ini tidak ada jadwal privat."

"Oh... yah... Aku hanya ingin mengajakmu keluar. Apa salah?" Myungsoo terlihat salah tingkah.

Jae In terdiam beberapa saat. Ditatapnya Myungsoo penuh interupsi. Akhirnya ia mengangguk paham walaupun matanya masih melempar tatapan curiga pada lelaki yang ada di depannya itu.

"Oke. Aku ganti baju dulu. Kau tunggu di ruang tamu saja."

♚♚♚

Bau kopi bercampur di kedai itu. Lonceng di dekat pintu seringkali berbunyi menandakan seseorang memasuki ruangan itu. Seorang lelaki jangkung yang mengenakan turtle neck sweater dan seorang gadis yang mengenakan sweater biasa berwarna pink tampak sedang berbincang satu sama lain di kursi paling sudut. Entah mengapa mereka memilih kursi itu. Entah karena ingin jauh dari keramaian atau sesak akan asap rokok di ruang tengah.

Lelaki tadi tampak menyeruput minumannya, terlihat menikmatinya. Sementara gadis yang ada di depannya terlihat memainkan ponselnya. Hening menyergap mereka. Lelaki ber-turtle neck itu mengeluarkan sesuatu dari dalam saku mantelnya. Beberapa brosur terlihat di antaranya.

"Aku mendapatkan beberapa universitas yang bagus. Kau bisa memilih salah satunya." Ucap Myungsoo sambil menaruh beberapa brosur tadi di meja.

"Benarkah?" tanya Jae In dengan mata berbinar.

Myungsoo mengangguk. "Ada Daekyung University dimana aku kuliah dulu."

Jae In melihat satu persatu brosur tadi dengan mata berbinar. Itu artinya ia akan segera menjadi mahasiswi dan lulus SMA. Lalu setelah itu ia akan lulus dan menjadi apa? Entahlah. Bahkan sampai detik ini suatu hal yang bernama cita-cita belum juga muncul di benaknya.

Myungsoo menatap Jae In dengan senyum puas. Tidak ia duga Jae In akan sesenang ini bila ia memberikan beberapa brosur itu. Tepatnya Jae In saat ini lebih terlihat seperti seorang bocah yang baru saja dibelikan mainan baru.

"Bagaimana kalau kita langsung ke sana saja?"

"Boleh?" balas Jae In cepat.

Myungsoo mengangguk. "Aku sudah lama tidak berkunjung ke kampusku dulu."

Jae In tersenyum lebar. "Baguslah kalau begitu."

Jae In dan Myungsoo beranjak dari tempat duduknya. Mereka pergi ke arah pintu dan membiarkan lonceng tadi kembali berdenting.

Agak jauh dari posisi Myungsoo dan Jae In, terlihat seseorang berseragam serba hitam memarkirkan mobilnya tak jauh dari posisi mereka. Ia mengaktifkan sebuah alat yang ada di telinganya lalu berkata,

"Mereka baru saja pergi dari kedai itu." Gumamnya, terdengar seperti memberi informasi pada seseorang. "Baik. Akan saya lakukan."

Pojok kamus mini:
1. Ommo: Astaga, Oh my, Ya Tuhan

----------
A/N Selamat siang! Sepertinya saya nggak jadi hiatus deh xD salahkan ilham ini yang tiba-tiba datang xD

Jangan lupa vomment nya yaa!^^

First Snow & First KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang