1

84K 4.1K 45
                                    

Hiruk pikuk orang berlalu lalang begitu aku menginjakkan kaki di kota kelahiranku setelah empat tahun aku merantau.

Aku sangat merindukan kota ini. Kota yang menyimpan ribuan bahkan jutaan kenangan.

Ibu sudah menjelaskan semuanya padaku kemarin, dan aku hanya bisa pasrah dan menurut, karena memang seperti itulah aku jika sudah berhadapan dengan Ibu dan Ayahku.

Perjodohan. Sebuah kata yang di masa kini sangat jarang kudengar.

Andong yang membawaku melintasi jalanan kota berhenti di sebuah bangunan luas.

Aku turun dan menatap penuh rindu pada rumah tempatku dibesarkan dengan adat istiadat dan aturan-aturan yang sangat membatas igerakku. Tapi lagi-lagi, aku menikmati semua itu karena aku yakin ayah dan ibuku melakukannya untuk kebaikanku.

"Bapak sudah menunggu, Non,"aku mengangguk saat Pak Marno, salah satu pegawai ayah memberitahuku.

Meskipun keluarga kami bukan keluarga ningrat dan hanya pendatang, tapi aku dan adikku dilahirkan dan dibesarkan di sini. Keluarga kami bahkan cukup disegani.

Aku tersenyum, berlari memeluk ayah dan ibuku. Aku merindukan mereka.

"Rani kemana, Bu?" tanyaku menyadari bahwa adikku tidak nampak di antara kami.

"Tadi adikmu keluar bersama temannya. Anak itu akhir-akhir ini sering keluyuran tidak jelas," keluh ibu muram.

"An, Ayah langsung saja ya, mengingat ini sangat darurat keadaannya," aku menatap ayahku yang duduk di samping ibu. Wajah Ayah terlihat lelah.

Aku mengangguk takzim.

"Sudah lama keluarga Mas Permana ingin menjodohkan anak laki-laki semata wayangnya dengan salah satu dari kalian. Dan nampaknya Nak Pras tertarik pada adikmu. Mereka berhubungan cukup lama, sampai akhirnya keluarga Mas Permana melamar Rani untuk Nak Pras. Namun entah kenapa, setelah acara lamaran itu, sikap Rani berubah. Adikmu ngotot membatalkan pernikahannya. Alasannya tidak begitu jelas. Sedangkan pernikahan sudah akan dilaksanakan seminggu lagi," Ayah menghela nafas panjang. Aku menunggu. Aku memang sudah mendengar tentang rencana pernikahan adikku.

Saat ibu bertanya apakah aku tidak apa-apa jika dilangkahi oleh Rani, tentu saja kujawab tidak apa-apa. Aku sangat menyayangi adikku meskipun kadang kurasa ia terlalu manja dan egois.

Kepulanganku ini pun sebenarnya masih empat hari lagi untuk menghadiri pernikahan Rani, tapi kemarin ibu menghubungiku agar aku bisa pulang sesegera mungkin karena akan dijodohkan dengan anak teman Ayah.

Dan sekarang, tiba-tiba saja perasaanku menjadi tidak enak. Dadaku berdebar-debar menanti kelanjutan kalimat ayah.

"Ayah harap, kamu mau menikah dengan Nak Pras, An," suara Ayah yang lirih itu seperti petir di siang bolong.

"Tapi Ayah, bukannya Pras menyukai Rani?" tiba-tiba saja kepalaku berdenyut. Dugaan-dugaan bermunculan dalam pikiranku.

"Ayah dan Ibu sudah menemui Mas Permana dan Nak Pras, tapi acara itu sudah tidak mungkin bisa dibatalkan, An. Undangan sudah disebar. Dan untuk menarik undangan itu, tidak mudah," tutur Ayah membuat lidahku kelu.

"Mas Permana memaklumi keadaan Ayah, tapi Mas Permana juga meminta agar pernikahan itu tetap dilangsungkan. Lalu Ayah mengusulkan, bagaimana kalau Rani digantikan olehmu. Dan, Mas Permana setuju. Sore nanti Mas Permana dan Nak Pras akan kemari melihat dan berkenalan denganmu," kata-kata ayah membuatku seperti orang ling-lung. Aku tidak tau seperti apa perasaanku. Menjadi pengantin pengganti! Itu sama sekali di luar nalarku.

Kutatap wajah kedua orang tuaku dalam-dalam. Guratan kecemasan dan kelelahan terlihat di sana. Mata mereka menatapku penuh harap.

Haruskah aku mengecewakan mereka? Atau haruskah aku menerima semua ini sebagai takdir yang harus kujalani?

=====*=====

Aku duduk membeku di sudut sofa. Aku tidak berani menatap wajah ketiga tamu Ayah.

Entahlah, tapi rasanya janggal sekali. Kenapa Rani menolak dan membatalkan pernikahan mereka saat waktunya sudah sangat dekat?

"Jadi bagaimana, Mas Permana? Nak Pras? Kami sekeluarga sangat menyesal dengan kejadian ini. Saya sudah membujuk Rani, tapi anak itu keras kepala," ada kegeraman dalam suara Ayah, juga rasa malu karena kelakuan Rani.

"Bagaimana, Pras? Kamu yang menjalani," suara Pak Permana yang berat menggema di telingaku. Aku hanya bisa pasrah menunggu keputusan laki-laki calon pengantin.

"Pras setuju, Pa," terdengar helaan lega dari Pak Permana dan Ayah, juga Ibu dan istri Pak Permana.

"Syukurlah kalau kamu setuju. Kita jadi besanan Wis," Pak Permana tersenyum menepuk bahu ayah.

Kutundukkan kepalaku makin dalam. Mungkin ini saatnya aku mengikuti nasehat ibu, bahwa bahagia atau tidak hidup kita, kita sendiri yang menentukan. Jadi kebahagiaanku, aku sendiri yang akan menentukannya.

=====*=====

Perkenalanku dengan Prasangga Permana sangat singkat. Kami hanya sempat berbincang sebentar. Ia bertanya beberapa hal yang umum. Aku hanya menjawab seadanya. Setelahnya, kami tidak bertemu lagi.

Hari ini, hari dimana pernikahan itu diadakan. Aku sudah siap dengan gaun dan segala atribut yang melekat di tubuhku.

Mas Pras, begitu aku memanggilnya, tampak berdiri tegap disampingku. Wajahnya datar tidak menyiratkan apapun yang bisa kubaca dari sana.

Rani terlihat berdiri di kejauhan memandang kearah kami. Kulirik Mas Pras. Sorot matanya tampak dingin dan mengeras.

Aku menunduk, menyembunyikan perasaan yang sulit untuk kuungkap.

Di sampingku, berdiri laki-laki yang baru saja mengucapkan janji pernikahan denganku, sedang menatap adikku yang berdiri di kejauhan juga menatap ke arah suamiku.

Setiap detiknya, aku hanya bisa merapalkan ucapan ibu. Aku sendiri yang akan menentukan kebahagiaanku!

To Be Continued...

Hai.... aku pernah mempublish cerita ini di watty...
Yup.... dikumpulan one shoot ku yang pernah di hapus watty....
It's okay.... aku sudah back up cerita ini kok.... hehehe....

Makasih buat readers yang udah men-support ku....

I love you all....

Love,
Lianfand 😘

SUBSTITUTE BRIDE (Sudah Terbit di Google Play Books)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang