Musim semi yang segar adalah favoritku. Bunga-bunga sakura itu terlihat indah, apalagi saat mereka terbang mengikuti arus angin. Di taman ini kau bisa melakukan apapun dengan suasana harmoni akan indahnya alam. Sangat beda sekali dengan asalku.
Memang sih di sana juga indah, namun ada saja orang-orang yang malah merusaknya. Menginjak tanaman, buang sampah sesukanya, bahkan mencurinya. Mantap, kan? Aku merasa kalau beruntung sekali bisa di tempat ini.
"Shot! Hey, Shot!" kampret, bocah ini memang minta dihajar.
"Shot, aku pu—"
Dia terdiam setelah aku mencekik kerah bajunya. Bagaimana aku tidak kesal kalau dia sering memanggilku dengan nama itu?
"Aku sudah bilang kepadamu untuk memanggilku dengan nama yang benar!"
"Hehehe, soalnya lebih akrab. Nnngg.....siapa namamu?"
Ta*! Menjadi gaijin itu sangat susah sekali di negeri sakura. Apalagi kalau sebuah nama terdengar sangat asing. Memang hanya marga saja, tapi tetap saja tidak sopan kalau memang tidak dikenal dan mempermainkannya.
Aku masih di posisi mencekik, sangat menarik untuk melakukannya. Kuangkat dia dengan kekuatan superku...
"Namaku.....SHO RIANTO!!"
BAAAAMMM!
Bantingan tadi pasti sakit. Seharusnya begitu, tapi aku sering menyiksa dia karena memanggil namaku dengan tidak benar. Ini adalah salahku kalau dirinya menjadi kebal siksaan dan sekarang hidupnya menjadi masokis.
"Hahahahaha, nikmatnya!"
"Sangat kecewa aku memiliki teman sepertimu, Akira."
Baginya bantingan itu sama seperti terjun bebas ke trampolin luas. Mungkin pukulan keras petinju profesional hanyalah pijatan refleksi. Aku tahu tentang marga dan biasanya orang Jepang sering memanggil marganya saat pertama kali bertemu. Bodohnya, dia langsung memanggil namaku...tidak masalah sih menurutku. Marganya hanya dikutip huruf 'T' saja. Aku pasti kesal dong, nama pemberian yang berharga malah dipermainkan. Pemberinya tidak berharga bagiku.
Dan pertemuan pertamaku dengan Akira adalah meninjunya. Di koridor, dia meneriakan 'Shot' berkali-kali. Aku tidak tahu dia memanggil siapa, sedangkan koridor saat itu sepi. Tersadarlah kalau dia sebenarnya memanggilku saat meneriakan nama lengkapku. Baj*ngan nih anak.
Bukannya tobat, dia terus saja memanggilku dengan seperti itu. Hantaman, bantingan, tendangan, dan siksaan lain aku lemparkan padanya. Terciptalah manusia idiot masokis seperti sekarang, Sato Akira.
"Tapi kamu masih berteman denganku," ketus Akira.
"Ka-karena kamu sering memanggilku. Apa yang bisa kuperbuat? Kamu mau apa?"
"Aku punya cerita bagus untukmu. Okami adalah serigala dalam Bahasa Jepang, namun ada kanji lain yang pelafalan sama namun artinya adalah Dewa. Karena dari penyebutan sama, kami biasanya bilang kalau ada yang namanya Dewa Serigala. Sebenarnya dia bukan Dewa, ada yang menyebutnya siluman, ada pula yang menyebutnya utusan Dewa."
"Kenapa kamu memberitahuku?"
"Karena ada serigala yang berkeliaran akhir-akhir ini. Dia memiliki ekor lebih dari satu dan berkeliaran di sekitar kota ini."
Hah? Serigala berekor lebih dari satu? Apa seperti anime yang sering muncul saat aku di Indonesia? Siluman atau utusan Dewa, kemungkinan dia bisa berubah menjadi seperti manusia. Beberapa film kan seperti itu, harusnya kasus ini juga sama. Tidak biasanya dia ngomong normal. Atau jangan-jangan dia berkhayal saja pada diriku? Mungkin ini seperti rumor atau dogeng sebelum tidur. Here we are, Kyoto. Cerita itu pasti memang cocok buat tempat yang segar dan alami seperti Kyoto.
KAMU SEDANG MEMBACA
We're Wolf, Desu!
Kurt AdamOokami dalam arti dewa atau Ookami dalam arti serigala? Apa bisa disebut keduanya? Semenjak kehadiran gadis serigala di depan mata Sho, banyak hal terjadi dalam kehidupannya. Siapakah gadis ini? Kenapa dia ada di dunia ini? Dan kenapa hanya Sho saja...