SEMBILAN

35.8K 2.3K 21
                                    

Suara berisik mengusik hingga membuatku membuka mata. Namun, suara itu tiba-tiba hilang. Berganti dengan suara serangga dan burung di alam bebas. Aku mengerjap dan menajamkan telingaku. Hanya kegelapan dan aku benar-benar hanya mendengar nyanyian alam. Aku kembali memejamkan mata. Menangispun rasanya tak kuasa ketika aku menyadari tengah berada di lubang pohon.

Kepalaku berdenyut nyeri. Rasa sesak mulai mendesak ketika kuhirup aroma tanah yang disiram oleh air hujan. Beberapa lukaku kembali terasa perih. Sekujur tubuhku susah sekali kugerakkan. Meskipun demikian, aku masih bisa merasakan dekapan Bagas.

Aku tersentak karena udara dingin menyerangku. Suara rintihan keluar dari mulutku. Tubuhku menggigil hebat.

"Maudy, sudah pagi. Kita bisa keluar dari lubang ini." Suara berat Bagas terdengar samar-samar bagiku.

"Maudy?" panggilnya lagi dengan nada lebih keras.

Aku masih tak menghiraukannya. Tubuhku tak kuasa diterpa rasa dingin. Mataku sulit terbuka karena kepala ini begitu pening. Aku hanya bisa merintih.

"Maudy!" Bagas mengguncang tubuhku. Dia melepaskan pelukannya dan kudengar suara erangannya. Tubuh Bagas terasa bergerak di sampingku. Tak lama aku merasakan kekosongan.

"Maudy, ayo!" serunya.

Aku merasakan tubuhku ditarik oleh Bagas. Sempat kulihat tubuhku keluar dari lubang pohon. Kupejamkan mata lagi dan kurasakan wajahku menempel di tubuhnya.

"Maudy ... Maudy!" Bagas memanggil dengan menepuk-nepuk pipiku.

Rintihanku semakin terdengar. "Di ... ngin." Aku berusaha menyampaikan apa yang kurasa. Tubuhku didekap oleh Bagas, tetapi hal itu tidak membantu sama sekali. Kini aku merasa melayang dalam gendongannya.

Aku tak tahu Bagas membawaku ke mana. Masih dengan memejamkan mata, aku merasakan dia merebahkanku di tanah yang tertutup dedaunan karena aku bisa mendengar suara gemerisik. Tubuhku semakin menggigil, napasku sesak, kepalaku pusing tak terkira. Aku semakin mati rasa, sementara aku tak tahu Bagas sedang apa.

"Aku harus melakukan ini, Dy." Suara Bagas menandakan dia masih berada di dekatku.

Tak lama, kurasakan kedua tangannya menyingkap kausku. Aku mengerang dan mencoba mempertahankannya, tetapi dia lebih kuat hingga kurasakan kaus terlepas dari tubuhku. Aku semakin merasa kedinginan dan refleks menekuk lutut ke dadaku. Karena aku berbaring miring, Bagas leluasa meraba dan melepaskan tali pengikat halter neck-ku di punggung dan leher.

"Kemari," katanya.

Bagas membalikkan tubuhku hingga aku telentang. Dia memaksa untuk menyingkirkan kedua tanganku kemudian menanggalkan halter neck-ku. Protesku yang terdengar seperti erangan tak dipedulikannya. Dia membawaku ke dalam dekapannya.

Diselimuti rasa dingin yang tak terkira, aku meronta menjauhkan tubuhku yang kurasa ada di atas tubuhnya. Bagas menutup punggungku dengan kain kemudian kembali mendekapku dengan erat. Aku merasakan gesekan kulit saat tubuh kami saling menempel. Mata ini kupaksa membuka lalu aku melihat dada telanjang pria dan pipiku menempel padanya. Kesadaranku semakin melemah akhirnya aku kembali menutup mata.

***

Badanku terasa pegal dan mataku dipaksa membuka karena seakan disinari cahaya. Aku mengerjap, menggerakan tubuhku dan kudapatkan rasa perih di mana-mana. Mulutku mengeluarkan rintihan karena tubuhku semakin nyeri saja.

Tangan kanan Bagas membelai rambutku. "Sudah tidak dingin lagi?" tanya pria itu.

Napasku tercekat ketika aku menyadari bahwa aku telungkup di atas tubuhnya yang telentang. Aku menjauhkan tubuhku dan semakin terkejut ketika mendapati bagian tubuh atasku hanya memakai bra. Mataku kembali menatap Bagas yang bertelanjang dada.

Bagas bangun dari posisinya lalu beringsut mundur. "Kamu kedinginan dan hanya itu caranya." Dia berkata seakan tahu bahwa aku sedang meminta penjelasan mengapa kita berdua setengah telanjang.

Ini konyol sekali! Pasti ada cara lain untuk menolongku. Tidak segila ini. Seenaknya saja dia menyatukan tubuh kami. Menjijikan!

Lebih menyebalkan lagi karena sekarang, pria itu dengan santainya berdiri dan memungut pakaiannya sendiri. Dia kembali mengenakannnya dengan acuh tak acuh, seolah tak ada yang terjadi. Kenapa aku merasa seperti wanita murahan yang telah ia tiduri? Dasar sialan!

"Kamu 'kan cukup pinjemin aku baju," tegurku.

Bagas selesai mengancingi baju seragamnya. Dia kembali menatapku dan menjawab, " Kamu tahu bajuku tidak akan menghangatkanmu." Dia berjalan memungut ransel dan memeriksa isinya.

Saat ini juga aku ingin melempar Bagas dengan batu karena kata-katanya itu. Aku menghembuskan napas dan mencoba mengendalikan emosiku. Energiku harus dihemat karena perjalanan ke pengungsian masih jauh. Aku tidak boleh mati berdiri karena sikap pria tak waras itu.

Kepalaku mendongak. Wilayah hutan ini hampir seluruhnya tertutup oleh pepohonan yang rindang. Namun, tempatku duduk saat ini agak jauh dari pepohonan hingga mendapatkan sinar matahari. Aku memejamkan mata dan merasakan hangatnya sinar matahari memandikan tubuhku.

Aku ingat saat di lubang pohon tadi, aku menggigil kedinginan. Bagas menggendong dan merebahkanku di tempat ini yang mendapatkan cukup sinar matahari. Aku tahu tentang teori tubuh yang dapat menghantarkan panas. Mungkin sebaiknya aku tidak terlalu marah pada Bagas karena dia hanya bermaksud menolongku. Setidaknya dia hanya melepas baju atasanku.

Mataku terbuka karena aku merasa ditutupi bayangan seseorang. Bagas berdiri di hadapanku dengan ransel yang sudah di punggungnya. Aku tak dapat melihat wajahnya dengan baik karena sinar matahari di belakang kepalanya cukup menyilaukan.

"Kamu masih mau berjemur di sini?" Setelah mengatakannya diapun berlalu.

Aku menunduk dan kembali terkejut ketika melihat payudaraku menyembul keluar dari bra-ku. Kenapa aku tak segera memakai baju? Ya Tuhan, aku malu!

***

19 Jan 2017

Kilas RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang