Molekul 1 : Prolog

142 6 0
                                    


—Lorong panjang seperti tanpa ujung itu tidak disinari cahaya. Semuanya hitam dan sunyi.

Seorang pemuda berambut hitam kelam berlari menelusuri lorong itu dan berpacu dengan waktu. Ia terus berlari walaupun jalan yang dilaluinya masih diliputi gelap dan pengap. Ia berhenti sejenak untuk mengatur napas. Sampai kepalanya terangkat dan sepasang mata kelabunya melihat setitik cahaya di depannya.

Pemuda itu mempercepat langkahnya menuju sumber cahaya itu. Namun saat ia mendekat, cahaya itu meredup lalu lenyap ditelan hitam. Beberapa saat kemudian, petir menyambar tubuhnya dan membuat pergerakannya kaku. Kilat pun berganti dengan gelap, dan sayup-sayup terdengar bisikan di telinganya.

"Matahari merupakan poros kehidupan. Kamu harus berhati-hati dalam melangkah, Hanif Qalb."

.

.

.

Kedua mata kelabu Hanif terbuka sempurna. Wajahnya banjir keringat, napasnya tersengal-sengal. Setelah ia berhasil mengatur napasnya, ia meraba ponsel dalam kegelapan. Layar benda persegi yang supertipis itu masih menunjukkan waktu tiga dini hari.

Ini sudah kelima kalinya ia bermimpi seperti itu, dan bisikan itu masih terus menggaung di dalam kepalanya. Karena mimpi itu, ia selalu terbangun di sepertiga malam.

Hanif beranjak dari tempat tidurnya. Jarinya menekan stop kontak satu lampu kamar. Cahaya berwarna putih terpantul cukup redup. Ia kembali menggulung diri dalam selimut. Lampu dibiarkan menyala untuk menjaganya agar tetap sadar dalam mimpi.

—Namun seperti malam sebelumnya, ia gagal melanjutkan mimpi itu dan terbangun lagi pukul lima pagi.

.

.

.

Hanif merapikan thawb hitam yang dikenakannya. Ada bagian yang sedikit kusut setelah ia duduk selama dua jam. Rapat pertemuan antara pihak kerajaan dengan badan legislatif baru saja selesai diikutinya. Seorang pria berpangkat perdana menteri mendekatinya dan membungkuk sedikit sebelum menyampaikan pesan.

"Pangeran Hanif, tadi ada pesan dari Yang Mulia untuk menemui beliau di ruangannya."

Setelah mengucapkan terima kasih, Hanif melangkahkan kakinya ke ruang kerja ayahnya. Ia mengetuk pelan pintu bertuliskan kaligrafi 'Umar Qalb' sebelum memasuki ruang kerja itu. Sosok ayahnya sedang duduk di atas sofa merah marun. Hanif membungkuk hormat kepada pria itu, lalu duduk di sampingnya.

"Apa besok kamu sudah siap?" tanya pria itu.

Hanif mengangguk sekali. "Tentu saja aku akan menyiapkan diriku untuk besok, Ayah." jawabnya sopan.

"Termasuk berkenalan dengan perwakilan pengendali elemen?"

"Tentu saja, Ayah."

Umar tersenyum tipis. "Kalau begitu, setelah rapat pertemuan di aula, kamu harus bertemu dengan keempat pangeran dari kubu elemen yang berbeda dan memulai pertemanan dengan mereka."

Alis Hanif terangkat sebelah. "Untuk apa, Ayah?"

"Kalian berlima akan ditugaskan ke bumi. Detailnya akan dijelaskan besok."

"Mereka berempat itu siapa?"

"Besok kamu akan mengenal mereka."

Hanif menatap bingung Umar. Sang Raja memang selalu menggoda dirinya untuk membaca pikirannya. Namun sedekat apapun jarak Sang Ayah dengannya, Hanif tidak pernah bisa membaca pikiran ayahnya.

Lima Pangeran : AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang