Apa yang kulakukan di sini? Apa aku benar-benar harus masuk?
Sampai detik terakhir pun sebenarnya aku masih ragu untuk masuk ke dalam. Entah sudah berapa lama aku mematung di depan restoran ini. Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian menghebuskannya perlahan, berkata dalam hati, tenanglah Natsumi-chan, mereka sudah berubah.
Begitu pula denganmu.
Hari sudah gelap. Sudah waktunya. Aku melihat-lihat ke sekitar, memastikan bahwa memang inilah tempat yang dijanjikan. Di depan pintu masuk, tepat di sebelah kanan tempat ku berdiri, terdapat papan berlampu yang menunjukan nama restoran ini. Kubaca nama restoran itu beberapa kali. Hmm, ya kurasa inilah tempatnya. Restoran Yakiniku sederhana di pinggiran Ginza.
18 tahun aku tinggal di Tokyo, dan aku mengenal Ginza seperti aku mengenal sudut-sudut rumahku sendiri, tapi aku tidak pernah tahu ada restoran yakiniku seperti ini di Ginza. Apa tempat ini baru dibuka setelah aku meninggalkan Tokyo? Hmm, kurasa tidak, tempat ini terlihat terlalu tua untuk restoran yang baru dibuka lima tahun terakhir. Bukan hanya eksterior-nya yang terlihat tua, tetapi lokasinya pun bukanlah lokasi yang strategis untuk membuka sebuah restoran. Untuk sampai ke tempai ini saja aku harus melewati gang-gang kecil di antara gedung-gedung di pusat Ginza. Sampai akhirnya, tibalah aku di kompleks pertokoan yang jauh dari hiruk pikuk Ginza.
Aku cukup terkejut Ginza masih punya sisi tenang seperti ini. Selain restoran yakiniku tempatku sekarang berdiri, di kompeks pertokoan ini juga terdapat Izakaya tempat orang minum-minum setelah bekerja seharian, sushi bar yang juga terlihat masih bernuansa tradisional, sampai tempat pachinko yang mulai kehilangan penggunjung. Dan kesemua tempat itu menggambarkan keadaan yang sama; tua, sederhana, sepi, tetapi terasa tenang dan nyaman. Seperti menutup diri dari pesatnya perkembangan Ginza. Seperti tidak ingin berbaur dalam hiruk-pikuk kota yang mengancam zona nyaman dalam dirinya. Seperti diriku yang dulu.
Aku penasaran siapa yang menemukan tempat ini dan memilihnya sebagai tempat reuni kami malam ini.
Seminggu yang lalu sebuah surat sampai ke rumahku. Sebuah surat yang di bagian depannya bertuliskan; untuk Shiraishi Natsumi ... Sebuah undangan reuni SMA ... untukku.
Aku mengernyitkan dahi, tidak mengerti. Kenapa mereka mengirimkan undangan reuni ini tepat di hari pertamaku menginjakan kaki di Tokyo setelah lima tahun? Kukira mereka sudah pernah mengadakannya saat aku di tinggal Jakarta. Atau, tidak bisakah mereka mengadakannya setelah aku kembali ke Jakarta lagi? Aku menghela napas. Sungguh sebuah kebetulan yang tidak diharapkan.
Setelah lima tahun di Jakara untuk kuliah, kupikir sebaiknya aku pulang pada libur semester kali ini. Rasanya rindu juga dengan rumah. Sebenarnya, aku tidak punya rencana apapun untuk menghabisakan liburanku. Aku hanya ingin di rumah, bersantai, dan mungkin sesekali mengunjungi tempat-tempat yang dulu sering kukunjungi.
Selama di Jakarta aku tidak pernah berhubungan dengan teman-temanku di Tokyo. Baiklah kuakui, aku memang tidak memiliki banyak teman saat sekolah dulu. Aku bukanlah orang yang pandai bergaul dengan teman sekelasku. Mereka mengatakan bahwa aku terlalu tertutup. Mereka tidak menjauhiku, hanya saja mereka juga tidak mendekatiku. Saat itu mungkin yang benar-benar bisa kuanggap sebagai teman hanya satu orang.
Dan hal itulah yang membuatku ragu untuk datang ke reuni malam ini; hubunganku dengan teman-teman sekelas dan hubunganku dengan 'Dia.'
Bahkan sampai pagi inipun, sebenarnya aku masih enggan untuk datang. Kalau saja ibu tidak memintaku untuk datang –dengan alasa-alasnnya yang tidak bias kusangkal– mungkin aku tidak akan sampai ke restoran yakiniku ini.
"Kau akan datang ke reuni malam ini, kan?" tanya ibuku sambil menyiapkan sarapan di meja makan.
"Sepertinya tidak, ibu tahu sendiri, kan, hubunganku dengan mereka tidak terlalu baik," jawabku sambil bertopang dagu di meja makan.
Ibu menggeser kursi lalu duduk di hadapanku. "Bukankah kau pernah bilang kalau kau sudah berubah? Kau juga bilang kalau kau sudah belajar tentang hal ini saat di Indonesia." Ia tersenyum, "bagaimana jika memulainya lagi dari awal?"
Ibu benar. Saat di Jakarta aku belajar banyak tentang pentingnya suatu hubungan, tentang kepedulian, juga tentang betapa menyenangkannya memiliki banyak teman. Semuanya kupelajari dari orang-orang Indonesia yang terkenal karena keramahannya. Dan ya, kuakui mereka memang benar-benar baik.
Saat awal kuliah di Jakarta, banyak hal yang tidak kuketahui tentang Indonesia. Tetapi teman-teman sekelasku dengan senang hati memberitahuku banyak hal tentang Indenesia, mulai dari hal yang penting, sampai yang konyol. Bahkan ketika mereka tahu aku dalam kesulitan, mereka dengan senang hati akan membantuku tanpa diminta.
Seperti kata mereka, kebaikan itu menular. Semakin banyak aku menerima kebaikan, semakin banyak pula aku ingin melakukan hal yang sama. Hingga akhirnya aku mulai membuka diri dan mengerti betapa pentingnya sebuah hubungan. Jadi kurasa ibu benar, tidak ada salahnya jika aku juga memperbaiki hubungan dengan teman-temanku di sini.
Baiklah, kurasa aku siap masuk ke dalam. Lagipula terlalu lama di luar bisa membuatku beku.
Aku sedikit menarik topi rajut yang kugunakan, membiarkan rambut coklatku yang menggantung di leher tertutup setengahnya. Kemudian tangan kananku menyapu bekas-bekas air hujan yang membasahi mantelku. Dan untuk terakhir kalinya, kuyakinkan diriku bahwa semuanya telah berubah. Tidak ada yang istimewa dari hari ini. Ini hanya sebuah reuni SMA, begitu hari ini berakhir, semua akan kembali seperti semula. Aku hanya perlu masuk ke dalam dan semua akan baik-baik saja.
Jika aku mulai merasa tidak nyaman, aku tinggal mencari alasan untuk meninggalkan tempat ini. Hmm apa sebaiknya aku menyiapkan alasa itu sebelum masuk ke dalam ya?
Oh, tidak, tidak! Bukan begitu Natsumi-chan! Kau datang ke sini bukan untuk itu. Kau ke sini untuk memperbaiki hubunganmu dengan mereka. Aarrgghh lagi-lagi aku mulai berdebat dengan diriku sendiri.
Sekali lagi, kutarik napas dalam-dalam, kemudian kuhembuskan perlahan.
Hanya butuh dua langkah kecil, aku sudah benar-benar berada di depan pintu masuk restoran itu. Kuraih pegangan pintu dari kayu itu. Tetapi, sebelum aku benar-benar membukanya, pintu itu sudah bergeser dengan sendirinya. Seseorang membukannya dari dalam.
Untuk beberapa saat orang itu terdiam di seberang pintu. Sepertinya aku menghalangi jalan keluarnya.
"Oh, Natsumi, ya." Suara itu terdengar datar.
Ehh, tunggu dulu, dia mengenalku?
Kuperhatikan orang yang berada di depanku itu. Ia seorang pria bertubuh tinggi dan tegap. Aku tidak dapat memperkirakan apakah ia bertubuh kurus atau gemuk, karena tubuhnya dibalut jaket tebal berwarna hitam, lengkap dengan syal yang sangat cocok dikenakan pada musim dingin seperti sekarang ini. Rambutnya hitam dan agak panjang, tetapi belum termasuk gondrong. Matanya yang hitam pekat dipayungi alis yang tebal dan sama hitamnya.
Mata hitam laki-laki itu mengingatkanku pada dirinya. Mata hitam yang pada awalnya kupikir sangat tajam dan dingin. Tapi ternyata setelah menganalnya, tatapan itu justru terlihat tenang, juga menenangkan. "Daichi?"
Nakamura Daichi. Dialah penyebab lainnya mengapa aku ragu untuk datang. Dia juga yang membuatku membulatkan tekad untuk terbang ribuan mil meninggalkan Jepang menuju Indonesia.
"Emm kau mau masuk ke dalam kan?" tanya Daichi. "Karena... Sepertinya kau menghalangi pintunya."
Suara Daichi menyadarkanku dari lamunanku. "Ehh, maaf." Dengan cepat aku bergeser sedikit untuk memberinya jalan keluar.
"Baiklah." Daichi melangkah melewatiku, kemudian ia sedikit menengok ke belakang, "Sampai jumpa."
Apa? Dia bilang apa barusan? Sampai jumpa? Apa aku salah dengar? Dia tidak mengatakan 'mata ne.' Tapi 'Sampai jumpa.' SAMPAI JUMPA. Ya, dalam Bahasa Indonesia.
Seperti waktu itu.
Daichi?
Kupikir segalanya telah berubah. Tapi ternyata ada satu hal yang tidak berubah. Setelah semua tahun-tahun yang kulalui, entah mengapa dadaku masih debar-debar ketika berhadapan dengannya.
Tidak, tidak, ini tidak benar. Ini semua salah.
KAMU SEDANG MEMBACA
[COMPLETE] Even after all these years
Romance[TELAH TERBIT BERSAMA PENERBIT KORU - MARET 2019] Bagi Natsumi, keputusan untuk pulang ke Tokyo, berarti keputusan untuk berdamai dengan masa lalunya. Masa lalu apa? Oh, Natsumi benci membicarakannya. Sekarang, ia hanya berharap kalau semuanya...