Bab. 9

41 1 0
                                    

Senja duduk di lapangan kompleks perumahannya, selesai bermain dengan ring dan bola basket yang ia temukan di pinggir lapangan.
Tubuhnya berkeringat, pakaiannya begitu basah meski ia bermain sendirian.
Senja memang tidak terlalu cinta pada permainan bola oranye ini, namun ia suka sekali menghabiskan waktu senggangnya untuk sekadar bermain basket ataupun melakukan berbagai macam olahraga yang dapat mengeluarkan keringat. Pokoknya, yang bisa membakar kalori dalam tubuh yang beresiko membuatmu gemuk.
"Cih, sok-sok an main basket lo, cil." Niko berjalan ke arahnya sembari membawakan sebotol minuman untuk Senja.
"Nggak boleh?"
"Nggak. Ayo pulang!" Lalu Niko berbalik dan pergi menjauhinya.
Senja membasahi tubuhnya dengan air yang diberikan Niko, kemudian meminum sebagian airnya, kemudian mencuci kakinya di keran yang ada di pinggir lapangan. Senja berlari menyusul Niko dan berusaha menjajari langkahnya.
"Kenapa kakak tiba-tiba datangin aku?" tanya Senja sambil menatap ke arah depan.
"Barusan Angga ke rumah"
YAH!!!
Rasanya ada ribuan duri yang menancap di sekujur tubuhnya dan membuatnya kesulitan bergerak ataupun merasakan sakitnya, bernafas pun terasa sulit.
"Terus?"
"Dia nyari kamu, dia bilang mau ngomong penting. Tapi gue bilang, lo nggak ada di rumah; lagi pergi sama Ara."
"Terus?"
"Ya, intinya gitu sih. Terus dianya pergi kok."
"Terus?"
"Terus dia bilang cinta ke gue, mentok ke gue kan dia."
"Ih, Kak Niko! Nggak lucu!"
"Ya, emang udah gitu doang. Lo malah tanya 'terus' mulu."
"Terus aku harus apa? Nelpon dia gitu? Ogah dih."
"Mandi sana! Bau ketek gitu deket-deket gue" Niko membuka pintu sesampainya mereka di rumah, lalu ia merebahkan diri di sofa ruang keluarga.
"Nih, ketek; nih, ketek! Wangi mawar, kan?" Kata Senja sambil mengangkat tangannya ke arah wajah Niko lalu berlari ke kamar mandi.
"TAI LO! BESOK LO BAKAL NAIK BIS PP! GUE GAMAU TAU!"
"LOVE YOU, NIKO ARDIARTA." Teriak Senja sebelum menutup pintu kamar mandi sambil cekikikan.
"Hmm aja deh, cil."
                         ******
Sial, Angga lagi.
Angga mau apa lagi sih?
"Aku mau ngomong sama kamu, ini penting, please!"
"Ih, jangan kayak mau rapat paripurna deh, Ngga." Senja merebahkan dirinya di atas kasur, berguling-guling di atasnya sambil memegang ponselnya.
"Nja, lo nggak tau; ini bener-bener penting buat lo."
"Oke, gini-gini, kenapa waktu itu lo ngebentak-bentak gue?"
"Nja---"
"Who's it?"
"A..ku. Tapi---"
"So, ya udah lah. Gue butuh waktu untuk berpikir."
"Nja, aku cuma pengen ngomong penting sama kamu, aku butuh kejelasan tentang semua yang gue liat. Gue pengen ketemu sama lo"
"Apa yang lo liat? Penjelasan apa? Lewat telpon bisa, kan?"
"Nja, dengerin dulu."
"Please, Ngga. Lo maunya apa? Lo butuh apa? Nggak usah pake basa-basi, deh."
"Iya, baiklah. Tapi---"
"Tell me now, or never!"
"Senja, gue---"
"Dah, gue mau makan malam."
"Tadi katanya abis makan malam sama bunda?"
"Ya, gue mau makan somay. Emang salah?"
"Tapi, lo bilang tadi abang somay di depan kompleks rumah lo lagi sakit."
"Ya elah, kakaknya abang somay kan dagang sate. Nah, kadang abangnya juga jualan somay."
"Nja, lo bo---"
Klik.
Setelah Senja memutuskan telponnya, ia melempar ponsrlnya ke meja di samping kasurnya.
Gue yang butuh penjelasan, kenapa lo yang malah minta penjelasan, sih?
Pemikiran itu membayangi hati dan otak Senja. Sosok Angga pun tiba-tiba muncul di benaknya dan mengingatnya pada saat Angga meminta untuk menjadi pacarnya di taman belakang sekolah. Waktu itu, Senja masih kelas 2 SMP, sedangkan Angga sudah kelas 3 SMP, lalu setelah Angga lulus dan melanjutkan di SMA Kusuma Bangsa, maka Senja pun mengikuti kemanapun Angga bersekolah. Dan disinilah mereka. Satu sekolah, berbeda generasi.
Move on. Kata yang paling suram dalam kosakata Senja yang seakan dapat membuat sebagian dari sistem kerja  syarafnya melambat dan mungkin saja berhenti seketika.
Teruntuk lagi Angga, cinta pertamanya -yang sebenarnya ia tak yakin dia yang pertama atau kedua, atau ketiga- yang bagi elektron yang mengikat dan mengontrol kendali dirinya untuk selama ini tak henti-hentinya mencintai cowo tersebut tanpa kenal lelah ataupun letih. Terus saja begitu, berputar dan berakhir mentok disitu lagi.
                      ******
Hujan masih saja berkutat pada buku latihan soal UN SMA miliknya, mengutak-atik berbagai cara agar mendapatkan jawaban yang tepat atas soal yang dikerjakannnya. Sesekali ia melirik ke arah ponselnya yang dingin dan gelap. Setelah berpikir beberapa kali, ia memutuskan untuk menutup bukunya dan berniat untuk menelpon seseorang. Setelah dua kali nada sambung berbunyi, telponnya diangkat.
"Halo? Kay?"
"Ya, Halo? Dengan siapa disana?"
"Ini aku, Satria."
"Oh, Sat? Ada apa?"
"Besok lo ada acara?"
"Nggak. Gue besok di rumah."
"Gak niat buat pergi ke mana-mana, kan?"
"Enggak kok."
"Besok gue ke rumah lo, ya?"
"Gue bakal siapin cheese cake buat lo."
"Sip."

*Bonus foto??? Hmm leh uga:vvv ITU DEH, BONUS FOTONYA ABANG HUJAN KU SAYANG!!! LUVLUV YA?!!:3333
Mario Maurer as visual Hujan Satria Dirgantara

HUJAN DAN SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang