Senja berjalan gontai dari kelasnya, ditinggal Leoni dan Ara yang daritadi sudah pulang karena ingin mampir ke toko hadiah untuk membelikan kado bagi kembaran Leoni. Ya, memang selama ini Leoni memiliki saudara kembar laki-laki yang bernama Leon. Mereka hanya terpaut waktu saat proses kelahiran dan karena Leon keluar duluan, maka Leon-lah yang lebih tua. Senja berjalan sambil menunduk, memerhatikan sepatunya menapaki semen lapangan dan konblok menuju gerbang. Di depan gerbang, ia melihat bus tujuannya sudah nangkring di halte sekolah dan segera akan beranjak dari sana. Ia berlari secepatnya yang ia bisa, namun semua terlambat sudah.
"Sial." Senja menempelkan wajahnya di tiang halte. Ia mendengus, lalu memutuskan untuk duduk di bangku yang tersedia disana. Senja mengecek ponselnya lalu membuka aplikasi obrolan miliknya dan ketiga temannya. Sesekali ia tertawa saat membaca pesan yang dikirimkan teman-temannya.
"Hati-hati kesambet mak lampir di halte."
Suara itu mengagetkan Senja dan sontak membuatnya menoleh ke arah suara berasal. Ternyata suara itu berasal dari seseorang lelaki tinggi dan berseragam sama persis dengannya, dan yang tak lain adalah Hujan.
"Lo kenapa natap gue kayak natap setan?"
"Sorry, gue kaget aja."
"Tapi kalo kaget nggak usah pake melotot kenapa."
"Masalah buat lo?"
"Nggak penting buat gue," kata Hujan santai sambil duduk di sebelah Senja dan menatap lurus ke depan.
"Bagus!"
Hening. Setelah itu, keduanya tak ada yang berbicara dan mereka saling asyik dengan ponsel masing-masing. Tak lama menjelang, bus tiba tepat dihadapan mereka, lalu mereka naik berbarengan sehingga merekapun saling terhimpit di pintu masuk.
Senja mendecak. "Minggir lo"
Hujan membiarkan Senja masuk terlebih dahulu kemudian ia mengikuti.
"Mana ongkosnya?" Abang kenek menengadahkan tangannya meminta bayaran, tapi tampangnya terlihat seperti ingin memalak.
Senja mendengus saat ia mengecek dompet di tasnya namun tak ada satupun uang di dalamnya.
"Bang, nih sekalian kita berdua," Hujan menyodorkan sepuluh ribuan pada abang kenek lalu dia memberikan kembalian pada Hujan.
"Dih, naik bus aja nggak bawa uang."
"Bawel lo."
"Dasar nggak tau terimakasih, udah dibayarin aja malah ngatain."
"Lo nggak ikhlas? Besok gue ganti dua kali lipat---"
"Nggak usah, nggak perlu."
"Yaudah. Terserah!" Senja turun di pemberhentiannya dan bergegas menuju rumahnya sebelum matahari terbenam di peraduan dan menyapa malam.
******
Hujan terlentang, berbaring di atas kasur berukuran besar dengan warna putih sambil memejamkan matanya. Terlintas bayang-bayang anak perempuan di benaknya. Cara dia tersenyum; memperlihatkan lesung pipitnya yang berlekuk dan gingsulnya yang manis, menatap kosong ke arah jendela bus, saat terhimpit dengannya di pintu masuk, dan caranya menatap Hujan yang menurutnya penuh gelora dan ketidakmengertian dirinya akan gadis itu.
Hujan tidak tahu mengapa ia memikirkan gadis itu, tapi tiba-tiba saja ia tertawa.
Dasar bego. Payah.
Baru saja Hujan memiringkan kepalanya ke kanan, ponselnya bergetar pertanda ada pesan masuk.
From: Arga
"My beb, Ujan, becok pagi dedek boleh numpang liat soal fisikanya? Cekalian jawaban juga ya, say. Mumumu---"
To: Arga
Dasat jablay lo, Ar. Ginian aja lo sms gue pake 'sayang-sayang'
Setelah membalas pesan Arga, Hujan langsung membuka laptopnya dan mengetikkan sebuah puisi di dalamnya. Dia terus saja mengingat-ingat setiap kejadian yang baru saja ia alami, semua yang ia rasakan, dan pernyataan yang akan membuat dirinya sendiri bertanya-tanya akan makna tulisannya.Untuk Nona Halte
Berlari.
Aku berlari lagi
Mengejarmu penuh ekplanasi
Terus berusaha menggapaimu dan mengeksploitasi
Terpaku.
Terpekur kaku memandangmu
Penuh tanya, penuh liku
Ingin hati berkata syahdu
Adakah kamu yang menaungi gumpalan emosiku?
Diamlah, diam saja.
Kamu tak perlu menjauh ataupun menunggu
Kamu tak perlu terlalu lama takut akan sendumu
Tengoklah sedikit padaku,
Aku masih berlari dan terpaku pada sosok hitam bayang dirimu.
-Hujan, Lembayung Senja disini-
******
Sejak pulang dan sampai di rumah, Senja semakin menggila. Ia takut untuk menyalakan ponselnya karena ia tak ingin mengangkat telpon dari Angga. Ia ingin menjauh darinya dahulu beberapa waktu. Membiarkan otaknya berpikir tenang dan mengambil keputusan yang benar.
"Sampai kapan kamu mau gini terus?" Niko merebahkan dirinya disamping Senja yang berada di sofa ruang keluarga.
"Aku nggak tahu harus apa. Kayaknya aku mending ganti nomor aja, deh." Senja menyandarkan kepalanya di pundak Niko lalu melingkarkan tangannya ke pinggang Niko seperti anak kecil yang merengkuh pada ayahnya.
"Alay."
"Serius, Kak. Aku nggak bisa kalau ketakutanku akan bubrahnya hubunganku terus-terusan gentayangan di pikiran aku. Aku capek."
"Ya, udah sih. Kenapa nggak coba tanya penjelasannya ke Angga langsung?"
"Udah pernah, tapi, kan---"
"Apa? Ya, terserah deh. Hubungan juga hubungan lo, kenapa gue yang repot?" Niko beranjak berdiri dan berjalan menuju kamarnya.
"BUNDA! ANJA MAU GREENTEA LATTE BUATAN KAK NIKO, BUNDAAA!"
"Minta aja sama Kak Niko buatin, Nja." Suara Sarah terdengar dari arah dapur.
"KAK NIKO NGGAK MAU BUATIN, BUNDAA! JITAK AJA PALA KAK NIKO, BUN!" Senja terkekeh lalu Niko berbalik dan menatap tajam ke arahnya.
"BAWEL LO, CURUT!"
"Emang. Suka-suka gue."
Setelah Niko membuatkan permintaan Senja, Niko sesegera mungkin mengunci kamarnya untuk mengantisipasi bila Senja meminta sesuatu lagi pada dirinya. Senja beralih ke ponselnya yang bergeming di meja. Senja menghidupkan ponselnya, membuka kunci layarnya dan mengernyit, tidak ada panggilan tak terjawab satu pun dari Angga atau pesan-pesan yang biasanya hanya menyebut-nyebut namanya atau sekadar bertanya basa-basi.
Tidak ada sama sekali.
Padahal Senja mengira, ponselnya sudah penuh dengan hal-hal tersebut. Ia sampai sengaja membuat ponselnya mati dari sore tadi sampai sekarang.
Tiba-tiba Senja merasa ada sesuatu yang aneh mendorong-dorong dirinya ke jurang keputusasaan. Sekian detik setelah itu, dia merasa sesuatu yang akan membawanya dalam kehancuran. Jatuh dan tenggelam dalam duka yang akan membuka lubang hati yang tak kan terkubur oleh apapun.
Dia merasa ada sesuatu yang akan hilang dari dirinya.
Tapi ia tak tahu apa itu.*BONUS PAPNYA SENJA NIH GUYS:**** Siapakah si Nona Halte? Hehe.
Nattasha Nauljam as visual Senja Alkhaira
KAMU SEDANG MEMBACA
HUJAN DAN SENJA
Ficțiune adolescențiLangit sudah menghitam. Matahari sudah tertutup awan kelabu. Hawa dingin menyergap. Orang-orang berkata, "Wah, hujan akan turun!" Hujan. Nama itu. Namamu. Indah dihiasi rintik air yang statis membasahi tanah. Hujan. Senja Senja. Hujan. Hujan dilang...