168 14 1
                                    

“Pada suatu hari, seorang pemuda sedang berlari karena lebatnya hujan saat itu. Pemuda itu berhenti di sebuah rumah yang berada di ujung jalan itu. Hujan lebat itu membuatnya tidak bisa melihat ke sekelilingnya. Dia berteduh sejenak sambil menunggu hujan itu berhenti.
Dia menunggu, dan menunggu. Setelah beberapa jam menunggu, hujan itu tidak berhenti menetes. Tubuh pemuda itu bergetar karena kedinginan. ‘Ini bukan hujan,’ gumamnya, ‘Ini badai!’
Sesaat dia mengatakan hal itu, pintu rumah yang berada di belakangnya terbuka. Dia membalikan badannya untuk meminta maaf kepada sang pemilik rumah karena tidak izin berteduh di sana.
“Apa yang kau lakukan di luar sana? Hujan ini tidak akan berhenti sampai besok pagi!” ucap sang pemilik rumah itu. “Kenapa kau tidak masuk dan menghangatkan diri di dalam?” lanjutnya.
“Tidak usah terima kasih,” ucap pemuda yang sedang berteduh itu. “Aku baik-baik saja di sini,”
“Masuklah! Aku sedang membuat kue dan sepertinya terlalu banyak.. aku ingin kau memakannya,” ucap snag pemilik rumah. “Tidak apa-apa.. atau kau lebih memilih di luar kedinginan dan kelaparan?” lanjutnya. Apa yang dikatakan pemilik rumah ini benar sekali. Pemuda itu kedinginan, dan kelaparan. Dia juga tidak tau akan tidur dimana malam ini jika hujan lebat ini tidak berhenti.
“Baiklah, aku menerima tawaranmu itu,” ucap pemuda ini. Sang pemilik rumah membuka pintunya lebar-lebar, dan mempersilahkan pemuda itu masuk. Kedua mata pemuda ini terbuka lebar. Sejauh matanya memandang, peralatan sederhana tetapi terkesan mewah berada di mana-mana.
“Anggap saja di rumah sendiri,” ujar sang pemilik rumah sambil mengunci pintu rumahnya, lalu pergi ke dapurnya. Pemuda itu duduk di sebuah sofa yang sederhana itu. Dia bertanya kepada dirinya sendiri. Sang pemilik rumah pasti sangat kaya sehingga dapat membeli semua ini. Kedua matanya lalu berpindah kepada jendela dekat sofa itu.
Benar sekali. Hujan itu tidak ada tanda-tanda ingin berhenti. Mungkin besok pagi atau tengah hari esok. Tetapi dia memiliki pekerjaan yang harus di selesaikan. Apa yang harus dia lakukaan? Tiba-tiba sang pemilik rumah kembali dengan sebuah nampan yang berisikan satu teko teh, dua buah gelas yang berkesan elegan, dan satu piring kue kering yang menggoda selera.
“Maaf jika aku membuatmu menunggu lama,” ucap sang pemilik rumah ini. Dia meletakkan nampan itu, lalu menuang teh dari teko itu ke sebuah gelas, kemudian memberikannya kepada pemuda itu.
“Terima kasih banyak.. maaf merepotkanmu,” balas pemuda ini sambil menerima gelas yang disodorkan untuknya. Sang pemilik rumah pun menuang teh untuk dirinya sendiri. Mereka berbincang-bincang sampai larut malam. Sang pemilik rumah mempersilahkan pemuda ini untuk tidur di kamar tamu, dan meminjam pakaiannya. Sementara pakaian pemuda ini dicuci dan di keringkan.
Pemuda itu merebahkan tubuhnya di kasur itu, dan menyadari kalau hawa kantuk sudah menelannya. Sesaat dia selesai menutupi separuh tubuhnya dengan selimut, pemuda itupun langsung terlelap.
“Selamat malam, xxxx..,” ucap sebuah suara di telinganya. Pemuda itu terkejut dan ketakutan t e.t api, dia sudah tidak dapat membuka matanya. Hal berikutnya yang ia ketahui adalah, sesuatu yang dingin menusuk perutnya.

Keesokan harinya, pemuda itu tidak kelihatan lagi. Istri dan anaknya mencarinya sampai lapor kepada polisi. Beberapa hari telah berlalu, dan para polisi tidak mendapatkan jejak sedikitpun. Kasus itu di tutup, dan orang-orang telah melupakan kasus itu.

Lantas, siapa yang menculiknya? Apakah dia dibunuh? Kalau ya, dimanakah tubuh orang itu? Mengapa tidak di temukan? Lalu.. rumah di ujung jalan itu—”

“AHHHH!! HENTIKAN CERITA ITUUU!!” seru sebuah suara yng memexah keheningan itu. Seluruh mata tertuju padanya.
“ALFRED F. JONES! DILARANG BERTERIAK DI DALAM PERPUSTAKAAN!!” seru sang penjaga perpustakaan. Alfred, pemuda yang tadi berteriak itu, langsung meminta maaf kepada seluruh pengunjung perpustakaan itu.
“Sudah kubilang, membawanya untuk mendengarkan cerita kasus seram sesimpel ini adalah hal yang buruk,” ujar temannya yang berambut hitam pekat itu.
“Ehhh??? Kau bilang apa, Kiku!? Aku ingin mendengarkan kasus ini karena aku penasaran!” seru Alfred. Pemuda berambut hitam pekat itu, Kiku, tersenyum kepada Alfred.
“Baiklah, bagaimana kalau kita makan siang sekarang? Kelas akan mulai beberapa saat lagi..,” ujar Francis. Mereka semua mengangguk lalu pergi dari perpustakaan dan meninggalkan Alfred di perpustakaan itu sendirian di tengah kerumunan orang yang tidak dikenalnya. Dia masih penasaran dengan kasus yang barusan dibacanya. Kedua tangannya meraih buku yang tergeletak di mejanya, lalu perlahan-lahan membuka buku kasus itu.

“’Dikabarkan, kalau pemilik rumah itu masih hidup sampai sekarang. Rumornya, mereka memiliki anak yang bersekolah di W Academy’,” Alfred terhenti saat melihat nama sekolahnya tertera di buku kasus itu. “D-dia masuk sini!? Damn..,” umpatnya.
“... Huh? Apa ini? ‘Kasus di tutup tahun 19xx’? Berarti dia sudah lulus.. kemungkinan besarnya sih begitu.. tapi.. bisa jadi dia masih sekolah..,” gumamnya. Tiba-tiba kedua matanya menangkap sosok pemuda yang daritadi menatap buku yang sedang dia baca.
“Umm.. apakah kau mau membaca buku ini?” tanya Alfred. Pemuda itu terkejut lalu mengalihkan perhatiannya kepada buku yang di pegang olehnya.
“K-kalau kau masih membacanya.. tidak masalah.. aku akan meminjamnya nanti,” sahut pemuda itu. Alfred menutup buku kasus itu, lalu memberikannya kepada pemuda berambut pirang di hadapannya itu.
“Aku sudah selesai.. lagipula.. aku sudah pernah membacanya,”
“Terima kasih,”
“Namaku Alfred F. Jones.. dari kelas 12-B.. senang bertemu denganmu!” ucap Alfred.
“Uh.. Arthur.. Kirkland.. dari kelas.. 12-C.. sepertinya.. salam kenal..,” sahut pemuda itu, Arthur.
“Kelas kita berdekatan! Kenapa aku tidak pernah melihatmu?”
“Aku.. murid pindahan.. jadi.. uhh..,”
“Pantas saja! Oh ya, apa pelajaran selanjutnya di kelasmu?”
“... umm.. Matematika..?”
“Baiklah! Semoga beruntung dengan Mrs. Julchen!” ucap Alfred lalu meninggalkan Arthur sendirian. Kedua matanya menatap buku kasus itu.
“Kenapa ini disini.. siapa yang menaruhnya.. O-Ollie akan marah juka dia menemukan buku ini.. aku harus.. memusnahkannya,” ucap Arthur kepada dirinya sendiri. Setelah dia berkata seperti itu, buku bersampul hitam itu perlahan menghilang ditelan angin, kemudian dia melanjutkan membaca buku yang dibawanya.


TIME SKIP

Bell pergantian pelajaran berbunyi, Alfred merapihkan buku-bukunya dan mengganti dengan buku pelajaran selanjutnya.
“Ciao, Alfred~ aku tidak melihatmu saat istirahat.. dimana kau? Masih membaca buku itu?” tanya pemuds berambut brunette.
“Ah.. Feliciano,” pekik Alfred. “Tidak.. aku hanya berbincang-bincang dengan teman baruku mengenai buku-buku novel yang terbaru,”
“Ve? Sejak kapan kau menyukai novel, Al?” ujar Feliciano.
“Uhh.. aku baru menyukainya,” gumam Alfred. Mereka berdua berbincang sambil pergi ke loker mereka untuk ganti baju menjadi baju olahraga. Setelah itu, mereka berdua berlari menuju lapangan dan menyadari kalau lapangan itu sudah sangat ramai.

Guru olahraga mereka menginstruksi kepada mereka untuk mencari grup untuk bermain. Keduua mata Alfred tertuju kepada seseorang yang sangat familiar. ‘Arthur?’ batinnya. Kemungkinan dia bertemu dengan Arthur sangat besar karena setiap pelajaran olahraga, kelasnya dengan kelas Arthur memiliki jadwal yang sama.
“Arthur!” seru Alfred sambil berjalan ke arahnya. Bertapa terkejutnya Alfred saat melihat seseorang yang memiliki wajah yang sama dengan Arthur sedang berdiri di sampingnya. Siapa dia?
“Oh.. Al! Mengapa kau disini?” tanya Arthur ragu-ragu. Sebenarnya dia tidak ingin Alfred bertemu dengan orang itu.
“Kelas kita digabung saat pelajaran olahraga.. kau lupa?” ujar Alfred. “Lalu siapa dia?” lanjutnya. Arthur melirik pemuda di sebelahnya.
“Umm.. ini.. Oliver.. dia.. kembaranku,” jawab Arthur pelan.
“Woah! Aku tidak tau kau memiliki kembaran!” ujar Alfred. “Oh ya.. kau mau ikut ke dalam teamku? Kita akan bermain Volley! Ayo lah!” ajaknya agak memaksa.
Arthur terdiam dan sekali lagi melirik ke Oliver melalui ekor matanya. Oliver tidak menyadarinya karena dia sedang sibuk berbicara kepada teman-temannya yang lain.
“Boleh saja,” jawab Arthur pada akhirnya. Alfred tersenyum, lalu menarik tangan Arthur dan mengajaknya ke teman-temannya yang sedang berkumpul di dekat net. Alfred memperkenalkan Arthur kepada semuanya dan mengeklaim kalau mereka adalah teman dekat dari SMP. Arthur ingin mengelaknya, tapi dia memutuskan untuk menutup mulutnya dan tidak memberikan komentar apapun.
Suara dari peluit yang ditiup terdengar sangat menggelegar, dan permainan pun dimulai. Nampak semua murid yang sedang bermain sangat bersenang-senang. Lapangan dipenuhi canda tawa dari murid-murid tersebut.

TIME SKIP
Bell pulang sekolah akhirnya berbunyi. Alfred bergegas membereskan buku-bukunya, dan keluar dari kelasnya. Dia ingin tau dimana teman barunya itu tinggal. Kedua matanya tertuju pada seorang pemuda berambut strawberry blonde, sedang di pojokkan oleh sekelompok pembully.
“Tunggu.. bukankah itu.. kembarannya Arthur? Sedang apa dia di sana?” ujar Alfred. Apapun yang terjadi, dia tidak menyukainya. Dia juga sudah mengenal wajah-wajah pembully itu. Viktor dari kelas 12-A, Francois dari kelas 12-D, dan Yang dari kelas 12-E. Alfred sangat membenci mereka bertiga. Dia berencana untuk mengusir ketiganya, tetapi pundaknya di tepuk oleh seseorang.
“Al? Aku ingin berbicara denganmu sebentar..,” ucap Arthur. Alfred menatap ke arah Arthur sejenak, lalu mengalihkan perhatiannya kepada tempat dimana Oliver di pojokkan tadi. Anehnya, sosok itu telah tidak ada di tempatnya.
‘Kemana mereka?’ batin Alfred. Dia langsung mengikuti langkah kaki Arthur yang semakin lama semakin menjauh.


ALFRED P.O.V
Kami berdua berjalan menuju kafe terdekat. Kami berdua memesan minuman dan makanan untuk kami sendiri. Arthur memesan segelas teh dan seperti biasa, aku memesan caramel latte. Kaami berdua duduk di kursi yang tersedia di sudut ruangan. hi
“Al.. aku dengar kau ingin meminta bantuanku untuk belajar.. apakah itu benar?” tanya Arthur. Aku menganggukkan kepalaku dengan cepat. Dia menyeruput tehnya secara perlahan lalu menatapku kembali.
“Kita dapat belajar disini.. Atau di rumahmu.. Pilihan ada di tanganmu..,” ucap Arthur dengan tenang.
“Mengapa tidak di rumahmu?” tanyaku. Dia tersentak lalu menatap ke sekitarnya, kemudian menyeruput tehnya.
“Itu tidak dapat dilakukan.. Lagipula, rumahku sedang renovasi.. Jadi sangat sulit untuk belajar dikondisi seperti itu,” jawabnya. Renovasi ya? Tapi sebelum dia menjawab pertanyaanku, dia nampak kesulitan mencari alasan. Sebenarnya apa yang disembunyikannya? Sudahlah, dia menyuruhku untuk memilih.
“Bagaimana kalau di rumahku? Lebih tenang dan tidak diganggu siapapun..,” usulku. Arthur rpikir sejenak, lalu menganggukkan kepalanya. Kami akhirnya sepakat untuk memulainya pukul 4 sore, seusai sekolah. Kami berdua saling bertukar e-mail dan berpisah karena hari semakin gelap. Selama di perjalanan, aku menatap layar ponselku dengan senyuman di wajahku. Apakah aku harus mengirimnya sesuatu? Oh tunggu! Aku akan bertanya tentang pelajaran kepadanya!

Aku harap aku tidak mengganggunya malam ini. Setelah gerjakan beberapa soal, aku mencapai titik dimana aku tidak dapat mengerjakannya lagi—maksudku aku kebingungan. Aku meraih ponselku, lalu mengetik sesuatu kepada Arthur. Setelah itu, aku kembali mengerjakan yang lain. Tak lama setelah aku mengirimnya e-mail, ponselku langsung bergetar dan aku bergegas membuka pesan masuk. Dari Arthur! Dia cepat sekali membalasnya!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 27, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Catch Me If You CanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang