Aku berdiri dengan tangan bersandar, matakumenatap sendu pada langkah-langkah tanpa ragu Manard di sabana itu, menyusurijalanan kecil berpasir kecokelatan, dengan muka yang tak kembali menoleh. Bahkan saat ia berjumpa dengan petani yang mulaimembuka bekal makan siang di pagar batu penuh lumut, atau peternak domba yangberistirahat dari penggembalaannya di bawah teduh pepohonan. Yang ia perbuathanya menyapa dalam lambaian tangan, sambil terus melangkahkan kaki. Sampaibatas desa serupa tugu tumpukan batu yang di atasnya dipatri papan tertulis"Selamat datang di Kastinope" menghadap barat, tapi ia seperti tak berkeinginanuntuk berhenti dan memandang tulisan itu barang sekejap. Sampai akhir ia tidaksekalipun menoleh. Seolah pergi tanpa ingin berpamitan pada tempat penuh kenanganyang akan ia tinggalkan.
Jalan menuju barat adalah sebuah jalur setapak kecil yang menebas bentangan sabana, terhampar bagai karpet maha luas hijau kekuningan, angin-angin akan membuatnya bergelombang serupa ombak kecil yang merayap ke tenggara, untuk kemudian lenyap di pepohonan. Di jalan, waktu membuat sosok Manard semakin kerdil di pandangan mata, namun langkahnya masih saja belum menemukan ujung sabana berupa hutan-hutan cemara yang ramai di kejauhan. Saat matahari mulai menjalarkan gelap di penjuru desa dan bayanganku dibuatnya jatuh ke tepian timur, Manard besar badannya seukuran ibu jari saja. Sambil duduk bersila, mataku masih saja menetapnya di bawah rindang pohon Ryel. Aku sebegitu ingin melihat kepergian Manard sampai akhir. Tinggal sedikit lagi tubuh yang membawa setumpuk bekal berat itu menghilang di telan hutan, tinggal sedikit lagi sampai gelap melenyapkannya hidup-hidup.
"NiRyel, pulanglah!" Suara Ayah menggema, memanggilku seperti hari-hari yang biasa saat aku dan Manard telah abai pada waktu, menyibukkan diri dengan lamunan. Sementara Ayah akan berdiri menjulang di palang pintu sambil membelitkan tangan di dada, menunggu tanggapan kami yang mau tak mau harus turun seketika itu sebab tahu Ayah bukan orang yang bisa diusik kehendaknya. Maka detik itu juga aku harus turun meninggalkan Manard dalam kepergiannya yang belum usai. Kukira nanti ia akan sampai di hutan cemara, ia akan baik-baik saja menghabiskan malamnya bersama api unggun dan hangat yang menjalari udara, menyeduh secangkir teh dan mengunyah beberapa kepal roti, kemudian beristirahat dari perjalanan pertamanya membelah sabana sejauh itu.
Sementara aku menuruni bukit dengan hati yang camping, serasa ada momen yang tak bisa aku ulas sampai akhir dan sesuatu yang tak bisa kujelaskan dengan kalimat-kalimat yang telah tercatat dalam kepala. Ada yang janggal jauh di pedalamanku, serupa gemuruh yang menggoyahkan dan lambat laun mengikis bagian hati keping demi keping. Bagaimana mungkin Manard pergi hanya untuk mencari seorang gadis yang baru ia kenal selama satu tahun? Meski ia telah sebegitu merindu dan terpaut, satu tahun bukan waktu yang setimpal untuk saling mengenal dan mengupayakan. Maksudku, mengapa konsep percintaan dirasainya teramat sangat penting? Melebihi hal-hal besar yang sebetulnya lebih relevan ia buat sebagai alasan berkelana. Aku saja, bagiku perempuan tidak pernah jadi hal yang akan membuatku meninggalkan rumah. Aku menyadari penuh perbedaanku dengan kakakku yang tampan itu. Sejak dulu ia mamang melankolis sementara aku tak sudi dikuasai perempuan. Segala tindak tandukku harus muncul dari dalam diriku sendiri, bukan suatu rangsangan dari luar. Atau Manard mungkin benar atas loyalitasnya, pengembaranya merupakan dorongan sebuah hasrat yang tulus, dan aku hanyalah seorang anak yang mencintai dirinya sendiri. Tetapi aku masih tak ingin berdamai dengan ide pokoknya. Memikirkannya masih membuat hatiku terusik. Sebab aku juga bagian darinya, kelak aku juga jadi bagian dari sebuah kisah pengembaraan. Menurutku seorang Kashf mestilah memiliki alasan agung yang ideal untuk pergi. Sementara yang Manard usung dan tersaji di hadapanku tidaklah cukup, remeh dan tak pantas untuk dijadikan suri teladan.
Dan kegamangan itu pun bertambah volumenya sepanjang jalan, telah tumpah dan berceceran di jalan setapak dan tangga-tangga kayu di bukit Auren. Aku bawa turun sampai palang pintu rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Orzul
FantasyNir Orzul adalah seorang anak etnis Kahsf, suku yang dikenal sebagai suku pengembara. Ayahnya mendidik Nir dengan keras demi perjalanannya kelak saat waktu pengembaraanya tiba. Karena cara mendidiknya yang kasar dan tak berperasaan, Nir salalu muak...