Babak Kedua : Harta VI

35 2 0
                                    

Malam semakin larut.

Suasana di atas Gunung Kidulor tampak begitu sepi. Hanya suara dedaunan yang bergesekan tertiup angin serta hewan-hewan malam yang sedikit meramaikan. Selain sinar bulan dan bintang yang menerangi, tak nampak sedikit pun cahaya lagi di tempat itu.

Namun di tengah hutan yang sunyi itu tampak sesosok pria berpakaian serba hitam yang sedang duduk bersila di sebuah tanah terbuka di tengah hutan belantara.

Punggungnya tegak. Kedua tangannya bersatu di depan dada. Kedua matanya terpejam. Mulutnya terus berkomat-kamit membacakan mantra yang entah apa artinya. Tempayan tanah liat penuh air diletakkan tepat di hadapannya.

Sejak matahari terbenam, pria berpakaian serba hitam itu sudah berada di sana, tak beranjak dari tempatnya, dan selalu dalam posisi yang sama. Udara dingin yang terasa semakin menusuk tulang seolah tak mengganggunya. Laki-laki itu tetap bergeming, terus duduk bersila merapal mantra.

Lama menunggu di dalam kegelapan, tiba-tiba secercah cahaya terasa menyinari wajahnya. Aneh, bagaimana mungkin di tempat yang sangat jauh dari daerah pemukiman itu tiba-tiba saja ada cahaya? Kondisi hutan yang gelap dan menyeramkan juga membuat orang enggan pergi ke tempat itu setelah matahari terbenam. Darimana cahaya itu berasal?

Perlahan pria berbaju hitam itu membuka kedua mata. Cahaya kuning menyilaukan keluar dari dalam tempayan air di hadapannya.

"Apa yang kau inginkan?!"

Suara menggelegar menggema di dalam kepalanya.

Pria berpakaian hitam itu terkejut dan segera menghentikan tapanya.

Diliputi rasa takut, pria itu bertekuk lutut dan bersujud menghadap tempayan air yang mengeluarkan cahaya. Udara sangat dingin, tapi keringat terus bercucuran.

Dengan kening menempel ke tanah, pria itu berkata dengan terbata-bata.

"K-Kulonuwun Mb-Mbah... S-saya Gatot Su-bara. Saya dat-ang kemari k-kar-ena ingin m-m-memint-ta h-harta ya-ng melimpah kep-pada M-Mbah..."

Cahaya dari dalam tempayan masih bersinar dengan terangnya, namun tak terdengar sedikitpun suara. Gatot semakin merasa cemas. Apakah ada yang salah? Apakah dirinya telah menyinggung makhluk yang masih belum menampakkan wujudnya itu? Pertanyaan itu terus berputar-putar di dalam kepalanya.

"Kukabulkan permintaanmu!!"

Jawaban suara tanpa rupa itu disambut Gatot dengan sangat gembira. Dengan kepala yang masih terus menyentuh tanah, pria itu menghaturkan rasa terima kasihnya.

"Terima kasih banyak Mbah! Terima kasih banyak!"

Pria itu sangat bersyukur. Setelah tiga malam berturut-turut melakukan ritual yang sama, akhirnya perjuangannya tak sia-sia.Kali ini dia takkan pulang dengan tangan kosong. Istri dan anaknya takkan lagi melihatnya dengan pandangan kecewa.

Cahaya yang keluar dari dalam tempayan airnya semakin terang. Sekejap kemudian cahaya kuning itu lenyap tanpa bekas. Perlahan Gatot mengangkat kepala. Semua kembali seperti semula. Gelap tanpa cahaya...

...tapi ada satu hal yang berbeda.

Di dalam tempayan air tampak sebuah benda yang berpendar kekuningan. Sebuah batu kuning menyala berbentuk bulat, seukuran jempol orang dewasa. Ketika Gatot mengambil batu itu, terdengar suara yang berbicara di dalam kepalanya.

"Kini kau terikat denganku. Akan kuberikan harta sebanyak yang kau mau. Nikmati semua sampai kau merasa cukup."

***

Kedua belah mata Gatot terbuka. Dia melihat sekelilingnya. Ternyata dia sekarang sedang duduk di atas sofa ruang tamu rumahnya.

Mimpi itu entah mengapa terasa begitu nyata.

Setiap kali memejamkan mata, kejadian tiga hari yang lalu itu selalu terbayang kembali dalam ingatannya. Seolah terus mengingatkan apa yang telah dia perbuat.

Gatot memandang ke luar jendela sambil memijat kepalanya yang pusing akibat terjaga tiba-tiba. Langit masih belum gelap. Jam dinding yang terpasang di tembok ruangan menunjukkan pukul setengah enam sore.

"Aku cuma tidur sepuluh menit? Padahal mimpi tadi rasanya lama sekali..."

Tubuhnya masih terasa lelah. Sedari pagi dia berkeliling kota mengantarkan anak-istrinya berbelanja, mencari barang-barang yang mereka inginkan. Begitu larutnya mereka dalam kegembiraan hingga lupa waktu dan tanpa terasa sore telah menjelang.

Laki-laki itu memperhatikan anak dan istrinya yang mondar-mandir, keluar-masuk rumah. Memindahkan barang-barang dari dalam mobil kijang abu-abu ke ruang tengah. Wajah ibu dan anak itu terlihat ceria. Tak ada rasa lelah di wajah keduanya.

Sebuah kecupan mendarat di pipi pria paruh baya yang tampak sangat lelah itu.

"Terima kasih ya Pa. Hari ini udah dibeliin lagi semua barang-barang yang aku inginkan." ucap anak gadisnya dengan wajah sumringah

Istrinya yang bertubuh subur tak mau kalah. Sambil memeluk tubuh kurus suaminya dengan erat, wanita itu berkata, "Terima kasih banyak ya Sayangku."

Sudah lama Gatot tak mendengar panggilan mesra istrinya. Sama jarangnya dengan senyum bahagia yang saat ini dia lihat di wajah anak-istrinya. Sebelum malam tiga hari lalu yang mengubah hidupnya, hari-hari Gatot diramaikan dengan suara rengekan dan keluhan kedua wanita itu. Apalagi masalahnya kalau bukan tentang uang.

Rasa iri melihat tetangga yang mampu membeli barang-barang mahal, membuat kedua wanita itu menginginkan hal yang sama. Gaji Gatot sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga tak cukup untuk memenuhi gaya hidup yang diinginkan anak-istrinya. Hal itulah yang memaksa Gatot untuk mencari pesugihan. Lebih tepatnya kedua wanita itulah yang mendorongnya mencari lebih banyak uang, tak perduli bagaimana pun caranya.

Sekarang, dalam tiga hari saja kedua wanita itu sudah membeli berbagai macam benda. Mulai dari baju, barang elektronik, dan berbagai benda lain yang mereka inginkan. Tentu saja semua itu mereka dapat dengan menggunakan lembaran uang merah bergambar proklamator kemerdekaan Indonesia, yang terus keluar setiap kali batu kuning yang menggantung di lehernya digosok.

Sempat Gatot bertanya-tanya darimana asal uang yang jumlahnya tak terhingga itu. Tapi setelah melihat kebahagiaan istri dan anaknya, Gatot tak lagi perduli.

"Kau puas dengan pemberianku?" tanya suara yang tiba-tiba terdengar di dalam kepala Gatot.

Gatot segera membetulkan posisi tubuhnya agar tampak lebih sopan. "Terima kasih Mbah. Berkat pemberian Mbah, saya bisa kembali melihat senyum anak dan istri saya kembali. Saya senang sekali..."

"Jadi apakah harta yang kuberikan padamu sudah cukup?"

"Iya Mbah. Ini sudah lebih dari cukup. Semua yang Mbah berikan sudah membuat kami sekeluarga bahagia." jawab Gatot sesopan mungkin.

"Baguslah kalau begitu! Berarti sudah kupenuhi bagian perjanjianku ..."

***

DUNYAPALA : GAGAK, HARIMAU, DAN NAGAWhere stories live. Discover now