Prologue

14 0 0
                                    

Dia pergi begitu saja. Aku nggak sempet menoleh ke arahnya. Betapa bodohnya aku. Begitu ku menoleh, kehadirannya sudah digantikan oleh angin.

Andai saja jam itu tidak diambil oleh sang pencuri tadi, pasti aman-aman aja.

"Yomi?! Yomi?!"

Aku mencoba memanggil namanya sambil berjalan ke segala arah, namun sosoknya tidak merespon. Tentu, karena ia sudah jauh dari sini.

Sinar matahari mulai terik, menandakan siang hari. Hari berlangsung dengan cepat.

"Tidak... apakah ia bakal baik-baik aja?"

Aku mencemaskannya. Bukan karena waktu perjalanan akan semakin terbuang saja, namun juga ia mencemaskan seseorang yang ia cari. Seseorang yang menemani perjalanku.

Dan juga, seorang teman.

Aku mulai putus asa. Nggak mendapatkan apa yang ku cari, keresahanku semakin menjadi. Di dalam dadaku, ada rasa yang mengganjal. Perasaan tidak enak, seolah bagian dalamku semuanya sedang diremas. Aku tidak tahu.

Karena perbendaharaan kataku kurang, aku kadang sering bingung dengan kata yang belum pernah ku dengar atau kenal. Dulu aku dapet pendidikan yang kurang, namun walau begitu, aku tetap diajari banyak hal penting untuk hidup di luar sana.

Aku tahu aku lapar, namun semua itu nggak kerasa karena ada hal yang lebih penting dari makan.

Langit sudah mulai gelap. Udara dingin mulai berhembus begitu juga dengan salju yang turun dengan lembut. Rasa sakit yang ada di dadaku jadi lebih parah dari sebelumnya. Dan tidak ada sosok kehadirannya.

Aku terduduk di atas salju, menyerah ke keputus asaanku. Walau dingin, air menetes di sekitar pipi ku. Apakah salju mencair? Aku tidak tahu.

Dan saat itu, aku menyadari. Daerah di mana aku berada sekarang lebih sepi dibanding yang lain. Rumah-rumah dimatikan lampunya, begitu juga jendela. Sampai aku melihat seorang ibu-ibu lari tergopoh-gopoh. Aku mendekatinya.

"Ada apa bu? Kok lari-lari begitu?" Tanyaku.

"Be-bersembunyi lah nak..." Ucap sang perempuan paruh baya itu.

"Eh? Memang ada apa?"

"Dia... marah."

Dia? Siapa pikirku. Nama seseorang kah? Atau ia sedang membicarakan tentang seseorang...

"Anu... aku tidak terlalu..."

"Cepatlah, sebelum ia datang dan mengambil semua yang kamu punya..."

Mengambil semua apa yang kupunya? Mencuri? Eh?! Ini berarti...

"Ada di mana lokasinya bu?!"

Tanyaku, dengan spontan. Mungkin nadaku terlalu keras, membuat perempuan itu terkejut.

"Di sana..." Perempuan itu menunjuk ke lawan arahnya. "Tunggu, kamu ingin kemana?!"

Dengan tak sadar aku mengeluarkan senyum lebar. Akhirnya. Petunjuk terakhir yang kubutuhkan.

Aku menghadap ke arah yang perempuan itu tunjuk, merendahkan tubuhku, menekuk kaki kananku ke depan, dan kaki kiriku memanjang kebelakang, mengunci posisi. Seperti orang yang mau sprint.

"Terimakasih bu! Maaf, namun aku sedang terburu-buru!"

"Nak! Apa yang ingin kamu—"

Mendorong diriku dari tanah dengan kaki kanan, aku melesat dengan cepat ke arah tujuanku. Apakah salju di belakang ku tadi berserakan kemana-mana? Entahlah, namun seiring aku mendorong diriku, gemuruh ledakan terdengar.

Aku mendorong diriku kembali yang mulai melambat. Dan tepat saja agak terlalu jauh dariku aku dapat melihat.

Seseorang yang sedang ku cari. Berpakaian serba putih. Namun di tangannya ada senjata. Scythe. Melihat itu, aku menaruh tenaga dalam doronganku dan aku melesat lebih cepat, sambil memanggil scythe ku sendiri ke genggamanku.

Tepat ketika seseorang berpakaian putih itu mulai berlari ke arah yang ia target, aku sampai dan aku langsung menghalang dan menepis serangannya, membuat suara besi beradu dengan keras.

Ya. Kali ini aku menemukan seseorang yang sedang kucari. Seorang anak laki berambut putih, yang ku halangi.

"Kamu nggak apa-apa?"

Tanyaku ke anak itu.

Waltz -Death is Not the End- [2. Deathbringer Girl]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang