2. Guru Baru

209 28 30
                                    

"Iya, ini udah sampai kok... aku masih nyari orang... iya, katanya sih disini banyak anak sekolah gitu... Oke, daaaah." pemuda itu menutup telepon dari pacarnya lalu kembali memeriksa berkas yang akan ia ajukan kepada beberapa orangtua yang mungkin anaknya butuh pelajaran tambahan.

Iya, dia akan melamar pekerjaan sebagai guru les anak sekolah. Entah SMA atau SMP, yang penting bisa menjadi pekerjaan sampingan untuknya.

Namanya Calum, berumur 25 tahun. Dia itu seorang karyawan dari sebuah perusahaan penerbitan, tapi gajinya sebagai Editor pemula yang nggak cukup besar, membuat dia harus mencari pekerjaan tambahan untuk biaya keperluan sehari-hari dan tabungan untuknya segera menikah.

Iya menikah. Calum itu umurnya sudah seperempat abad, jadi dia harus menikah untuk melanjutkan keturunan.

Calum keluar dari rumahnya sambil menggendong ransel berisi berkas-berkas yang dia butuhkan. Calum akan mulai mencari target sekarang. Karena kebetulan, Calum sedang libur.

Di mulai dari bertanya pada mbak seorang penjual jamu keliling barangkali tahu rumah mana yang masih memiliki anak sekolah, mengingat Calum baru saja pindah kemarin jadi Calum tak tahu siapapun di komplek ini.

"Itu tuh Mas, rumah yang catnya ungu itu anaknya masih kelas tiga SMP." kata si Mbak jamu yang sudah tidak muda lagi itu sambil ngedip-ngedip genit.

Idih, kelilipan kutu dari rambut sendiri kali nih orang. Batin Calum.

"Makasih ya," ucap Calum cepat lalu segera pergi dari hadapan si Mbak jamu. Sebelum Mbak jamu itu beralih profesi menjadi Tante Girang.

Rumah bercat ungu. Calum sudah berdiri di hadapan pintu rumah itu dan bersiap untuk mengetuk.

Tok! Tok! Tok!

"Permisi!" teriaknya. Tak membutuhkan waktu lama untuk seorang wanita paruh baya membukakan pintu dengan wajah agak sangar.

"Iya, ada apa?" tanya wanita itu tak ramah. Meneliti penampilan Calum dari atas sampai bawah yang semua pakaian di tubuhnya berwarna hitam.

"Jadi begini, Bu-"

"Sudah-sudah, saya tak punya waktu untuk promosi-promosi tak jelas kau itu, sama sekali tak berminat!"

Lalu pintu di banting menutup.

"Gue bahkan belum selesai ngomong," kata Calum pada pintu kayu didepannya dengan mata berkaca-kaca. Calum hampir saja nangis kelojotan karena sakit hati sebelum dia ingat kalau masih harus cari kerja.

Calum mengelus dada sambil melangkah pergi dari rumah yang baru saja menolaknya mentah-mentah itu. Calum harus sabar, karena orang sabar di sayang Tuhan.

Calum lanjut mengunjungi rumah-rumah lain tanpa tahu apakah mereka memiliki anak sekolah atau tidak. Sebagian pemilik rumah tidak suka ia datangi, ekspresi wajah mereka seolah siap menendangnya jika Calum ketahuan sebagai salah satu SPB yang menjajakkan selang LPG. Padahal Calum yakin seratus persen kalau penampilannya terlihat seperti anak band, bukan seorang SPB selang LPG.

Namun, diantara mereka yang menanggapinya dengan negatif itu, ada pula yang menyambut kedatangan Calum dengan sangat ramah. Contohnya rumah ini; sang pemilik yang adalah seorang pria sekitar awal tiga puluhan dan tinggal sendiri itu menyuruh Calum masuk dan bahkan menyuguhinya dengan berbagai cemilan yang ia simpan.

"Nggak usah repot-repot, Om." kata Calum. Ia merasa sangat tak enak.

"Ah, udah, nggak apa-apa." kata Om itu sambil mendudukkan diri di sebelah Calum lalu mengedipkan sebelah mata.

Kenapa hari ini semua orang ngedipin mata ke gue sih?

Yha nggak semua orang sih, cuma 2

Om CalumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang