Dian : Enigma

17 0 0
                                    

Diandra Varsha Shakti
Dion Permana

***
" dia yang kau kenal bertahun-tahun lalu itu telah pergi meninggalkan dunia ini. Kini dan nanti hanya akan ada Dendam dan Diandra yang baru dan berbeda."

DM

***

Indonesia, 2010

Suara pecahan barang yang diikuti jeritan penuh amarah kembali memenuhi rumah itu. Tak ada lagi bahagia, apalagi ketenangan. Semuanya terbakar habis bersama perdebatan demi perdebatan yang seakan tak menemukan titik akhir. Selembar kertas berisi pernyataan bahwa ayahnya ingin mengakhiri rumah tangga mereka yang selama 17 tahun itu, menjadi inti dari segala perdebatan itu. Sudah hampir dua minggu dan tetap tak ada harapan bahwa badai yang kini sedang menerjang keluarga mereka akan berlalu.

Diandra memeluk lututnya erat-erat sementara air mata mengaliri wajahnya. Kalimat-kalimat yang diucapkan kedua orangtuanya terasa bagaikan sayatan pisau di dadanya. Mereka saling menyalahkan dan mengucapkan sumpah serapah. Seumur hidupnya, Diandra tidak pernah mendengar ayahnya berteriak apalagi mendengar ibunya menyumpah. Seburuk apa pun masalahnya, mereka selalu bisa menyelesaikannya dengan tenang. Diandra tidak percaya, dua orang dengan cinta yang begitu pekat bisa bertengkar hingga saling menyakiti dengan begitu dalam. Ke mana perginya semua cinta itu?

Kembali terdengar suara barang yang pecah dan Diandra berjengit. Terlebih ketika didengarnya jeritan histeris ibunya, Diandra menggigit bibir kuat-kuat demi mengalihkan rasa sakit dari dadanya.

Ini semua tidak mungkin terjadi. Diandra pasti bermimpi.

Hanya saja mimpi itu telah berlangsung selama dua minggu dan menerakan luka tak tertanggung di hatinya.

Diandra mencoba menulikan pendengarannya, namun pertengkaran itu justru semakin jelas terdengar. Sekali lagi ibunya mengutuk ayahnya, lalu tak terdengar apa pun. Diandra tersentak. Secepat kilat ia berlari keluar dari kamarnya. Tak lagi dipedulikannya segala barang yang menghalangi langkah. Diandra hanya tahu ia harus segera melihat orangtuanya.

Pemandangan yang menyambut Diandra sama sekali tidak diduganya; ibunya tergeletak pucat di lantai bersama genangan darah. Kedua mata ibunya tertutup rapat dan pergelangan tangannya tersayat begitu dalam hingga darah terus mengalir keluar tanpa henti.

Diandra jatuh berlutut. Dengan tangan gemetar Diandra menyentuh wajah ibunya.

"Ibu. . . baik-baik saja? Buka matamu. I-ibu. . ."

Bulir-bulir air mata semakin deras melintasi wajahnya dan Diandra berusaha sekuat tenaga menelan isaknya. Diandra mendongak untuk menatap ayahnya, tak percaya ketika ia melihat ayahnya hanya berdiri membeku tanpa ekspresi apa pun di wajahnya. Tak ada kecemasan, apalagi air mata. Seakan-akan ayahnya telah menyerah.

Betapa Diandra berharap semua ini hanya mimpi.

Namun cairan merah gelap yang kini ikut menggenanginya memberitahu Diandra bahwa semua ini bukan mimpi.

Dan detik itu juga Diandra tahu, ia benar-benar telah kehilangan hidupnya.

***
Los Angeles, Januari 2017

Diandra menatap pantai yang terbentang luas di hadapannya dengan pandangan kosong. Jemari kakinya yang menyatu dengan pasir hampir tidak merasakan apa pun kecuali tekstur uniknya; lembut sekaligus kasar. Matahari telah lama terbenam di langit barat, namun Diandra masih enggan untuk beranjak. Dia bahkan tidak peduli pada pesta ulang tahunnya yang ke-24-yang saat ini berlangsung di belakangnya.

D'FINARRAR (Colorfull Of Life)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang