"Sabar memang tidak mudah, sebab Surga tidaklah murah."
- dari Quotes Islam.*****
BANYAK kertas nampak di genggamannya, pria berusia pertengahan kepala dua itu terfokus membaca laporan pengamatan yang ia buat beberapa waktu lalu, memastikan tidak ada yang salah sebelum mengajukannya ke departemen.
Merasa puas, dirinya mengetukkan beberapa kali ke meja, merapikan bentuk sebelum menyelipkannya di bawah laptop agar tidak kelupaan untuk dibawa besok.
Tepat di detik itu, pintu berderik, seorang gadis anggun masuk, melangkah ragu dengan tatapan sendu, khasnya.
Syamsul tahu gadis itu punya sesuatu yang ingin diutarakan. Bertahun-tahun bersama membuatnya peka, tak seperti kebanyakan pria. Masih dengan menyandar di kursi tempat bokongnya bersandar sedari tiga jam lalu, mata elangnya tak lepas menatap.
Malam ini gadis itu terlihat sangat cantik. Balutan kain tipis berenda dengan warna hitam elegan menutupi tubuh putihnya yang tidak ditampakkan kentara, ada jubah sewarna melapisi apa yang seharusnya terlihat dalam pandangannya sebagai suami.
Ah, iya, status itu baru menyemat mereka beberapa hari lalu. Suami dan istri. Pernikahan sakral mereka terjadi di tanah kelahiran keduanya, Ibu Pertiwi, Indonesia. Sama halnya kecantikan Indonesia, bumi pertiwi punya banyak sekali gadis anggun yang cantik jelita, sama seperti istrinya, wujud keindahan nyata, dalam bahasa biasa disebut bidadari dunia.
Sibuk mengagumi, Syamsul tidak menyadari betapa beraninya gadis itu berpenampilan seperti sekarang. Seingatnya, ia menikahi perempuan pemalu yang tak pernah sekalipun menampakkan lekuk tubuh.
Bukankah sekarang ia terlihat sangat mengundang?
"Mas," cicitnya pelan. "Ini sudah jam sepuluh, kamu nggak tidur?"
Mendengarnya, Syamsul menyeringai, kepalanya sudah mengebul sekiranya perlu dilepaskan beban. "Sepertinya aku perlu begadang."
Terlihat keterkejutan dari gadis itu, nampak dirinya menegang sesaat menyadari makna dari kalimat sang suami. "A--Apa aku kelihatan nggak pantas sama baju ini?"
Syamsul terkekeh sesaat, ia bangkit, berjalan pelan menghampiri tubuh yang lebih mungil darinya. Kedua tangan ia sembunyikan di saku celana, menahan agar tidak menggerayang ke mana-mana.
"Hadiah dari Bunda, ya?" Salah satu alis pria itu naik, menggoda.
Agak kaku, ia mengangguk, sulit menggerakkan anggota tubuhnya ketika ia dipenjara melalui tatapan.
"My answer is no, you look so perfect with this lingerie, I should tell Bunda to bought you more, or I should do it by myself, who knows."
Sedikitnya ia--Raisya--mengerti, lantas wajahnya sudah memerah. Sumpah, seumur-umur ia tidak pernah segemetaran ini. Berhadapan dengan Syamsul sudah cukup membuatnya epilepsi, jangan yang lain lagi.
Sebuah tangan menyentuh pinggangnya, teramat halus tapi berdampak gigantis, Raisya sampai mau tumbang rasanya. Ia memejamkan mata begitu erat, tidak mau menatap wajah tampan di hadapannya secara langsung.
"Ada apa ini?" Syamsul bertanya pelan, ia mendekatkan tubuh harum tersebut dan mengendusnya perlahan. "Sudah mengumpulkan nyali?"
Ia tidak menjawab, masih menghalangi atensinya melihat mahakarya. Syamsul tersenyum miring mengetahuinya, sebagaimana sang istri berusaha membelah sekat di antara mereka karena sifat introvernya, tetap saja gadis itu tak bisa.
Gemas, pria itu menggigit pelan telinga Raisya yang sudah memerah sehingga membuat sang gadis berjengit kaget.
"M--Mas!"
"Mas?" Syamsul makin tersenyum mendengar respon istrinya. "Kenapa kamu masih manggil aku dengan sebutan mas?"
Raisya lagi-lagi bungkam tak menjawab. Ia menggigit bibirnya, menghalau desahan yang tak mampu ia bendung kala mendapati kecupan menggelitik di area tulang selangka.
"Hm?" Syamsul mengerutkan kening ketika indera pendengarnya disapa suara demikian. "Lihat aku, Rai!"
Mau tidak mau ia membuka kelopak, pandangannya menjadi sayu. Padahal Syamsul belum secara nyata memulai pergelutan mereka, tapi efek yang diterima sang istri begitu luar biasa.
"Kenapa kamu masih manggil aku dengan sebutan mas?" Pertanyaannya diulang.
Memaksakan, Raisya bersuara parau. "A--Aku cuma mau manggil kamu dengan sebutan berbeda dari keluarga kita."
"Seistimewa itukah?"
"M--Mas!" Raisya merutuki diri, ah, lebih tepatnya pada tangan Syamsul yang kini mengelus pahanya dengan gerakan pelan. "A--Apa kita memang harus berdiri?"
Lantas tawa Syamsul bergema. "Kamu sudah siap memangnya?"
Bukannya menjawab, Raisya malah menerjap lucu, semakin menarik suaminya mendekat. Lalu karena sudah tak terbendung, Syamsul mencium bibir merah muda yang tersuguh di hadapannya, melumat dalam, menghisap bergantian bagian atas dan bawah, kemudian menyelipkan lidah ke rongga mulut sang gadis, mengajak duel benda lunak bersaliva lawannya.
Raisya tidak mampu menyamakan ritme dengan fakta ini ciuman pertamanya dan Syamsul memang andal. Gadis itu sampai tersedak, kehabisan oksigen, tapi tak lantas menyadarkan suaminya agar berhenti.
"M--Mas!" Ia mendorong pelan.
"Rai!" Napasnya sama terengah, sejurus kemudian ia menggendong penuh gaya sang istri. "Aku nggak peduli kamu siap atau nggak, aku mau sekarang!"
Raisya langsung melingkarkan kedua lengan putihnya ke leher sang suami, menyembunyikan wajah di perpotongan leher tegas suaminya, bersamaan jantung berdetak bukan karena gerak tiba-tiba Syamsul yang menangkup tubuhnya saja tapi juga perkiraan hal yang akan terjadi.
Malam ini, mereka akan menghiasi pernikahan yang baru saja tergelar dua pekan lalu dengan hal indah.
Begitu tiba di kamar, Syamsul gesit merebahkan Raisya di ranjang. Memulai kembali apa yang sempat tertunda, tapi kini semakin intens, semakin intim, semakin menjamah.
Ciuman Syamsul bermula di kening, turun ke mata, pipi, hidung, bibir, sampai ke tengkuk. Ia jamin, semua bagian tubuh istrinya tidak akan terlewat barang sesenti pun. Ia sebegini terhanyutnya, pesona Raisya tak mampu ditahan untuk berahi.
Tangan beruratnya tak tinggal diam, mengelus, membelai, memanjakan hingga ia dapati istrinya kembali mendesah senang. Syamsul sudah tidak kuat, ia menyibakkan kain tipis hitam itu secara terburu, menampilkan lekuk tubuh sempurna Raisya tanpa penghalang apapun lagi.
Ia diam sebentar, mengagumi betapa indahnya manusia di bawah kendali ini, sedetik kemudian pria itu gelap mata, menerjang, memulai perkenalan mereka dalam mendamba tubuh masing-masing.
Raisya di bawahnya tersengguk, antara ingin bicara dan mengerang. Ia kemudian memandangi suaminya yang kembali menjauh, terlihat menanggalkan pakaiannya agar sama tanpa sehelai benang. Matanya tak teralihkan dari pahatan tubuh atletis di depannya, sungguh, sudah berwajah tampan, berbadan kekar pula.
Gadis itu perlu mengibarkan bendera putih karena akan menyerahkan kegadisannya malam ini juga. Terlebih saat Syamsul kembali mengikis jarak, Raisya sudah tidak punya alasan untuk menolak.
Karena mereka sama-sama menginginkannya.
*****
• bertalian •
KAMU SEDANG MEMBACA
Daim
RomanceAdalah Syamsul, menikahi Raisya karena memang cinta, sudah dari masa sekolah ia memendam untuk teman masa kecilnya. Adalah Raisya merasa begitu bahagia ketika perjuangan cintanya bisa menapaki jenjang pernikahan, hidupnya pasti bakal menyenangk...