0.0

44 17 9
                                    

---

"Jadi gimana sekolah lo sekarang?" Seorang lelaki berambut hitam dengan model cepak tersenyum hangat pada Deandra.

Deandra menunduk untuk sesaat, menyembunyikan raut mukanya yang dia yakini pasti berubah menjadi muram. "Baik ko." Jawabnya sambil mengangkat wajahn dan berusaha tersenyum semanis mungkin.

Lelaki itu tersenyum teduh, kemudian merangkul bahu Deandra dengan hangat. "Syukur deh. Gue kira lo bakal kaya pas SD lagi." Kini wajahnya diangkat ke atas, menatap langit cerah di pagi hari ini, pikirannya memutar memori buruk tentang kejadian yang menimpa Deandra, sahabat kecilnya itu.

Deandra sedikit terkesiap, dia merasa bersalah telah membohongi Rifal yang kini terlihat lega mendengar jawaban kebohongan darinya. Deandra tahu, Rifal pasti mencemaskan kehidupan SMPnya yang ditakutkan akan seperti SDnya yang dulu. Jadi saat Deandra bilang SMP nya baik-baik saja, Rifal pasti lega bahwa dia tidak perlu lagi merasa bersalah karena harus bersekolah di sekolah yang berbeda dengan Deandra.

"Enggak ko, mereka.. baik." Deandra ikut mengangkat wajahnya ke atas, senyumannya masih terukir jelas di bibirnya. Tapi matanya kini terlihat sendu saat dirinya kembali berbohong tentang apa yang terjadi pada kehidupan SMP nya.

"Gue jadi tenang ninggalin lo." Kini wajah Rifal menoleh pada Deandra diiringi senyuman manis khasnya.

Deandra ikut menoleh, lalu terdiam sesaat sebelum akhirnya kembali riang. "Walaupun gitu, gue tetep pengen satu sekolah lagi sama lo, Fal." Deandra sedikit menekuk mukanya saat rasa rindunya satu sekolahan dengan Rifal kembali dirasakannya. Selain karena Rifal bisa jadi pelindungnya, dia juga selalu senang dan bersemangat menghabiskan hari-hari di sekolah bersama Rifal. Bukan seperti sekarang, rasanya datang ke sekolah sama saja menyerahkan diri untuk diperbudak oleh teman-temannya. "Gue kangen sama lo."

Rifal memandang Deandra penuh arti. "Gue juga." Balas Rifal. "tapi gimana sih, gue harus pindah ke Bandung."

Deandra mendengus kecewa, "balik lagi aja. Om sama tante pasti ngizinin kan."

Mendengar Deandra membawa Papa dan Mamanya dalam obrolan mereka, Rifal terdiam. Matanya sulit diartikan dan senyuman yang daritadi terukir sedikit memudar. Bayangan tentang orang tuanya memenuhi pikirannya, sebelum akhirnya dia menyadarkan diri untuk tidak terlarut lagi pada masalah orang tuanya, dan juga dia tidak ingin menunjukkan wajahnya yang pasti akan terlihat sedih dihadapan Deandra jika dia terus-terusan mengingat masalah itu.

"Gak bisalah, lo kira pindah Rumah seenteng itu." Rifal menoyor kening lebar milik Deandra yang tentu membuat Deandra cemberut.

"Ish, Rifal." Ketus Deandar menyentuh keningnya. "Lagian apa susahnya sih, tinggal pindah kota aja kan bukan mau pindah planet." Gerutu Deandra masih dengan cemberutannya.

Rifal menghela nafas panjang, menatap Deandra penuh arti. Deandra memang tidak pernah tahu tentang kehidupan Rifal yang dia jalani selama di Bandungg. Dan gadis itu tidak akan pernah mengerti tentang kegelapan yang menimpa sebuah keluarga. Karena kegelapan hidup Deandra bukan terletak pada keluarganya melainkan pada sekolahannya. Jadi mengetahui sekolah Deandra yang sekarang berjalan baik-baik saja membuat dirinya senang. Setidaknya kini tidak ada lagi kegelapan dalam hidup Deandra, dan dia bisa bahagia. Kebahagiaan deandra tentunya adalah kebahagian Rifal juga.

"Ko ngelamun?" Tanya Deandra bingung saat melihat Rifal malah terus-terusan menatapnya.

Rifal terkesiap sebelum akhirnya dapat mengendalikan diri. "Kagak, siapa juga yang ngelamun." Tukas Rifal yang kini berniat menoyor kembali kening Deandra, tapi tidak jadi karena Deandra menutupi keningnya dengan kedua tangan.

"Rifal! Kebiasaan deh." Ketus Deandra kesal.

Rifal terkekeh melihat Deandra yang selalu terlihat lucu saat gadis itu kesal. Bibir tipisnya saat cemberut selalu bisa membuat wajahnya terlihat menggemaskan.

"Malah ketawa lagi." Kini Deandra benar-benar merasa kesal.

"Maaf deh maaf, abis lo lucu kalo lagi ngambek." Ucap Rifal dengan sisa-sisa kekehannya.

"Tuh, malah diledek lagi." Deandra menghentakkan kakinya ke tanah dengan kesal lalu berniat bangkit dari kursi taman yang awalnya dia duduki bersama Rifal.

"Lho mau ke mana?" Tanya Rifal menahan tangan Deandra agar tidak pergi. "Katanya kangen." Ujar Rifal dengan senyuman jahilnya.

Deandra berusaha menarik tangannya dari genggaman Rifal tapi tidak bisa karena Rifal dengan kuat menahan tangannya, lagipula dia juga tidak benar-benar ingin pergi dari Rifal dia hanya ingin membuat Rifal meminta maaf dan berhenti membuatnya kesal. "Lepasin."

Rifal terkekeh saat merasakan Deandra tidak mengeluarkan tenaganya kuat-kuat hanya untuk melepaskan diri dari cengkraman Rifal. Dia tahu bahwa Deandra hanya ingin membuat Rifal merasa bersalah. "Dasar bocah."

Mata coklat hazel milik Deandra melotot sempurna mendengar ledekan Rifal, kini dia benar-benar merasa kesal dan ingin pergi dari hadapan Rifal. "Lepasin gak?!"

Merasakan kini tenaga Deandra menguat, Rifal semakin terkekeh. Nah ini, baru dia kesel beneran. Batin Rifal terkekeh geli.

Kini dia ikut berdiri di hadapan Deandra, dan tersenyum sangat manis untuk sahabatnya itu. Deandra yang melihat senyuman Rifal refleks terdiam dan menghentikan pemberontakannya, dia menatap Rifal yang tersenyum ke arahnya, entah kenapa setiap Deandra melihat senyuman itu hatinya selalu menghangat.

"Jangan ngambek ah."

Deandra sedikit terkejut saat Rifal melepaskan tangannya dan malah menariknya dalam pelukan Rifal. Beberapa saat dia terdiam, rasa kesalnya kini menghilang entah kenapa digantikan dengan perasaan nyamannya berada dalam pelukan Rifal. Satu tetes air matanya terjun ke pipinya, melampiaskan kerinduannya pada Rifal yang dulu selalu siap sedia di sampingnya, tapi kini dia hanya bisa bertemu dengannya jika sedang liburan sekolah. Dan juga, dia merindukan setiap perlindungan yang sahabatnya berikan.

"De." Ucap Rifal pelan, senyumannya kini benar-benar hilang dari bibirnya, pancaran kesedihan benar-benar terkuak dari matanya. Dia tidak perlu lagi terlihat bahagia, karena sekarang Deandra berada dalam pelukannya, gadis itu tidak akan pernah bisa melihat kesedihannya.

"Hm." Balas Deandra singkat, tangannya sudah terlingkar di pinggang Rifal dan dadanya kini jadi sandaran kepala Deandra.

"Janji sama gue." Lirih Rifal yang kini menggigit bibir bawahnya, dia menatap kosong halaman rumah milik keluarga Deandra.

"Janji apa?" Tanya Deandra pelan, tatapannya juga ikut kosong. Dia juga tidak perlu lagi terlihat baik-baik saja, karena Rifal tidak akan menyadarinya.

"Lo harus selalu bahagia, kapan pun dan dimana pun lo berada. Kalo emang kebahagiaan gak nyamperin lo, lo harus buat sendiri kebahagian itu."

Ucapan Rifal membuat Deandra tertegun, janji macam apa itu. Dia tidak bisa berjanji seperti itu, karena dia pasti akan langsung melanggarnya. Deandra tidak bisa bahagia di setiap waktu dan tempat yang dia tinggali. Nyatanya selalu saja ada waktu dan tempat bagi manusia sebagai ladang kesedihan mereka. Tapi walaupun dia tidak bisa, Deandra malah menyetujui perjanjian itu.

"Iya, gue janji."

Rifal tersenyum mendengarnya, kali ini senyuman miris. Setidaknya jika dia tidak bisa lagi selalu bahagia, Deandra bisa. Senyumannya hilang saat Deandra melanjutkan.

"Lo juga," Ucap Deandra pelan. "Harus buat janji yang sama."

Setelahnya hanya ada keheningan di antara mereka. Dan benar-benar tidak Deandra sadari bahwa Rifal tidak pernah ikut mengikrarkan janji yang dia buat. Hanya Deandra. Hanya dia yang berja

----

Thanks for reading, honey!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 13, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Deandra FaradiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang