BAB 1 : VONIS

28 1 0
                                    


Dia masih tetap saja berdiri mematung di dalam kamar mandi. Guyuran air menetes mengalir ke bahu dan punggungnya. Air terus meluncur lembut dari ujung-ujung rambutnya yang gondrong. Ditempelkannya kedua tangannya di dinding kamar mandi sambil kepalanya tertunduk dan matanya terpejam. Butiran air kembali menetes halus membelai lembut melewati kedua pipinya yang tirus.

Randy memusatkan pikirannya. Berusaha memerintahkan kepada syaraf-syarafnya untuk merasakan betapa nikmatnya butiran air dingin membasuh seluruh tubuhnya yang kian lama kian kurus. Dengan tangan kanannya dirabanya pipi kanannya yang cekung. Setelah itu bergantian dengan menggunakan tangan kirinya, diusapkannya pipi yang kiri.

Ada satu jerawat di pipi sebelah kiri. Dielusnya jerawat itu, jangan sampai dia pecah sebelum waktunya. Masih dengan tangan yang menempel pada dinding kamar mandi, alisnya berkerut. Matanya masih terpejam. Pikirannya kembali mengingat kejadian satu bulan yang lalu.

Dokter itu membuatku semakin penasaran. Dari tadi dia diam saja. Penantian selama dua minggu menunggu hasil diagnosa dokter telah membuatku seperti gila. Ingin marah, kesal, bunuh diri semua carut marut menjadi satu. Vonis apa yang akan dijatuhkan padaku dari hasil test darah dua minggu yang lalu.

"Maaf, saya hanya bisa menyarankan untuk saudara harus tabah dalam menghadapi cobaan ini." kata dokter itu datar.

"Dokter jangan bikin saya kesal ya... sebenarnya saya sakit apa?"

"Sabar ya mas."

Dokter itu tiba-tiba berhenti bicara disaat aku semakin memuncak rasa penasaranku. Dia menghela nafas dalam-dalam. Serasa aku ingin sekali merampas kertas hasil diagnosa yang dipegangnya. Tapi apa daya? Toh meskipun kertas itu ada ditanganku, aku juga tak akan mengerti apa isinya. Yang jelas sekarang aku harus bersabar mendengarkan apa yang akan dikatakannya.

"AIDS." Jawab dokter itu singkat.

"Apa??!! Tidak mungkin... saya tidak pernah berhubungan dengan pelacur.... Ini tidak mungkin.... Anda mungkin salah membaca diagnosa orang lain...." teriakku tak bisa mengatasi emosiku yang tiba-tiba meledak.

"Tapi memang ini kenyataannya. Saudara terinfeksi virus HIV-AIDS." Jelas dokter itu lagi sambil menunjukkan data-data bagian mana yang menjelaskan tentang keterangan bahwa aku terinfeksi virus yang mengerikan itu.

Rasanya seperti tertimpa batu besar di kepalaku. Tiba-tiba kepalaku sakit rasanya. Begitu banyaknya tanda tanya, darimana semua ini? Mengapa ini bisa terjadi padaku? Apa ada yang salah dengan kelakuanku? Tuhan... Berikan jawaban atas semua pertanyaanku.

Kami berdua terdiam. Dokter itupun juga terpaku melihatku. Ingin sekali rasanya mengakhiri hidup saat ini juga. Aku mencari-cari, alat apa yang bisa kugunakan untuk melaksanakan niatku secepatnya. Aku bingung.... Menoleh kemana-mana tak tau apa yang kemudian ingin aku cari. Akhirnya aku hanya bisa pasrah menertima nasib ini.

"Kalau begitu tinggal berapa lama lagi hidupku?" tanyaku dengan air mata yang tak kuasa aku untuk membendungnya. Aku berharap jangan menangis di depan dokter sialan ini. Sama sekali tak ada ekspresi dan tak ada solusi sedikitpun darinya. Seakan akan dia ingin mengejek keterpurukanku dengan penyakit ini dan menyalahkan atas jalan yang sudah aku lakukan.

"Semua tergantung kondisi kekebalan anda dan itu setiap orang berbeda- beda."

Tiba tiba saja mataku berkunang-kunang. Badan terasa panas, tapi tidak begitu lama. Kemudian mendadak berubah menjadi dingin sampai menggigil kedinginan. Aku segera keluar dari ruangan itu. Berjalan gontai, serasa aku tidak berpijak pada bumi. Aku terus berjalan dan berjalan menuju rumah. Pikiranku kalut. Sebuah perasaan yang sulit diungkapkan bagaimana rasanya, kini merambat dalam setiap denyut nadiku.

Mama menyongsong kedatanganku dengan penuh tanda tanya. Raut mukanya berharap mendapat jawaban atau sedikit informasi tentang apa yang sedang terjadi denganku. Tapi, aku tetap membisu. Berjalan laiknya mayat hidup dengan pandangan mata yang kosong.

"Bagaimana nak? Apa yang terjadi denganmu? Maaf kan mama ya... mama tak bisa menemanimu ke rumah sakit tadi. Karena papa sedari tadi marah marah terus..." kata mama menghiba berharap aku memakluminya.

Aku diam saja. Ya... aku maklum atas sikap mama. Dia yang selalu patuh pada papa bagaimanapun keadaannya. Aku hanya menyerahkan surat diagnosa dari dokter kepada mama. Mama segera membuka dan sepersekian detik kemudian cairan bening meleleh dari kedua sudut matanya. Aku yakin mama sudah membaca salah satu kolom yang ada tanda contreng disana dan bagian itu adalah kolom yang tertulis positif Aids.

"Hei... ada apa denganmu anak muda?" teriak papaku.

Aku diam membisu. Menatap keangkuhan dan kebengisannya membuatku meyesali, kenapa dia adalah papaku? Kenapa dia suami dari mamaku?

Serta merta dia merampas kertas diagnosa dari mama dan kemudian berteriak lagi.

"Inikah hasilmu bertahun-tahun hidup di Bali? Pulang dengan penyakit yang belum ada obatnya? Mau jadi apa kamu kelak, hah!!! Gelar sarjana yang katanya sudah tinggal selangkah lagi, nyatanya mana? Sudah beratus-ratus juta papa membiayai semua kebutuhanmu, ternyata ini balasanmu kepada orang tua? Dimana otakmu Randy?" Papa memberondong pertanyaan-pertanyaan yang membuatku semakin pening.

"Hey... Jawab pertanyaan papamu ini! Jangan kau berdiri mematung!"

Aku tetap saja membisu. Tak bisa kujawab sedikitpun pertanyaan papa. Bayangan tentang keberhasilan yang sudah menjadi harapan papa atas diriku kini pupus sudah. Apa mau dikata. Aku terinveksi virus yang mematikan ini.

Mama hanya bisa menangis dan selalu memohonkan maaf untukku kepada papa. Hati papa sudah benar-benar membatu. Wajar kalau memang itu terjadi. Aku satu-satunya putranya yang akan jadi tumpuan harapan di hari tuanya kelak, ternyata jauh meleset dari apa yang diidam-idamkannya selama ini.

Kurebahkan tubuhku diatas kasur. Semua terasa berakhir hanya sampai disini. Kupandangi atap plafon kamarku yang serasa seperti akan jatuh menimpaku. Semangat hidupku melorot drastis. Apalagi hanya untuk mengejar cita-citaku yang sempat tertunda. Kini semuanya gelap. Dan akupun pingsan.

Ketika cinta tak bertepuk sebelah tanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang