19. Di Pesta

20.6K 1.6K 107
                                    

Ashel sudah mengenakan gamis indah warna putih seperti yang Fariz perintahkan di kantor saat akan pulang. 

“Nanti malam pakai baju warna putih, ya!  Kalau nggak ada warna putih, bilang sama saya biar saya belikan!”

Ashel mengingat perintah Fariz yang diucapkan dengan penuh penekanan.  Bosnya itu memang benar-benar membingungkan, bahkan perintah diucapkan dengan nada mengancam.  Seolah-olah Fariz akan marah jika Ashel tidak memakai baju sesuai dengan kemauannya.  Gila aja, seorang bos mengajak wanita pergi ke acara nikahan pun mesti harus pakai baju yang sesuai dengan kemauannya, Fariz benar-benar seperti anak remaja yang jika pergi berduaan mesti pakai baju couple-an. 

Untung saja Ashel memiliki koleksi gamis warna putih yang masih sangat bagus dan cocok untuk pergi ke undangan, baru dipakai sekali ketika lebaran.  Masih wangi lagi.  Mudah-mudahan tidak malu-maluin saat berjalan beriringan dengan Fariz di acara pernikahan nanti.

Sudah jam delapan kurang lima menit, perasaan Ashel mulai tidak nyaman.  Semakin jarum mendekati angka delapan, ia semakin gelisah.  Mendadak ia merasa canggung jika harus pergi bersama Fariz. 

Ashel menyambar ponsel dari tasnya dan menelepon Alin.

“Kak, aku ikut Kakak aja.  Bilang sama Bang Rilan, jemput aku ya, Kak,” ujar Ashel panik, seperti orang dikejar setan.

Ashel tidak perlu lagi menunggu jawaban Alin, suara keramaian di sekitar sana menjadi jawaban kalau Alin sudah sampai di tempat pesta.

“Apaan sih kamu, Shel?  Tiba-tiba aja bilang minta jemput?  Aku sama Rilan udah di tempat pesta, nih.  Minta jemput Rolan aja.”

Ashel mematikan ponsel.  Memilih pergi berdua dengan Rolan bukan ide bagus menurutnya.  Ataukah Ashel pergi sendirian saja?

Suara klakson yang terdengar berkali-kali di luar sana menyadarkan Ashel kalau dia harus segera keluar menemui Fariz yang menjemput.  Tidak ada waktu lagi untuk berpikir, dia harus pergi bersama Fariz.  Fariz benar-benar tepat janji, jam delapan tepat lelaki itu datang, tidak kurang juga tidak lebih.  Komitmennya sangat tinggi.

Ashel duduk di jok belakang, di sisi Fariz.  Sepintas sudut mata Ashel menangkap pemandangan baru, lelaki disampingnya itu mengenakan pakaian serba putih, termasuk tuxedonya yang juga putih.  Rambutnya yang kelemis menambah ketampanannya.

Ashel menatap supir kesal.  Beraninya supir itu memencet klakson berkali-kali.  Memangnya mau jemput narapidana?

“Mencet klaksonnya nggak usah rame banget gitu juga kali, Pak.  Nggak sopan banget, kayak manggil pengamen aja,” ucap Ashel saat mobil bergerak meninggalkan halaman rumah.

Supir melirik bos melalui spion. 

“Saya yang suruh,” ujar Fariz sembari menoleh dan memperlihatkan tatapan tajam. 

“Ouh...”  Ashel melirik Fariz yang masih menatapnya horor.  Kalau sudah Fariz yang bicara, Ashel tidak berani bersuara lagi.  Lagian kenapa Fariz mesti menatapnya sesangar itu, nada bicaranya juga seperti mau menerkam orang?  Apa salah Ashel?  Ini sebenarnya Ashel mau diajak pergi ke undangan apa mau digiring ke penjara, sih?   Kok, hawanya menyeramkan? 

“Lama sekali?” tanya Fariz dengan tatapan tajam yang tak kunjung lepas dari wajah Ashel.

“Lama gimana?  Padahal begitu klakson dipencet, saya langsung meloncat keluar, loh.”  Jujur saja, Ashel saat itu merasa sedikit ketakutan dengan tatapan horor bosnya.  Fariz ternyata memiliki sesuatu yang handal dalam emmatikan lawan bicaranya.  Yaitu tatapan matanya, tajam dan menusuk.   Aura sadis dan mengerikan terpancar dari mata itu apa lagi jika ditambah seringai.

MY BOSS IS MY LOVE (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang