Kisi Tigabelas : Kebahagiaan dan Kesedihan

1 0 0
                                    


Sampai di pasar Senen sekitar jam 8.30 pagi. Padahal menurut jadwal, kereta ini sampai disini pukul 6.32 WIB. Ah... kereta terlambat itu sudah biasa, seperti lagu yang dinyanyikan Iwan Fals.. Aku langsung menuju reserfasi kereta untuk pesan tiket kembali pulang ke Malang. Aku tak mau lagi naik kelas ekonomi. Sudah kapok!!! Aku mencari tiket kelas bisnis. Sebab kalau naik kelas eksekutif sepertinya uangku tak cukup. Sesaat kemudian tiket kelas bisnis Jayabaya Selatan jurusan Pasar Senen-Surabaya sudah ada ditangan.

Setelah itu aku mencari bis kota yang menuju ke matraman, yang kutuju adalah rumah teman kuliahku dulu, namanya Tari. Minggu lalu dia sudah aku hubungi dan bahkan menyuruhku untuk tinggal di rumahnya saja. Sebab kalau tinggal di penginapan bisa mahal. Apalagi di Jakarta, semua serba mahal.

Sampai di sekitar matraman, segera aku menghubungi Tari. Terdengar bunyi nada sambung pribadi lagu SMS. 'Bang, es-em-es siapa ini bang, bang pesannya pake sayang sayang, bang tolong jawab tanyaku abang, bang hati ini mulai tak tenang.' tapi anehnya sedari tidak diangkat. Mungkin karena ini hari sabtu makanya pada pergi berlibur. Apa mungkin dia lupa kalau aku akan datang hari ini?

Sekarang aku coba menghubungi sekali lagi. Terdengar lagi nada sambung yang nyebelin.

'Iihh... Tari ganjen amat nada sambungnya.' Batinku sambil terus mendengarkan lagu itu. Semenit kemudian....

"Hallo...." Sapa Tari.

"Hei... kamu dimana? Aku telpon daritadi tak diangkat?

"Maaf, ini siapa ya?" Tari balik bertanya

"Ya ampun... nih anak, loadingnya lama banget. Upgrade dong pentiumnya.... Hari gene masih pake pentium dua? Hei.... Baru minggu lalu aku telfon kamu. Masa udah lupa sih?" jawabku sedikit jengkel.

"Oh.... Sorri... Ini Arini ya?"

"Bukan... " jawabku mengajak bercanda

"Iya ini pasti Arini kan?"

"Udah tahu kalau Arini....pake nanya segala. Aku kan udah telfon minggu lalu." Jelasku lagi.

"Aduh sori banget. Tadi pagi aku ditelfon sama sepupuku kalau kakekku meninggal dunia. Makanya sekarang aku ada di Sukabumi. Sekali lagi maaf ya... Siapa sih yang bisa nyangka kalau kakekku meninggal..." jelas Tari.

"Ya udah deh... kalau begitu nggak apa-apa. Biar aku cari penginapan dekat-dekat sini aja. Udah dulu ya.... Aku turut berduka cita," jawabku kemudian menutup pembicaraan

'Sisa uangku tinggal sekitar duaratus ribu. Ah... mana ada penginapan yang semalamnya sekitar duaratus ribu? Oke! Aku akan coba cari' gumamku sambil berjalan mencari penginapan

Setelah cukup lama berjalan sekitar satu jam, akhirnya aku temukan juga sebuah penginapan murahan di kawasan Tanah Abang. Sebenarnya aku agak sangsi dengan penginapan ini, karena aku lihat dari cara berpakaian orang yang lalu-lalang disini mengingatkan aku pada wanita-wanita penjaja kenikmatan sesaat. Tapi aku cuek saja, yang penting aku tidak termasuk mereka dan aku hanya butuh untuk bisa istirahat. Setelah chek in dan menerima kunci dari resepsionis penginapan aku segera menuju kamar yang dimaksud.

Kamar yang aku tempati bernomor 103. Aku mencermati kamar yang berukuran empat kali empat ini. Hanya ada beberapa perabotan ala kadarnya. Ada tempat tidur berukuran sedang dengan dua bantal, sprei dan sarung bantal yang terlihat telah pudar warnanya. Entah krem... entah putih... entah kuning. Mungkin juga campuran dari ketiganya. Tampak ada noda membekas diatas sprei yang bentuknya mirip pulau Jawa. Hiiii.... Bulu kudukku langsung merinding!

Ada sebuah meja rias ukuran kecil dengan warna kacanya yang sudah memudar. Tidak bisa dipakai untuk ngaca. Tapi itu tak masalah bagiku. Disampingnya ada sebuah lemari kayu yang modelnya sudah agak kuno. Aku buka dan serta merta aroma tak sedap menyelinap ke lobang hidungku. Entah bau apa, mungkin perpaduan antara bau kecoa, tikus curut dan debu yang tak pernah dibersihkan. Spontan aku tutup kembali pintu lemari itu.

Jangan Tunggu Hari EsokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang