Serpih 6: Saatnya berjuang

5 0 0
                                    


Hari sudah menjelang senja. Matahari sudah mulai masuk ke peraduannya. Randy baru saja melangkahkan kaki memasuki pintu pagar rumahnya. Terdengar suara dari dalam rumah, papanya berbicara dengan seseorang. Randy tak tahu suara siapa itu?

Diputuskannya tak jadi masuk lewat pintu depan. Untungnya pintu samping tak terkunci. Langsung saja Randy mengendap-endap masuk. Dia tak ingin seluruh anggota rumah heboh karena Randy keluar rumah dari pagi buta sampai malam baru pulang. Terutama Wina. Si cerewet itu pasti akan mengadukan segalanya pada papanya. Ya, NAZI kecil... julukan itu cocok untuknya. Betapa Randy sungguh sangat jengkel dengan kelakuan adik angkatnya itu. Tapi dia mulai menikmati keberadaan Wina. Paling tidak di rumah tidak sepi seperti dulu.

Segera Randy membuka dan memelototi seluruh halaman koran. Satu persatu dibukanya pelan-pelan. Dia hanya berdoa, semoga informasi yang diinginkannya ada di salah satu koran yang dibelinya.

Satu jam kemudian....

'Kenapa tak ada satu pun berita tulisan tentang aids? Apa makhluk yang terpinggirkan seperti aku ini tak layak ditulis di koran? Sudah aku bolak balik semua koran ini sampai mau sobek tapi tak menemukan apa-apa, ditambah lagi mata ini terasa pedas sekali melihat tulisan seperti semut.' pikir Randy

Tapi dia tak putus asa. Kata-kata Stephany benar-benar telah menancap dalam pikirannya. Satu-satunya orang yang bisa diajak diskusi di rumah itu hanyalah mamanya. Sebenarnya, dia tak ingin membebani mamanya dengan segala permasalahannya. Tapi hanya mamanya lah yang bisa menyejukkan hatinya selain Stephany.

Randy berjalan pelan-pelan menuju kamar mamanya. Dia berharap, mamanya berada di kamar sendirian tanpa papanya. Ternyata benar. Papanya masih menerima tamu, seorang kawan lamanya. Terdengar dari pembicaraan mereka berdua, lebih banyak mengingat masa lalu mereka saat masih muda. Randy bersyukur bisa terhindar dari papanya untuk sementara waktu. Dia sama sekali tak ingin ada komunikasi dengan papanya. Teringat beberapa hari yang lalu, papanya justru tidak memberinya jalan keluar tapi malah membuatnya semakin terpuruk. Menyalahkannya semua atas apa yang telah dilakukannya. Memang benar, Randy salah langkah. Tapi apakah seseorang yang sudah melakukan kesalahan tak boleh memperbaikinya untuk menjadi lebih baik?

Diketok pintu kamar mamanya.

"Masuk saja. Tak dikunci. Randy ya?" Mamanya sudah bisa menebak kalau yang mengetuk pintu itu Randy. Karena kalau suaminya tak pernah melakukan hal itu.

"Mama... lagi sibuk?" tanya Randy sambil berdiri di sebelah mamanya yang sedang membuka komputer.

"Ah... sama sekali tak sibuk. Hanya sedikit cari cari informasi di internet tentang fashion. Biasalah.... untuk mengembangkan usaha mama. Bagaimana? Kau tertarik?" Tanya mamanya.

"Ah... mama... fashion itu kan dunia wanita? Aku sama sekali tak tertarik." jawab Randy sekenanya.

"Waa.... jangan salah.... sekarang banyak perancang busana laki-laki, bukan perempuan. Dan usaha mama ini hanya menjual saja. Bukan merancang. Itu lebih mudah kan?"

"Aku belum tertarik Ma... entah mungkin lain kali aja... Eh, mama lagi buka internet? Aku pinjam sebentar bisa kan? Mau cari informasi tentang narkoba dan aids." jawab Randy menggebu gebu.

"Mama senang lihat kamu bergairah lagi, Nak.... Jangan terus-menerus menyesali apa yang terjadi. Kamu harus maju. Mama tahu kamu anak baik. Hanya saja kamu kemarin salah jalan. Mama dukung semua hal yang bisa membuat kamu maju." Jawab mamanya sambil kemudian memberikan kebebasan Randy untuk mencari sendiri informasi yang dibutuhkannya di laptop mamanya.

"Bagaimana dengan terapi dari alternatif yang kamu jalani sekarang? Ada kemajuan?" tanya mamanya lagi.

"Entahlah... aku sudah seminggu ini tak datang kesana. Sepertinya tak ada gunanya. Aku bosan. Aku mau cari jalan yang lain." Jawab Randy, setelah itu dia konsentrasi lagi pada situs yang sedang dicarinya.

Ketika cinta tak bertepuk sebelah tanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang